Bullying And Bloody Letters

Permintaan Maaf



Permintaan Maaf

0"Pak! Tolong jangan masuk ke dalam, Pak!" teriak perawat itu.     

Tapi Surya tidak menghiraukannya sama sekali karna yang ada di dalam otaknya saat ini adalah bertemu dengan Rima.     

Ceklek!     

Dengan segera Surya membuka pintu kamar Rima dan di dalam kamar itu tampak Rima yang sedang tertidur pulas.     

"Bu Rima, sedang istirahat, Pak, saya mohon, tolong jangan mengganggu beliau," tukas perawat itu.     

Masih tak menghiraukan ucapan dari perawat itu, Surya pun berjalan mendekat ke arah ranjang Rima.     

Perlahan Surya duduk dan mengelus rambut istrinya itu.     

"Rima, tolong maafkan aku ya? Aku mohon ...." Lirih Surya seraya mengecup kening Rima.     

Dan perawat yang ada di sampaingnya, tampak tak lagi khawatir, dan dia langsung meninggalkan Surya berdua saja bersama Rima.     

Karna nampaknya Rima dan Surya butuh waktu berdua saja untuk membicarakan malasah privasi mereka berdua.     

"Aku, tahu aku sudah banyak berbuat salah kepadamu, tapi aku mohon beri aku kesempatan kedua lagi, Rima" tukas Surya serasa menangis dan menunggu Rima terbangun secara perlahan.     

Surya masih mengelus dan berkali-kali mengecup kening sang istri.     

Dan hal itu membuat Rima merasa risih dan akhirnya dia terbangun.     

"Mas Surya?" tukas Rima. Dan Surya pun langsung duduk tegap.     

"Mau ngapain kamu kemari?!" tanya Rima dengan nada yang sangat marah.     

"Kenapa kamu mencium keningmu?! Kamu itu sudah bukan lagi suamiku!" cantas Rima.     

"Rima, aku dan kamu itu belum bercerai, jadi sampai detik ini kamu itu masih tetap menjadi istri syah ku!" tegas Surya.     

"Cih! Istri syah katanya! Haha! Kemana saja kamu dulu, Mas!?" Rima pun segera terbangun dan duduk di atas ranjangnya.     

Karna memang dia sudah bisa duduk sendiri saat ini.     

"Rima, kamu mau, kan memaafkan aku?"     

"Kenapa, Mas Surya, tiba-tiba bicara begitu?"     

"Karna aku sudah tahu semuanya, Rima. Selama ini ulah dari, Nindi. Bahkan kecelakaan yang menimpa Eliza adalah ulah dari Nindi!"     

"Ow, jadi kamu baru tahu soal itu? Memangnya selama ini kamu kemana saja?" sindir Rima.     

"Maafkan aku, Rima,"     

"Pergi!" sergah Rima.     

"Rima, aku mohon beri aku kesempatan sekali lagi, aku ingin memperbaiki semuanya," mohon Surya.     

"Kesempatan? Satu kali lagi?" tanya Rima, dan Surya pun menganggukan kepalanya.     

"Haha! Tidak ada lagi maaf bagimu, Mas! Karna maaf ku sudah habis!"     

"Aku mohon, Rima, beri aku kesempatan sekali saja!"     

"Kesempatan mu juga sudah habis, Mas! Aku sudah terlalu banyak memberimu kesempatan, tapi kamu tidak pernah mau memanfaatkanya sama sekali!"     

"Maaf kan aku, Rima! Maafkan aku ...."     

"Sekarang, Mas Surya, sudah tahu, 'kan kalau aku tidak akan memaafkan, mas Surya lagi?"     

"Rima, aku mohon, Rima ...."     

"Tolong pergi sekarang! Karna kedatangan, Mas Surya, sekarang hanya menggangu waktu istirahatku! Aku butuh ketenangan, aku tidak peduli lagi dengan hubungan, Mas Surya, dengan istri keduanya. Aku hanya butuh ketenangan, ingat KETENANGAN!" tegas Rima.     

"Rima, aku mohon, beri kesempatan kepadaku, untuk memperbaiki semuanya,"     

"Tidak ada lagi yang bisa di perbaiki, sekarang sudah saatnya kamu pergi! Aku sudah tidak butuh laki-laki, aku sudah tidak butuh suami! Aku hanya butuh hidup tenang bersama anakku Raisa! Dan kamu jangan menggagu kami lagi, Mas!"     

"Rima, kenapa kamu sekejam ini kepadaku?" tanya Surya.     

"Kejam? Bukanya selama ini, Mas Surya, yang kejam kepada kami?" sindir Rima.     

Dan Surya pun terdiam sejenak.     

"Kamu menganggapku selama ini kejam kepada kamu, sekarang Mas sendiri tak peduli dengan kami! Aku sudah cukup bersabar dan mengalah, pengorbananku sudah cukup banyak! Tapi semua tidak pernah berarti apa-apa di mata, Mas Surya! Jadi aku memutuskan untuk menjadi wanita kejam dan tidak ada sisi lembutnya sedikit pun kepada suaminya! Itu semua ku lakukan karna aku benar-benar lelah! Benar-benar muak, karna terus terabaikan dan di tindas!" jelas Rima.     

"Rima, aku ingin kita kembali seperti dulu lagi," mohon Surya.     

"Tidak bisa, Mas! Aku dudah tidak cinta lagi dengan mu! Aku sudah benci dengan mu!"     

"Jadi, selama ini kamu selalu kasar dan acuh kepadaku, itu karna memang kamu sudah benar-benar tidak lagi mencintaiku?" tanya Surya.     

"Iya!" jawab Rima dengan tegas.     

"Dan sekarang kamu sudah tahu, 'kan, Mas! Apa alasan ku selalu acuh dan bertingkah kasar terhadapmu?"     

"Tapi, Rim—"     

"Jadi aku mohon, kamu pergi dan tolong jangan ganggu aku! Tinggalkan aku! Sekarang!"     

Dan dengan perasaan penuh terpaksa, Surya pun pergi meninggalkan Rima. Dia tak bisa lagi merayu bahkan memohon sekali pun kepada Rima.     

Rima sudah benar-benar berubah, tidak seperti Rima yang dia kenal dulu, yang baik, lembut, sabar dan penyayang.     

Surya pun juga sudah mulai menyadarai, jika yang membuat Rima menjadi berubah seperti ini adalah dirinya sendiri.     

Menyesal memang selalu datang paling akhir, dan sekarang Surya bingung harus berbuat apa lagi.     

Dia ingin kembali dengan Rima, tapi Rima sudah tidak mau menerimanya kembali.     

Dan dia juga ingin meninggalkan Nindi, tapi saat ini Nindi sedang lumpuh, dan dia juga baru aja kehilangan anaknya.     

Tentu ini terasa berat bagi Surya, dia bukanlah lelaki yang tidak bertanggung jawab, dan akan meninggalkan begitu saja seorang wanita yang dia cintai dalam keadaan lumpuh.     

Setelah dari rumah Rima, Surya pun memutuskan untuk pulang ke rumah saja, dia tidak mau pulang ke kantor lagi untuk melanjutkan pekerjaannya. Dia hanya ingin istirahat untuk menenangkan dirinya.     

Ceklek!     

Surya membuka pintu rumahnya, dan seketika Nindi pun tampak kaget dan juga bahagia melihat kedatangan suaminya.     

"Eh, Papa, kok tumben udah pulang sih?" tanya Nindi seraya mendorong roda kursinya untuk menghampri Surya.     

"Papa, mau makan siang bareng, Mama?" tanya Nindi lagi dengan antusias.     

Tapi Surya tak menanggapinya dan berjalan lebih cepat lagi.     

"Lah, Mama kok di cuekin sih?" tanya Nindi seraya meraih tangan Surya.     

Tapi Surya menepis tangan Nindi dan berlalu pergi begitu saja.     

"Pa! Papa! Kok, Mama, di tinggalin sih?!" teriak Nindi.     

Lagi-lagi Surya tak menghiraukan teriakan Nindi dan berjalan menaiki tangga dengan langkah yang cepat.     

Nindi merasa sangat bingung dengan perubahan sang suami, apa lagi Surya tak pernah sedikitpun mengabaikannya, apa lagi sampai tak menanggapi ucapannya begini.     

"Mas Surya, kenapa sih? Kenapa aku di cuekin?! Kenapa dia tidak menyambut sapaanku?!"     

Dari kejauhan netra Nindi terus mengarah kepada suaminya yang sudah hampir sampai di kamarnya.     

"Suster!" teriak Nindi.     

"Suster! Kemana sih ni orang?! Suster!" teriak Nindi.     

"Iya, Bu!"     

Lalu si perawat pun datang dan segera menghampiri Nindi,     

"Iya ada apa, Bu Nindi?"     

"Kamu kemana aja sih?! Kamu budek ya?! Di panggil gak dateng-dateng!" oceh Nindi.     

"Maaf, Bu Nindi, saya tadi sedang berda di toilet," jawab perawat itu.     

"Ah, alasan aja kamu ini! Cepat bantu saya naik tangga! Saya mau masuk ke kamar saya!" perintah Nindi.     

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.