Bullying And Bloody Letters

Menyelidiki Rasty



Menyelidiki Rasty

"Selamat siang, Bu Raisa," Lagi-lagi Rasty menebarkan senyuman manis dan suara ramahnya kepada Raisa. Meskipun itu semua hanya terpaksa.     

Dan Raisa pun segera menyambut sapaan Rasty.     

"Selamat siang, Bu Rasty," sahut Raisa.     

Lalu Rasty pun kembali menebarkan senyumannya, seolah tidak terjadi apa pun.     

Tapi entah mengapa Raisa merasa ada yang aneh dengan Rasty.     

Dia memandangi Rasty yang terus berjalan menuju kelas itu.     

"Masa iya, dia pelakuanya? Lalu untuk apa dia membongkar makam adikku?" gumam Raisa yang masih bertanya-tanya.     

Dengan perasaan penasaranya Raisa duduk di atas bangku kerjanya.     

"Aku masih bingung, kalau pun dia sengaja menggali makam adikku lalu untuk apa dia melakukannya? Gak masuk akal!"     

Raisa kembali meraih mouse komputernya lalu mengotak-atik komputernya, dan dalam sekejap dia teringat dengan suatu hal.     

Yaitu tentang Rasty yang tidak lagi risau dengan teror dari hantu Eliza.     

Semenjak kematian kakaknya yaitu Nindi, Rasty tampak baik-baik saja, bahkan dia selalu menebarkan senyuman terhadapnya.     

Padahal sebelumnya dia selalu murung dan selalu memimirkan tentang hidupnya yang tak lama lagi, karna Eliza yang terus menerornya.     

"Ini terasa sangat aneh, bagaimana bisa tiba-tiba dia merasa aman dan nayris tidak merasa ketakutan lagi seperti dulu, padahal dia dulu selalu murung dan ketakutan. Bahkan wajahnya selalulu terlihat pucat, tapi sekarang kini wajah, Tante Rasty, sudah mulai tetlihat bersinar lagi," ujar Raisa.     

Terus-terusan dia selalu memikirkan tentang Rasty, terkait apa yang membuat Rasty menjadi sangat berani dan tenang seperti ini.     

Karna ini terasa tidak masuk akal, bahkan sang ibu juga berkata, tentang Eliza, yang tak lagi sering mendatanginya lagi seperti dulu.     

Tok tok tok!     

"Iya, masuk!" sahut Raisa.     

Ceklek!     

"Eh, Bu Vivi, ada apa, Bu?" tanya Raisa.     

"Ah, ini, Bu. Saya mau meminta tanda tangan kepada, Bu Raisa,"     

"Oh, boleh saya lihat surat proposalnya dulu?"     

"Oww, tentu saja, silahkan, Bu Raisa!" ujar Vivi.     

Raisa membaca sesat surat proposalnya yang di berikan oleh Vivi, lalu setelah di rasa cukup Raisa mulai memberikan tanda tangannya.     

"Ini suratnya, sudah saya setujui dan sudah saya berikan tanda tangan juga,"     

"Terima kasih, Bu Raisa," ujar Vivi dan Vivi pun segera berdiri dan hendak beranjak pergi tapi Raisa melarangnya.     

"Eh, tunggu dulu, Bu Vivi, saya ingin mengobrol sebentar dengan ibu,"     

"Oh, begitu,"     

"Iya, boleh kan, Bu?"     

"Oh, tentu saja, Bu Raisa, boleh silahkan mau mengobrol apa dengan saya, Bu?"     

"Jadi begini, apa menurut, Bu Vivi, ada yang aneh dengan sikap dari Bu Rasty akhir-akhir ini?"     

Dan Vivi pun terdiam sesaat, "Emmm... sepertinya ada, Bu."     

"Bisa ceritakan?"     

"Iya, jadi bu Rasty, sering pergi ke suatu tempat yang tidak jelas, bahkan saya pernah tidak sengaja melihat dia pergi ke sebuah rumah orang pintar, karna kebetulan saat itu saya sedang lewat di area rumah dukun, karna kebetulan saudara saya tinggal di dekat situ," jelas Vivi.     

'"Benarkah?! Apa, Bu Vivi, bersedia mengantarkan saya ke sana?"     

"Emm, boleh, Bu, mari saya antarkan, tapi kapan ya kira-kira?"     

"Mungkin, nanti sepulang dari sekolah,"     

"Oh, kalau begitu, baik, Bu Raisa, nanti saya akan mengantarkan anda," ujar Vivi.     

"Dan selain pergi ke tempat dukun, apa Bu Vivi, melihat gelagat aneh dari bu Rasty?"     

"Iya, ada Bu Raisa, dan bu Rasty, juga sering bergumam, bahkan tertawa sendiri di ruangannya, beliau juga tidak lagi terlihat murung, padahal kalau dipikir-pikir beliau itu sudah kehilangan segalanya, kaka, keponakan dan bahkan jabatan,"     

"Oleh karna hal itu lah, Bu Vivi, saya rasa benar-benar sangat aneh, saya tak sabar ingin melihat tempat dukun yang sering dia datangai itu," ujar Raisa.     

***     

Setelah bel pulang sekolah mulai terdengar, Vivi pun segera mengantarkan Raisa untuk pergi ke rumah dukun itu.     

Mereka menempuh perjalannan yang lumayan jauh, bahkan sampai memakan waktu berjam-jam.     

"Apa masih jauh, Bu?" tanya Raisa kepada Vivi.     

"Tidak kok, Bu, sekitar 5 menit lagi," jawab Vivi.     

Dan setelah 5 menit berlalu mereka pun sampai tepat di depan rumah sang dukun.     

Raisa pun segera turun dari mobilnya, tapi Vivi melarangnya.     

"Jangan turun, Bu? Memangnya Bu Raisa mau kemana?" tanya Vivi.     

"Ya saya mau menemui dukun itu, karna saya mau tahu apakah benar jika, Bu Rasty, datang kemari, dan apa yang sedang bu Rasty lakukan di tempat ini," jelas Raisa.     

"Jangan, Bu! Sebaiknya jangan!" sergah Vivi melarang Raisa.     

"Loh, memangnya kenapa? Saya kan juga ingin tahu apa yang sudah bu Rasty lakukan!"     

"Tapi bahaya, Bu. Dukun itu sudah bersekongkol dengan bu Rasty, dan perlu anda ketahui jika dukun ini sangat sakti dan berbahaya, justru kedatangan ibu ke sana akan membahayakan jiwa ibu," tutur Vivi.     

Dan akhirnya Raisa pun mengurungkan niatnya untuk mendatangi dukun itu.     

"Lalu, percuma dong kita jauh-jauh datang kemari?"     

"Ya, mau bagaimana lagi, Bu Raisa, ini demi keamanan kita," jawab Vivi.     

Lalu Vivi menyuruh Raisa untuk menyingkirkan mobilnya dari tempat itu.     

Atau paling tidak jangan parkir tepat di depan rumah sang dukun.     

Dan setelah mereka memarkirkan mobil mereka agak menjauh dari tempat dukun itu, mereka pun melihat ada sebuah mobil lain yang memasuki area halaman rumah sang dukun.     

Dan dari warna mobil serta nomor platnya, mereka merasa tidak asing lagi.     

"Bu, itu bukannya mobil milik bu Rasty ya?" ujar Vivi.     

"Loh, iya benar itu mobil miliknya bu Rasty," jawab Raisa.     

"Tuh kan, benar apa yang saya katakan, kalau Bu Rasty itu sering datang kemari," ujar Vivi.     

"Iya, Bu Vivi, benar. Lalu apa yang dia lakukan di tempat ini? Apa kita hampiri saja ya!" ujar Raisa.     

"Aduh, jangan, Bu Raisa, kan saya sudah bilang, itu terlalu berbahaya sekali,"     

"Tapi, saya sangat penasaran, karna belum lama ini makam mendiang adik saya ada yang bongkar," jelas Raisa.     

"Apa?! Ada yang bongkar?"     

"Iya, Bu Vivi, benar,"     

"Kapan kejadiannya, Bu?"     

"Kemarin,"     

"Oh, jadi itu yang membuat anda kemarin buru-buru pergi meninggalkan sekolahan?"     

"Iya, Bu Vivi, benar, saya mendatangi makam adik saya Eliza,"     

"Jadi apa benar, jika semua ini ada hubungannya dengan, bu Rasty?"     

"Sepertinya begitu? Kalau di lihat-lihat, sapertinya beliau sudah tidak merasa ketakutan lagi, yang artinya arwah adik saya sudah tidak mengganggunya lagi," jelas Raisa.     

Dan Vivi pun tampak manggut-manggut karna nampaknya dia mengerti jika Rasty melakukan ritual-ritual tertentu untuk menghindar dari gangguan dari arwah Eliza.     

Sudah cukup Raisa mendatangi tempat dukun itu, dan kini saatnya dia dan Vivi harus segera pergi meninggalkan tempat itu, sebelum kedatangan mereka di ketahui oleh Rasty atau sang pemilik rumah itu.     

Setidaknya sekarang rasa penasaran Raisa sudah terbayarkan, dan tahu kalau alasan Rasty membongkar makam adiknya adalah untuk keperluan ritual yang masih belum jelas apa tujuannya.     

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.