Bullying And Bloody Letters

Si Anak Kesayangan



Si Anak Kesayangan

0Malam hari yang sunyi, jam menunjukkan tepat pukul 12 malam.     

Dan keadaan rumah Raisa sudah mulai sepi sekali, Raisa dan Rima sang ibu belum juga tertidur, di malam hari tidak ada suster atau pun bodyguard yang menjaga mereka berdua terutama Rima.     

Sebenarnya awal-awalnya para suster dan bodyguard juga bekerja sampai 24 jam, hanya saja, Rima merasa keberatan, dan dia memutuskan untuk menyuruh mereka libur di malam hari, karna setiap malam sudah ada Raisa yang menemaninya.     

"Ma, kok udah tengah malam belum tidur?" tanya Raisa.     

"Iya, Mama, belum bisa tidur juga,"     

"Kenapa? Mama lagi mikirin apa?"     

"Mama, kangen sama, Eliza, Rai,"     

"... apa dia tidak datang lagi menemui, Mama?"     

"Tidak, sudah beberapa minggu dia tidak pernah mendatangi, Mama,"     

Raisa pun terdiam sesaat, dan dia mulai berpikir mungkin kejadian ini ada hubungannya dengan makam Eliza yang di bongkar.     

Mungkin Rasty sudah melakukan suatu buruk terhadap jasad Eliza srthingga membuat Eliza tidak lagi bisa mendatangi ibunya.     

"Raisa, kenapa malah melamun? Apa mungkin Eliza itu benar-benar sudah meninggalkan, Mama, ya?"     

"Ah, kalau soal itu Raisa, beneran enggak tahu, Ma, karna Eliza itu kan benar-benar memang sudah pergi sejak dulu,"     

"Kan sudah berkali-kali aku bilang kalau Eliza itu belum benar-benar meninggalkan dunia ini, dia masih selalu menemui, Mama,"     

"Iya, Ma, iya, maafkan Raisa, ya,"     

"Hah! Selalu saja,"     

"Udah dong, Ma, jangan marah, sekarang, Mama, tidur dulu ya,"     

Rima masih terdiam dengan bibir cemberut seperti anak kecil, karna dia kesal dengan perkataan Raisa barusan.     

Tapi Raisa tidak peduli dengan kemarahan sang ibu, karna memang akhir-akhir ini, ibunya sudah banyak sekali berubah, mungkin karna sakit yang di deritanya juga mempengaruhi perubahan emosinya.     

Raisa merapikan selimut sang ibu, dan memijit bagian kaki sang ibu dengan lembut.     

"Mama, jangan terlalu banyak pikiran, Mama, harus cepat sembuh ya," ujar Raisa.     

Masih tetap terdiam, Rima tak menyahuti ucapan putri sulungnya itu.     

Lalu perlahan, karna dia yang sudah mulai kelelahan, Rima pun memejamkan matanya.     

"Mama ...,"     

Terdengar suara yang sangat tak asing memanggilnya.     

"Eliza!" teriak Rima, tapi hanya dalam dunia mimpi.     

Rima melihat Eliza melambaikan tangan kepadanya, yang masih duduk di atas kursi roda.     

Eliza tersenyum manis kepada sang ibu.     

"Eliza, kenapa kamu lama sekali tidak menemui, Mama?" tanya Rima.     

"Maafkan, Eliza, Ma, Eliza tidak bisa menemui, Mama, sesering dulu, tapi Eliza akan datang di saat, Mama, benar-benar membutuhkan, Eliza."     

"Tapi, Mama itu selalu membutuhkan kamu setiap waktu, Nak! Kamu itu yang terpenting buat, Mama,"     

Eliza kembali tersenyum kepada sang ibu.     

"Mama, jangan khawatir, Eliza akan selalu ada untuk Mama, walau tak selalu di hadapan Mama, di pelukan Mama, atau di depan mata, Mama, tapi Eliza, selalu akan hidup di hati Mama, sampai kapan pun itu, Eliza akan selalu sayang sama, Mama,"     

"Tapi, Mama, ingin memeluk kamu, Sayang," tukas Rima sambil menangis.     

Dan tiba-tiba saja Eliza lenyap dari hadapan Rima, dan tampak sekali Rima sangat kecewa, karna sang putri malah meninggalkannya.     

Tapi tiba-tiba, dalam dadanya terasa sangat hangat, seperti ada yang memeluknya.     

"Eliza, kamu di sini, Nak?" ujar Rima seraya tersenyum bahagia.     

Ternyata, Eliza sudah ada dalam pelukannya.     

"Kamu itu kesayangan, Mama, kamu harus selalu ada buat, Mama," tukas Rima.     

Tapi Eliza masih terdiam sambil tersenyum saja, tak sepatah kata pun yang terucap dari mulutnya.     

"Mama, sangat hancur saat kamu pergi, Mama, merasa kosong saat kamu tak lagi mau menemui, Mama, jadi Mama mohon jangan tinggalkan Mama, lagi, Nak, Mama mohon,"     

Masih dengan mata terpejam, Raisa mulai terdengar suara isak tangis, lalu perlahan Raisa mulai membuka kembali kedua kelopak matanya.     

Dan dia melihat wanita di sampingnya, tampak sedang terisak tangis sambil memejamkan matanya.     

Raisa tahu, bahwa sang ibu sedang bermimpi buruk, atau mungkin dia sedang memimpikan Eliza.     

"Ma, Mama ... bangun, Ma, bangun ...." Tukas Raisa sambil menepu-nepuk eajah sang ibu.     

"Bangun, Ma, ayo bangun, Mama,"     

Dan perlahan-lahan, Rima mulai membuka matanya.     

Dia mendapati di hadapannya adalah Raisa putri sulungnya, bukan Eliza, si bungsu kesayangannya.     

"Di mana, Eliza? Di mana?" tanya Rima yang masih belum bisa membedakan antara mimpi dan kenyataan.     

"Ma, tadi itu, Mama, lagi mimpi ya?" tanya Raisa dengan suara pelan dan sabar.     

Sedangkan Rima masih terdiam dan mulai menyadari, jika dia memang hanya sedang bermimpi.     

"Kenapa kamu bangunkan, Mama, Rai?" tanya Rima, yang terlihat kesal kepada Raisa.     

"Mama, tadi menangis sambi tidur, Raisa, khawatir sama, Mama, jadia Raisa, bangunkan, Mama" jawab Raisa.     

"Tapi karna kamu sudah memebangunkan, Mama, Eliza, jadi pergi, padahal tadi Mama, bisa memeluk Eliza dengan erat,"     

"Tapi, Ma,"     

"Kamu itu jahat, Raisa! Kenapa kamu malah bangunin, Mama? Kenapa kamu gak biarin Mama, sama Eliza lebih lama dulu,"     

"Ya ampun, Mama, salah Raisa apa? Kenapa, Mama, malah menyalahkan Raisa?"     

"Ya karna kamu sudah membangunkan, Mama, Rai!"     

"Mama! Raisa khawatir sama, Mama, makanya Raisa bangunin, Mama,"     

"Iya, tapi Eliza, putriku jadi pergi hik hik ...."     

"Ma! Apa selama ini, Raisa, itu tidak pernah ada di hati, Mama? Apa hanya Eliza, yang hanya bisa membuat, Mama, bahagia? Raisa tidak?" tanya Raisa yang sudah mulai terbawa dengan suasana.     

Nampaknya Raisa hanyalah seorang manusia biasa, sehingga dia juga memiliki batas kesabaran.     

Selama ini Raisa selalu bersabar menghadapi sang ibu.     

Dia tidak peduli dengan hatinya yang selalu sakit, dengan perkataan sang ibu yang salalu berbicara tentang Eliza, tanpa memikirkan kebaradaannya saat ini,"     

"Ma, Raisa ini juga anak, Mama, 'kan?"     

"Kenapa kamu bicara begitu kepada, Mama, Rai?"     

"Ya kenapa, Mama, selalu membicarakan Eliza yang jelas-jelas sudah gak ada? Padahal selama ini ada Raisa yang selalu ada buat, Mama?"     

Sejenak Rima pun terdiam dan memikirkan apa yang di ucapkan oleh Raisa itu.     

Tak biasanya Raisa teihat sangat kesal seperti ini, padahal Raisa selalu sabar menghadapinya.     

Kali ini Raisa terihat sangat lelah, wajar saja, siang bekerja dan malam dia harus mengurus sang ibu, bahkan Raisa menghentikan pendidikkannya yang belum usai di luar negeri, hanya demi pulang untuk belerja di rumah dan mengurus sang ibu.     

Tapi Rima baru menyadari, bahwa selama ini dia mengabaikan pengorbanan Raisa, dia selalu marah dan bertingkah semaunya sendiri.     

"Ma, selama ini Raisa, tidak pernah memikirkan diri Raisa sendiri, karna Raisa selalu memikirkan, Mama! Tapi kenapa sedikit pun, Mama, tidak peduli dengan perasaan Raisa?"     

"Raisa ...." Ujar Rima yang tampak bingung harus berkata apa.     

"Apa, Raisa, salah kalau sudah mengeluh begini sama, Mama? Karna harusnya, Raisa itu terlihat lebih kuat dari, Mama, tapi apalah daya, Raisa cuman manusia biasa, Ma,"     

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.