Bullying And Bloody Letters

Mencari Jalan Keluar Lagi



Mencari Jalan Keluar Lagi

0"Pergi, Mas! Jangan dekat-dekat dengan ku! Aku benci sama, Mas Surya!" sergah Rima.     

"Rima, tolong, Rima, jangan abaikan aku, beri aku kesempatan sekali lagi, Rima," tukas Surya yang memohon.     

"Gak bisa, Mas! Sekalinya tidak mau ya tidak mau!"     

"Rima, aku mohon, Rima,"     

"Pergi Mas! Aku bilang pergi ya, pergi!" teriak Rima.     

Dan akhirnya, Surya pun terpaksa pergi meninggalkan Rima, hari ini dia kembali pulang dengan tangan kosong lagi, karna tidak mendapatkan maaf dari suaminya.     

Dengan langkah gontai dan sedikit lemas, Surya keluar dari dalam rumah itu, dan di luar dia bertemu dengan Raisa yang baru saja pulang.     

"Loh, Papa, ngapain kemari?" tanya Raisa.     

"Ya biasalah, lagi berusaha," jawab Surya.     

"Terus gimana? Kira-kira berhasil enggak?"     

"Belum, Rai, masih belum berhasil, Mama kamu itu keras kepala banget, Papa, gak bisa dengan muda merayunya," jelas Surya.     

"Sabar ya, Papa, jangan menyerah, Raisa akan selalu mendukung, Papa, sampai Papa, mendapatkan hati, Mama, kembali," ujar Raisa yang terus menyemangati sang ayah.     

"Iya, Sayang, makasi, ya," tukas Surya Seraya, mengelus kepala Raisa, dengan lembut.     

"Eh, , by the way, itu bunganya kok di bawa pulang lagi sih, Pa?" tanya Raisa.     

"Ya, habis mau buat apa lagi, Mama kamu, 'kan sudah menolaknya," jawab Surya.     

"Yaudah, kalau begitu dari pada mubazir, mendingan boleh bunga buat, Raisa, aja ya, Pa?"     

Surya melirik kembali ke arah bunga yang ada dalam pelukannya itu.     

"Ok, kalau begitu, bunganya buat kamu aja," Dan drngan penuh yakin Surya menyodorkan bungat itu ke arah Raisa.     

"Makasi, Papa,"     

"Iya, sama-sama, yasudah sekarang, Papa, mau pergi dulu ya,"     

"Iya, Pa! Dada, Papa!"     

"Da!"     

Sambil membawa bunga itu, Raisa memasuki rumahnya.     

"Selamat, malam, Mama," sapa Raisa dengan ramah.     

"Malam, Sayang,"     

"Mama, gimana keadaan hari ini?"     

"Baik, hanya saja Mama, tadi ada situasi yang kurang baik,"     

"Kurangan baik, bagimana?"     

"Ya, ada pengganggu datang,"     

"Maksudnya, Papa?"     

"Iya, kok kamu bisa tahu?"     

"Iya, tadi Raisa berpapasan di luar,"     

"Oh, begitu, terus ngapain kamu bawa bunga itu? Itu bunga dari Papa kamu, 'kan?"     

"Iya, Ma, benar!"     

"Terus kenapa kamu bawa?! Kenapa gak kamu buang?!"     

"Sayang, dong, Ma. Papa 'kan beli bunga ini pakai uang, masa ia mau di buang gitu aja!"     

"Ah, tapi kalau kamu bawa masuk ke rumah begini, Mama, jadi kesal banget!"     

"Ih, Mama, gak boleh terlalu benci sama orang, karna hal ini hanya akan membuat Mama, malah merasa tidak tenang."     

"Bodo amat! Mama, sudah terlalu benci sama, Papa, kamu!"     

Raisa menahan tawa melihat kelakuan dari sang ibu yang terlihat kekanak-kanakan.     

Mungkin butuh perjuanagan panjang bagi ayahnya untuk mendapatkan hati dari sang ibu.     

Rima sudah seperti anak kecil yang kehilangan kepercayaannya.     

Tapi meskipun begitu Raisa merasa sangat bahagia.     

Setidaknya ayahnya sekarang kembali berada di sisinya.     

***     

Di sebuah jalanan yang teramat sepi, tampak Rasty sedang mengendarai mobilnya dengan sangat kencang.     

Dia hendak pergi ke tempat dukun yang waktu itu pernah ia datangi bersama sang kaka.     

"Aku harus mendapatkan jimat yang lebih ampuh lagi, bila perlu aku harus mendapatkan senjata untuk melenyapkan hantu sialan itu!" gumam Rasty seraya mengendalikan stir mobinya.     

Setelah beberapa jam berlalu, akhirnya, dia sampai di tempat dukun itu.     

Tok tok tok!     

Rasty mengetuk pintu rumah dukun itu.     

"Masuk!" terdengar suara dari dalam rumah yang menyahuti ketukan pintunya itu.     

Dan dengan ekspresi wajahnya yang masih ragu-ragu, Rasty pun memasuki rumah dukun itu.     

Dan di dalam rumah dia sudah di sambut dengan aroma kemenyan yang sangat menyengat dan menusuk indra penciumannya.     

Rasty tampak mengernyitkan alisnya seraya menutup bagian mulut dan hidunganya, karna dia tidak tahan dengan aroma yang menyengat ini.     

"Masuk! Ayo silahkan duduk!"     

Perintah seseorang berpakian hitam dengan blangkon di kepala itu.     

Rasty pun juga duduk mengikuti perintah dari pria paruh baya itu.     

"Ada perlu apa kamu datang kemari?" tanya dukun itu.     

"Emm, aku butuh jimat yang lebih ampuh lagi! Bila perlu beri aku senjata untuk menghabisi arwah itu!" ketus Rasty.     

"Jimat yang kamu bawa itu sudah cukup, tidak perlu alat-alat lainnya!" jawab Dukun itu.     

"Tidak! Ini masih tidak cukup bagiku! Lagi pula Kakaku, juga sudah mati meski punya jimat ini!"     

"Kakamu yang terlalu ceroboh! Dia pasti sudah melupakan jimatnya, sehingga arwah yang penuh dendam itu datang dan membunuhnya!"     

"Tapi! Tetap saja! Aku tidak bisa tenang! Aku butuh jimat yang lebih ampuh lagi!" teriak Rasty.     

"Apa kamu itu tidak bisa bertingkah lebih sopan lagi kepadaku?! Ini adalah rumahku! Jadi bersikaplah yang baik terhadapku!" ujar sang dukun.     

Dan seketika Rasty pun langsung bertingkah agak pendiam dari sebelumnya.     

Dia merasa tertohok dengan ucapan sang dukun.     

Dia terlu menggebu-gebu karna dia yang benar-benar ingin terlepas dari teror arwah dari Eliza.     

"Baik, saya minta maaf, karna sudah tidak berlaku sopan kepada anda, tapi saya mohon, Mbah! Berikan saya jimat yang lebih ampuh lagi, berapa pun biayanya saya akan bayar!" ujar Rasty.     

"Ini bukan masalah biaya, tapi masalah kamu mampu atau tidak!"     

"Maksudnya, mampu untuk apa, Mbah?"     

"Kamu harus menggali makam gadis itu, lalu kamu harus mengambil dua helai rambut dari jasad gadis itu laku menyerahkannya kepadaku!" tutur sang dukun.     

"Apa?! Jadi saya harus mendatangi makam dari gadis itu?!"     

"Iya benar!"     

Rasty merasa sangat bingung, di sisi lain dia ingin melenayapkan Eliza dan terbebas dari terornya, tapi di sisi lain dia merasa takut untuk mendatangi makam itu.     

"Bagimana? Apa kamu siap?" tanya Dukun itu.     

"Tapi, apa tidak ada cara lain selain ini?" tanya Rasty.     

"Tidak! Hanya itu dan kamu juga harus mambunuh wanita yang mengendalikan arwah itu,"     

"Maksudnya, saya harus membunuh ibu dari gadis itu?!"     

"Iya!"     

Rasty mengernyitkan dahinya, sebelum dia kembali mendatangi rumah dukun ini, dia sudah memiliki rencana untuk membunuh Rima, hanya saja, kalau harus membongkar makam dari Eliza adalah hal terberat yang harus dia jalani.     

"Kalau membunuh wanita itu, bagiku tidak masalah tapi yang menjadi masalahku saat ini, adalah dengan membongkar makam gadis itu dan mengambil bagian rambutnya! Ini terasa menjijikan dan menyeramkan bagiku!" pungkas Rasty.     

"Memang hanya itulah yang harus kamu lakukan, supaya kamu benar-benar terbebas dari teror gadis itu!"     

"Kalau begini carahya, mungkin jimat yang, anda berikan tempo gari itu sudah cukup bagiku!" tegas Rasty.     

"Cukup selama kamu tidak lengah, tapi kalau sampai kamu lengah maka nyawa kamu taruhannya, sama persis dengan apa yang sudah yang di alami oleh kakamu!"     

Rasty pun kembali tertegun, dia bingung harus memilih jalan yang mana lagi.     

Dia harus memilih tetepa berhati-hati dengan satu jimat di tangannya, atau lebih berusaha lagi dengan menggalih makam dari Eliza untuk mendapatkan senjata yang lebih ampuh dan juga agar bisa memusnahkan arwah Eliza.     

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.