Putri Dari Akkadia: Cinta Setinggi Langit Dan Bintang

Aku Akan Membawamu Pulang



Aku Akan Membawamu Pulang

0Xion sudah mengenal Therius sejak lama. Mereka pun bersahabat dan saling menyimpan rahasia besar masing-masing. Dapat dikatakan, di dunia ini, Xion adalah orang yang paling mengenal sang pangeran.     

Dan selama belasan tahun mereka saling mengenal, Xion belum pernah melihat wajah Therius tampak demikian terpesona seperti sekarang. Sepasang mata topaz pemuda itu tampak sendu (dreamy) menatap layar yang menampilkan gadis tercantik yang pernah mereka lihat.     

Secara fisik, Emma Stardust menuruni penampilan ibunya. Hanya saja ada sesuatu yang berbeda. Gadis ini terlihat serius dan sedih. Mereka ingat Putri Arreya memiliki kepribadian yang hangat dan selalu tampak gembira.     

Mereka tidak tahu apakah Emma mengikuti kepribadian ayahnya yang serius dan pendiam, atau sebenarnya ia juga periang seperti ibunya. Mungkin wajahnya tampak serius dan diliputi kesedihan karena Emma memang sangat menderita selama ini hidup seorang diri di negeri yang asing baginya.     

Therius yang selalu acuh tak acuh dan tak pernah tampak tertarik pada apa pun, entah kenapa merasa hatinya sedih melihat air mata gadis itu. Rasanya ia ingin mendatangi Emma dan menenangkannya... dan melakukan apa pun untuk menghapus air matanya.     

Aku akan membawamu pulang dan menghapus kesedihanmu... batin Therius sambil menatap wajah gadis itu dengan pandangan tidak berkedip.     

BEEP.     

Ia akhirnya memencet tombol untuk mematikan rekaman dan menarik napas panjang. Ia lalu menoleh ke arah Xion dan menatap sahabatnya dalam-dalam.     

Xion terpana melihat pelan-pelan seulas senyum terukir di wajah Therius yang biasanya dingin tanpa ekspresi.     

"Aku akan membawanya pulang..." kata Therius tegas.     

Xion mengangguk. "Aku bisa melihatnya."     

Therius menatap layar itu sekali lagi dan kemudian berbalik keluar dari pesawat mini. Ia memanggil para pimpinan awak dan berpesan tegas kepada mereka untuk tidak sekali-sekali mencoba mendengarkan pesan yang ada di dalam pesawat itu.     

"Kalian periksa log pesawat ini dan cari tahu asalnya. Kita akan mendaratkan pesawat kita di sana. Jangan ada yang berani membuka pesan di pesawat itu."     

"Baik, Tuan."     

Therius berjalan kembali ke ruangannya dengan suasana hati yang dipenuhi kegembiraan. Xion belum pernah melihat sahabatnya tampak segembira ini.     

"Ah... dia sedang jatuh cinta," gumam Xion kepada diri sendiri.     

***     

Emma menghabiskan waktu tiga hari di Bulan untuk mengenang keluarganya dan kemudian akhirnya memutuskan untuk pulang ke Swiss. Ia merasa sangat lega setelah mengirim pesawat berisi pesan ke Akkadia. Setidaknya, kini ia memiliki sesuatu untuk dinantikan.     

Walaupun itu setahun.. ia akan setia menunggu. Ia akan menyibukkan diri dengan berbagai hal sambil menunggu mereka menjemputnya.     

Dalam perjalanan kembali ke Swiss, Emma bahkan berhasil tidur di dipan. Haoran membiarkan Emma beristirahat sementara ia duduk merenung di kursinya. Ia sangat mendukung Emma bertemu dengan keluarganya, tetapi di saat yang sama, hati kecilnya mengingatkan Haoran bahwa ia tidak berasal dari Akkadia.     

Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan ketika tim penjemputan itu datang dan hendak membawa Emma pulang. Apakah ia harus ikut ke Akkadia?     

Semua yang ia ketahui ada di bumi. Ia tak mengerti sistem kehidupan Akkadia, ia juga tidak mengerti bahasa mereka. Ia akan benar-benar menjadi orang asing di sana. Dan yang lebih parah lagi.. bagi mereka, ia hanyalah makhluk dari sebuah planet terbelakang...     

Itu kalau mereka mengizinkannya ikut. Bagaimana kalau mereka tidak memperbolehkannya ikut bersama Emma? Bagaimana ia dapat melindungi Emma? Kalau mereka tidak bersedia membawanya serta dengan Emma, apa yang harus ia lakukan? Apakah ia harus membuat Emma memaksa mereka untuk menerimanya?     

Haoran tahu posisi Emma sangat lemah, karena ia justru merupakan buronan dari planetnya. Walaupun ia adalah anak seorang putri, mereka tentu tidak akan mendengarkan kata-kata Emma.     

"Oh, Emma... Apa yang harus kita lakukan?" gumam Haoran pelan sambil memandangi wajah Emma yang sedang tertidur dengan damai.     

Mereka mendarat kembali di tempat mereka dijemput AWA saat waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam. Suasana di padang itu sangat sepi. Mobil yang mereka tinggalkan masih terparkir rapi di bawah pohon, persis seperti ketika mereka tinggalkan.     

Setelah membawa koper mereka turun dari pesawat, Haoran dan Emma segera menuju ke mobil sewaan mereka dan memasukkan barangnya ke dalam bagasi. Pesawat yang mengantar mereka segera menghilang dan tidak lama kemudian melesat kembali ke angkasa.     

Haoran dan Emma saling pandang dan menarik napas dalam-dalam.     

Rasanya seperti mimpi! Mereka hanya yakin bahwa keduanya tidak bermimpi karena mereka mengalaminya bersama.     

"Ayo kita pulang..." kata Haoran sambil menarik tangan Emma. Ia membukakan pintu mobil untuk gadis itu lalu masuk ke kursi pengemudi. Ia melihat Emma masih mengantuk dan berusaha menghiburnya. "Kita mencari hotel di Interlaken saja, biar dekat. Kau bisa langsung tidur. Besok kita berangkat ke Luzern dan terbang ke Shanghai."     

Emma mengangguk. Selama tiga hari terakhir ini ia merasakan kelelahan batin yang luar biasa. Ia memang bahagia dapat melihat semua peninggalan orang tuanya dan mengenang mereka lewat berbagai rekaman yang disimpan AWA, tetapi pada saat yang sama semua kenangan itu membangkitkan kesedihan yang mendalam karena ia merasakan rindu yang semakin besar dan tak tertahankan kepada mereka.     

Inilah yang membuat Emma merasa sangat lelah dan selalu ingin tidur. Haoran melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi dan setengah jam kemudian mobil mereka telah diparkir di depan sebuah hotel di Interlaken.     

"Kita sudah sampai, ayo kita turun," kata Haoran. Emma mengangguk. Keduanya keluar dari mobil dan membawa koper mereka turun menuju lobi hotel.     

Petugas check in segera menyambut mereka dengan senyum ramah. "Selamat datang, Tuan dan Nona. Kebetulan sekali, kami punya satu kamar terakhir untuk Anda."     

Haoran dan Emma saling pandang.     

Satu kamar terakhir?     

"Apakah kamar yang lain penuh?" tanya Haoran. "Kami perlu dua kamar."     

"Ugh.. agak sulit mencari kamar kosong di jam segini," kata petugas itu dengan ekspresi menyesal. "Akhir pekan ini ada festival musim semi dan semua kamar hotel penuh dipesan. Apakah kalian tidak bisa berbagi kamar?"     

"Tidak apa-apa, kami akan mencari hotel lain," kata Haoran sambil tersenyum.     

Ketika ia hendak berbalik, Emma memegang tangannya. "Uhm.. tidak usah. Kita menginap di sini saja. Lagipula dia bilang di sini sedang ada festival dan kamar-kamar habis dipesan. Kita akan membuang waktu kalau bolak-balik mencari kamar hotel yang kosong. Siapa tahu di hotel lain malah sudah tidak ada kamar."     

"Eh.. tapi mereka hanya punya satu kamar.." kata Haoran sambil menatap Emma. Gadis itu hanya mengangkat bahu.     

"Kita juga biasa berbagi kamar di kapal. Tidak apa-apa, kan?" tanya Emma.     

Haoran akhirnya mengangguk. Ia lalu menghadap petugas check in dan mengangguk. "Baiklah, kami ambil kamarnya."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.