Putri Dari Akkadia: Cinta Setinggi Langit Dan Bintang

Therius & Xion



Therius & Xion

0Senyumnya membuat sang pemuda terlihat seperti malaikat yang mengesankan. Namun, para perwira yang ada di anjungan lebih tahu. Mereka tidak boleh melonggarkan kewaspadaan hanya karena pria itu tampak sedang memiliki suasana hati yang baik.     

Mereka tetap bekerja dengan tekun dan berusaha tidak membuat kesalahan. Setelah puas mengamati langit di luar pesawat mereka, pemuda itu lalu berjalan keluar dari anjungan dan menyusuri lorong panjang menuju ke ujung, lalu masuk ke dalam lift dan turun dua lantai ke bawah.     

Ia berjalan santai memasuki sebuah ruangan sangat besar yang terlihat kosong. Dengan sekali tepukan seketika lampu di ruangan itu menyala terang benderang.     

"Hei.. Therius, kau memanggilku?"     

Tiba-tiba terdengar suara seorang lelaki dari belakangnya. Pemuda itu tidak menoleh untuk melihat siapa yang datang. Ia hanya mengangguk. Wajahnya kembali terlihat tanpa ekspresi.     

"Aku merasa perlu berolah raga sedikit," jawab pria berambut putih. Ia menunggu hingga lelaki yang menyapanya mendekat. Tidak lama kemudian seorang pemuda tampan berambut keemasan yang terurai hingga ke lehernya berhenti di depannya. Therius mengangguk sedikit dan menyapa orang yang baru datang. "Xion, kau mau latihan?"     

Lelaki yang dipanggil Xion itu sama seperti pemuda berambut putih, tidak mengenakan seragam militer. Ia hanya mengenakan baju ringkas berwarna abu-abu yang sederhana. Wajahnya tampan dan berwibawa, tetapi sepasang mata ungunya yang berkilauan tampak menakutkan, seolah dengan matanya ia dapat membaca hati dan masa depan orang yang menatapnya secara langsung.     

"Kudengar perjalanan kita masih panjang," jawab Xion. "Kita masih akan membutuhkan dek latihan ini. Jangan menghancurkannya sekarang."     

"Aku berjanji, tidak akan mengeluarkan lebih dari sepertiga kekuatanku. Kau bisa pegang kata-kataku," jawab temannya sambil mengangkat bahu.     

"Duh.. aku sedang malas bertarung, Therius. Kenapa kau tidak mengajak sparring perwira-perwira yang ada di kapal ini saja?" omel Xion dengan ekspresi malas.     

Namun demikian, Therius sama sekali tidak mengindahkan protes temannya, tanpa memberi peringatan, ia telah melambaikan lengannya dan segera semua pintu di dek besar itu tertutup. Dengan sapuan tangannya yang kedua kali, tiba-tiba muncul api berwarna indigo dari telapak tangannya yang segera ia ayunkan ke arah Xion.     

Xion yang diserang secara tiba-tiba dengan sigap memiringkan tubuhnya sedikit dan bola api yang meluncur ke arahnya segera menghantam ruang kosong di belakang tubuhnya. Dengan wajah tersenyum tipis ia lalu menjejak lantai dan melesat ke arah Therius.     

Bersama tubuhnya ada gelombang angin yang sangat kuat hendak menghantam tubuh Therius. Pemuda yang diserang segera menghindar dengan gerakan yang anggun dan tangan kanannya bergerak mencengkram leher Xion yang melesat di sebelah kanannya.     

Xion menahan tangan Therius dengan tangan kirinya dan keduanya saling memukul menghindar, membanting, dan menjegal. Udara sangat dingin dan api yang sangat panas silih berganti menguasai dek latihan saat tubuh keduanya bergerak semakin cepat hingga tampak seperti dua bayangan yang berkelebat dengan iringan pusaran angin dan lidah api indigo menyala-nyala.     

Selama satu jam, sama sekali tidak ada yang mengalah. Mereka berkelahi jarak dekat dengan sepertiga kekuatan mereka dan setelah satu jam, tidak ada satu pun yang terlihat akan memenangkan pertarungan.     

"Sudah cukup." Therius tiba-tiba melentingkan tubuhnya ke belakang dan mengangkat tangannya menahan tinju Xion. Tidak ada api di telapak tangannya, tanda bahwa ia ingin menyudahi latihan mereka.     

Xion segera menahan diri dan gelombang angin dingin yang sedari tadi melingkupi tubuhnya segera menghilang.     

"Kau ini tidak bisa mendengar jawaban tidak, ya," omelnya.     

Tubuh pemuda itu perlahan-lahan turun ke lantai dan ia pun menjejak dengan kedua kakinya. Xion mengebas-kebaskan pakaiannya dan berjalan ke dinding sebelah kanan. Pintu geser segera terbuka dan ia pun masuk ke ruangan sebelah yang ditata seperti ruang rekreasi lengkap dengan beberapa sofa yang nyaman dan berbagai peralatan canggih serta berbagai perlengkapan makan dan minum.     

"Di kapal ini hanya kau yang memiliki kemampuan selevel denganku. Berlatih dengan yang lain tidak menarik. Lagipula kau harus tunduk pada kata-kataku selama kau di kapal ini karena..." Therius tidak melanjutkan kata-katanya, hanya menatap Xion dengan pandangan penuh arti.     

"Brengsek," omel Xion. "Dasar."     

Therius hanya memutar matanya dan menghempaskan tubuhnya di sofa. "Sepertinya kau mulai bosan. Aku hanya mengajakmu bersenang-senang dengan berlatih bersama. Bukankah lebih baik daripada duduk memandang langit sampai bosan?"     

"Salah siapa aku terjebak di sini hingga cuma bisa duduk memandangi langit sampai bosan?" tukas Xion. Ia menuang air untuk dirinya sendiri dan kemudian duduk di seberang Therius. "Kau tahu aku cepat bosan. Seharusnya kau tidak membawaku dalam ekspedisi beginian."     

"Aku membutuhkan sahabatku dalam urusan seperti ini. Kau tahu aku tidak pandai menghadapi wanita," jawab Therius dengan nada datar.     

Xion akhirnya tertawa kecil mendengar ucapan sahabatnya. Pikirannya melayang pada beberapa peristiwa memalukan di masa lalu yang mengonfirmasi ucapan sahabatnya. Therius memang payah dalam menghadapi kaum hawa. Kekesalan Xion menjadi hilang sama sekali.     

Ia bertanya sambil tertawa, "Dan kau pikir aku pandai menghadapi wanita? Yang kau perlukan adalah Aeron, bukan aku."     

"Bah... mana mungkin dia bersedia ikut ekspedisi setahun penuh dan meninggalkan semua kekasihnya itu. Kau pikir aku tidak mencoba membujuknya?" tanya Therius dengan sebelah alis terangkat. "Kecuali aku menyediakan wanita untuknya."     

"Kau kan cukup memerintahkannya dengan posisimu..." kata Xion sambil mengangkat bahu. "Yang Mulia."     

"Heiii.. jangan sembarangan bicara kau! Bagaimana kalau ada orang yang mendengarnya? Tidak ada satu pun perwira di sini yang mengetahui siapa aku sebenarnya," omel Therius sambil mengambil cangkir minuman dari tangan Xion dan meneguk isinya.     

"Kalau ada yang mendengarnya, tentu akan mudah bagimu untuk menghapus ingatan mereka," jawab Xion santai.     

"Iish... di akademi, selain kau, tidak ada yang mengetahui identitasku," kata Therius lagi. "Aku tidak mau memaksa Aeron ikut ekspedisi ini hanya karena aku putra mahkota."     

"Tetapi kau tidak segan menggunakan posisimu untuk memaksaku ikut. Keterlaluan sekali," sindir Xion.     

"Aku tidak memaksamu. Malah aku berjasa karena memberimu kesibukan. Hidupmu sangat membosankan di gunung. Kau ini masih terlalu muda untuk menjadi pertapa. Sudah saatnya kau turun gunung dan melihat dunia," komentar Therius. Ia telah menghabiskan minumannya dan menyerahkan cangkirnya kepada Xion.     

Pemuda berambut pirang itu menyipitkan matanya. "Kau sudah mengambil minumanku dan sekarang kau mau aku mengambilkan air minum lagi untukmu? Kau tidak punya kaki ya?"     

"Makanya, jangan sampai kau memanggilku Yang Mulia lagi, biar aku tidak memperlakukanmu sebagai pelayanku," balas Therius. Ia lalu bangkit dari sofa dan menuangkan minuman berwarna gelap dari botol di atas konter ke dalam cangkirnya. Wajahnya tampak kembali terlihat seperti malaikat ketika ia mencecap minumannya dan tersenyum bahagia. "Untung kita membawa cukup wine. Minum wine setelah latihan rasanya enak sekali."     

Xion hanya memandang sahabatnya dengan ekspresi senang. Ia mengayunkan tangannya dan botol wine di konter serta sebuah gelas pun segera melayang ke arahnya. Dengan sigap ia menuang wine untuk dirinya sendiri.     

Setelah selesai ia mengembalikan botol wine tersebut ke konter dengan cara yang sama. Ia lalu duduk santai dengan tangan memegang segelas wine.     

"Setelah ini aku mau tidur lagi dan tidak akan bangun selama tiga bulan sampai kita tiba di tempat tujuan. Awas kalau kau sampai membangunkanku," tukas Xion sambil menyesap wine-nya.     

"Kau berani mengancam Yang Mulia?" tanya Therius.     

Xion tidak menjawab. Ia hanya meneguk wine-nya dengan senyum misterius. Ia lalu menatap Therius sambil menyengir. "Kau tahu kan apa yang bisa kulakukan pada Therius kecil? Aku bisa membawanya ke rumah bordil dan membuatnya trauma pada wanita. Bayangkan... bocah polos berumur 5 tahun itu..."     

"Awas kalau kau berani!" Wajah Therius yang biasanya tanpa ekspresi kini tampak dongkol. Dari semua orang di dunia ini, hanya Xion yang selalu berhasil membuatnya tersulut emosi.     

"Aku masih ingat waktu itu kau memanggilku Paman Tampan.. ah menggemaskan sekali. Entah kenapa kau bisa tumbuh menjadi menyebalkan seperti ini. Menjadi pangeran bukan berarti bersikap sok kaku dan menyebalkan."     

Therius memijit keningnya. "Aku tidak pernah memanggilmu Paman Tampan. Aku pasti ingat."     

Ia menyimpan cangkirnya ke konter dan segera mencengkram tangan Xion. Therius menatap mata sahabatnya itu lekat-lekat. "Xion, mulai saat ini kau tidak boleh memikirkan untuk pergi ke masa lalu dan merusak masa kecilku, sama sekali. Sekarang kau boleh kembali tidur. Bukankah tadi kau bilang sudah mengantuk?"     

Xion mengerjap-kerjapkan matanya dan kemudian menguap lebar sekali. "Hmm.. kau benar. Aku memang mengantuk. Sesudah mandi aku akan kembali ke sleeping pod dan tidur."     

"Bagus." Therius melepaskan cengkeramannya dari tangan Xion. "Pergi tidur sana. Aku tidak akan mengganggumu lagi."     

Xion bangkit dari sofa dan berjalan malas-malasan keluar dari ruang rekreasi. Sebelum ia mencapai pintu, pemuda tampan itu menoleh dan menyipitkan matanya ke arah Therius. "Awas ya, jangan membangunkanku sebelum tiga bulan. Kalau tidak aku akan mengunjungi Therius kecil lucu dan menggemaskan yang memanggilku Paman Tampan. Aku tidak bercanda."     

Ia lalu pergi sambil tertawa geli. Telemancy Therius memang cukup kuat untuk mengontrol pikiran 20 orang sekaligus, tetapi ternyata tidak cukup kuat untuk mengontrol pikiran Xion yang merupakan mage triple-elemen yang selevel dengan dirinya sendiri.     

"Brengsek," desis Therius pelan. "Dasar."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.