Putri Dari Akkadia: Cinta Setinggi Langit Dan Bintang

Memberitahukan Pernikahan



Memberitahukan Pernikahan

0Wajah ibu Haoran tampak berseri-seri melihat kotak-kotak hadiah dari Haoran. Walaupun baginya tetap saja, kehadiran Haoran adalah hadiah terbaik dalam hidupnya. Namun demikian, ia tersenyum dan mengangguk saat Haoran membuka kotak pertama dan mengeluarkan mantel yang dipilihkan Emma.     

"Emma yang memilihkan ini untuk ibu," kata Haoran sambil menoleh ke arah kekasihnya. Ibunya mengangguk senang. Ia mengambil mantel itu dari tangan Haoran dan mengenakannya.     

"Ini bagus sekali. Terima kasih," katanya dengan sukacita. Ia lalu memeluk Emma. "Aku senang bertemu denganmu, Emma."     

Emma membalas pelukan ibu Haoran dengan agak canggung. Ia sangat merindukan ibunya, dan pelukan ibu Haoran membuat dadanya sesak karena sedih. Namun demikian ia berusaha tetap bersikap manis.     

"Aku juga senang bertemu Tante," kata Emma sambil tersenyum.     

"Uhm... kau harusnya memanggil ibu, bukan Tante," kata Haoran mengoreksi.     

Wajah Emma seketika memerah mendengar kata-kata Haoran.     

"Ibu?" Ibu Haoran bukan orang bodoh. Ia segera dapat menduga apa maksud anaknya. Ia melepaskan Emma dari pelukannya dan menatap gadis itu baik-baik. Wajahnya terlihat dipenuhi rasa ingin tahu. "Kalian akan menikah?"     

Haoran menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Wajahnya sama sekali tidak tampak malu atau tersipu-sipu seperti Emma. Malah sebenarnya ia terlihat bangga.     

"Benar... kuharap Ibu mau memberikan restu," kata pemuda itu sambil menggenggam tangan Emma.     

"Kenapa buru-buru sekali? Kalian kan masih kecil..." tanya Ibu Haoran keheranan. Ia buru-buru menambahkan. "Bukannya ibu tidak setuju. Ibu hanya ingin tahu."     

Haoran sekarang malah memeluk pinggang Emma sebelum menjawab pertanyaan ibunya. "Aku dan Emma sudah yakin dengan perasaan kami masing-masing. Kami sudah bersama selama setahun dan rasanya aku tidak mau menunggu lagi."     

Ia tidak akan memberi tahu ibunya bahwa alasan ia ingin mempercepat menikahi Emma adalah karena ia dan gadis itu akan segera meninggalkan bumi. Ia tak ingin membuat ibunya sedih.     

Seharusnya.. ia dan Emma menikah 5 tahun lagi. Ia sudah merencanakan semuanya. Haoran adalah seorang yang perencana dan perfeksionis. Namun, bila ia harus memilih, maka ia tak segan-segan mengubah rencananya dan mengambil keputusan cepat.     

Ia dan Emma tak akan dapat dipisahkan jika mereka telah menikah. Ia akan ikut gadis itu walaupun ke ujung dunia sekalipun.     

Walaupun ibu Haoran masih merasa ada sesuatu yang disembunyikan anaknya, ia tidak mendesak. Ia kembali memeluk Emma dan kemudian memeluk Haoran.     

"Selamat ya.. Ibu turut bahagia untuk kalian," katanya dengan suara haru. Ia berjingkat dan mencium pipi anaknya. "Ibu senang kau datang kemari dan memperkenalkan Emma."     

"Uhm.. aku juga ingin meminta ibu menjadi saksi kami," kata Haoran. "Kami memutuskan untuk menikah di sini, besok."     

"Eh?" Emma menoleh keheranan. Ia tidak mengira Haoran akan bergerak cepat dan merencanakan pernikahan mereka. Bukankah baru kemarin pemuda itu melamarnya?     

"Astaga... ini sungguh kejutan besar!" seru ibu Haoran. Ia sangat terkejut tetapi sama sekali tidak keberatan. Ia merasa sangat gembira karena Haoran melibatkannya dalam hari besarnya.     

"Aku tidak tahu kapan lagi bisa bertemu ibu, jadi aku pikir sebaiknya kami meresmikannya secepatnya dan menjadikan ibu bagian dari hari besar kami," kata Haoran. Ia meremas tangan Emma.     

Entah kenapa saat itu dada Emma terasa begitu hangat. Ia menjadi teringat kepada orang tuanya sendiri. Mereka berdua saling sangat mencintai dan menikah di tempat asing, setelah melarikan diri dari planet mereka.     

Sebaliknya, ia dan Haoran justru akan menikah demi agar Haoran dapat ikut dengannya ke Akkadia.     

"Kalian akan menikah di catatan sipil kota ini?" tanya ibu Haoran dengan penuh perhatian. "Kau sudah memeriksa persyaratannya?"     

"Sudah kemarin. Aku sudah meminta seseorang dari hotel mendaftarkan kami. Kalau ibu berkenan, kami mengundang ibu untuk datang ke pernikahan kami besok."     

'Kau tidak bilang kepadaku...' kata Emma sambil menatap Haoran. 'Aku sama sekali tidak sempat bersiap-siap.'     

Pemuda itu hanya mengangkat bahu sambil tersenyum jahil. 'Aku ingin memberimu kejutan.'     

'Uhm.. kau berhasil. Aku sangat terkejut. Kapan kau merencanakan ini?'     

'Dua malam yang lalu lalu setelah kau menerima lamaranku. Aku memeriksa berbagai persyaratannya dan kupikir Shanghai akan menjadi tempat yang tepat. Ibuku ada di sini dan beliau bisa memberikan restunya kepada kita.' Haoran menatap Emma dalam-dalam. 'Kau tidak suka?'     

'Aku hanya terkejut.' Wajah Emma kembali tampak tersipu-sipu. 'Aku suka.'     

"Oh, syukurlah!" seru Haoran sambil memeluk Emma dengan gembira. Tingkahnya membuat ibunya mengerutkan kening keheranan.     

"Syukurlah kenapa? Ibu tidak mengerti..." tanya beliau.     

Haoran dan Emma segera sadar dari tadi mereka hanya berkomunikasi berdua saja dengan telepati. Hal ini tentu membuat ibunya keheranan. Pemuda itu buru-buru memeluk ibunya.     

"Aku bersyukur karena ibu memberikan restu. Aku tidak sabar!"     

Ibu Haoran hanya menggeleng-geleng melihat kelakuan anaknya. "Kau memang tidak berubah. Selalu nakal sedari dulu."     

"Ahh.. ibu bisa saja," kata Haoran sambil tertawa. Ia membuka kotak berisi syal dan mengalungkannya di leher ibunya dengan hangat. "Ini hadiah berikutnya dariku dan Emma. Kami ingin ibu selalu hangat."     

"Terima kasih, Anakku sayang," kata ibu Haoran dengan terharu. Air matanya hampir menitik karena bahagia. Anaknya sama sekali tidak berubah, selalu perhatian dan penuh kasih sayang.     

Ahh.. ia sungguh senang melihat Haoran menemukan wanita yang ia cintai dalam usia begini muda. Emma terlihat seperti gadis yang baik, pikir ibu Haoran.     

"Dan yang terakhir.. ini hadiah paling istimewa. Aku tahu ibu sangat menyukai mutiara," Haoran membuka kotak terakhir dan mengeluarkan kalung mutiara air asin yang dibelinya di Ruby & Co. Kalung itu sangat panjang dan dapat dililit tiga kali di leher ibunya. Setiap mutiaranya berbentuk bulat sempurna dan memendarkan cahaya putih yang redup. Tampak begitu elegan dan sempurna.     

"Ah.. ini bagus sekali," tukas ibu Haoran. ia menyentuh kalungnya berkali-kali dan berdecak kagum. "Ibu menyukai semuanya."     

"Aku senang mendengarnya," kata Haoran.     

Mereka bertiga tampak sangat bahagia dapat berkumpul bersama pada hari itu. Ibu Haoran mengajak keduanya makan siang bersama dan mereka melanjutkan mengobrol dan bercengkrama sambil menikmati makanan.     

Saat tadi Haoran menghabiskan waktu bersama ibunya, ia telah menceritakan sedikit tentang Emma dan latar belakangnya, sehingga ketika mereka makan siang bersama, ibunya tidak lagi bertanya macam-macam tentang keluarga Emma.     

Ia hanya menanyakan tentang sekolah mereka, hobi, dan hal-hal yang menarik perhatian mereka. Di sepanjang makan siang itu, tak lepas-lepasnya ibu Haoran menatap wajah anaknya dengan wajah tersenyum.     

Ia takkan pernah bosan menatap wajah tampan itu. Ah.. Emma juga cantik sekali. Ibu Haoran tersenyum dalam hati membayangkan bahwa ia akan segera memiliki cucu yang mewarisi ketampanan atau kecantikan orang tuanya. Ia sudah tidak sabar.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.