Putri Dari Akkadia: Cinta Setinggi Langit Dan Bintang

Mengendalikan Pikiran



Mengendalikan Pikiran

0"Bagaimana kau bisa meyakinkan Profesor Ren Hanenberg untuk memberimu kode akses dan passwordnya?" tanya Haoran keheranan. Ia telah menaruh nampan berisi kue kayu manis di meja di samping tempat tidur Emma dan kembali ke dapur membantu gadis itu untuk menyiapkan teh.     

"Aku memaksanya secara halus," kata Emma sambil lalu. Ia menyerahkan nampan berisi poci teh kepada Haoran sementara ia membawakan dua cangkir ke kamarnya.     

Haoran mengikuti Emma dengan kening berkerut. Ia tidak mengerti maksud kata-kata gadis itu. Ia meletakkan nampan berisi poci teh di meja belajar Emma dan menuangkan teh ke cangkir mereka masing-masing lalu duduk di kursi, sementara Emma duduk di tepi pembaringan.     

"Aku tidak mengerti maksudmu dengan memaksa secara halus tadi," kata Haoran lagi. Ia menatap Emma dengan pandangan penuh selidik. "Apa yang kau lakukan terhadapnya? Apakah kau memerasnya?"     

Emma menggeleng. "Aku tidak memerasnya."     

"Lagipula, darimana kau bisa yakin bahwa ia tidak akan melaporkanmu dan mengganti kode aksesnya?" tanya Haoran lagi.     

"Dia tidak akan melakukannya. Aku sudah mengunci pikirannya untuk tidak pernah mengganti kode akses dan passwornya selama tiga tahun ke depan," kata Emma sambil tersenyum tipis.     

"Kau... mengunci pikirannya?" Haoran menatap Emma dengan sepasang mata membulat. Ia hampir tak percaya pada pendengarannya sendiri.     

Sesaat kemudian ia teringat saat Emma menceritakan rahasianya di Paris. Gadis itu menerangkan bahwa ibunya mengunci ingatannya selama belasan tahun, agar Emma tidak mengetahui siapa dirinya.     

Astaga...     

Ia baru menyadari     

Emma memiliki satu kekuatan lagi.     

"Kau bisa mengendalikan pikiran?" tanya pemuda itu dengan suara perlahan. "Apakah itu benar?"     

Emma menekap bibirnya. Ia lupa bahwa ia belum pernah memberi tahu Haoran bahwa ia memiliki kekuatan telemancy. Astaga...     

Tanpa sadar ia mengangguk.     

Emma kelepasan bicara karena ia terlalu senang dapat memperoleh akses langsung ke SpaceLab tanpa terduga. Akhirnya ia sadar bahwa tidak ada gunanya ia terus menyembunyikan kekuatan telemancy-nya dari Haoran.     

"Aku.. mewarisi kekuatan telemancy dari ibuku," kata gadis itu pelan. "Aku bisa membaca pikiran dan mengendalikannya. Tadi aku menggunakan kekuatan telemancy-ku untuk mendapatkan kode akses dan password Profesor Ren Hanenberg dan memastikan ia tidak akan menggantinya selama beberapa tahun ke depan."     

"Astaga..." Haoran tampak kagum sekali. "Kau sungguh luar biasa! Berarti kau memiliki enam kekuatan sekaligus!"     

Emma mengangguk. "Itu benar."     

"Apakah kau masih mendapatkan semua penglihatan dari masa lalumu saat kau menggunakan kekuatanmu?" tanya Haoran dengan penuh perhatian.     

Emma menggeleng. "Tidak lagi. Semua ingatanku sudah pulih sempurna. Sekarang aku bisa mengingat semua yang terjadi di masa lalu. Aku tidak perlu lagi memancingnya dengan menggunakan kekuatanku."     

"Hmm.. kau baru beberapa kali melatih kekuatanmu saat kita berlayar. Tetapi sepertinya kau dapat menggunakannya dengan begitu baik. Aku bahkan tidak tahu kau bisa mengendalikan pikiran," komentar Haoran antusias. "Apa ada hal menarik yang kau ketahui dari Profesor Hanenberg?"     

"Yah.. tidak banyak. Ren Hanenberg adalah orang yang rumit. Aku agak kesulitan membaca pikirannya karena otaknya memikirkan begitu banyak hal sekaligus. Rasanya aku belum pernah bertemu orang yang otaknya demikian aktif. Tetapi aku tahu ia bersimpati kepadaku saat aku mengatakan bahwa aku ingin mencari orang tuaku. Ia sendiri yatim piatu dan sangat merindukan orang tuanya..."     

"Oh.." Haoran tertegun mendengar kata-kata Emma. Ia lalu mengangguk. "Aku tidak mengira. Dari luar ia terlihat sangat ketus dan keras."     

"Oh... mengenai itu. Aku mengetahui bahwa ia memiliki insomnia sangat parah. Ia sering tidak tidur berhari-hari. Itulah yang membuat suasana hatinya menjadi sangat buruk. Tadi aku membalasnya dengan membuatnya mengantuk dan tidur selama beberapa jam," kata Emma sambil tersenyum.     

"Ohh.. kau bisa mengendalikan pikiran sehebat itu?" tanya Haoran penasaran. "Baiklah.. aku ingin tahu apakah kau bisa mengendalikan pikiranku."     

Emma menatap Haoran keheranan. "Kau mau aku mengendalikan pikiranmu? Kenapa? Aku menghormatimu dan tidak akan pernah melakukan hal itu kepadamu..."     

Haoran tertawa mendengar jawaban Emma. "Aku hanya ingin tahu dan merasakan sendiri. Ayolah.. kau bisa menyuruhku melakukan sesuatu dan aku akan coba melawan perintahmu. Minimal kau coba suruh aku tidur seperti Ren Hanenberg tadi."     

"Hmm.. baiklah." Akhirnya Emma mengalah.     

Ia menepuk bahu Haoran dan menatap matanya dalam-dalam.     

"Haoran, sebaiknya kau tidur sebentar. Kelihatannya kau sudah mengantuk," kata gadis itu lembut.     

Haoran menatap Emma dengan ekspresi keheranan. Tanpa dapat ditahan, mulutnya tiba-tiba menguap sangat lebar. Pandangan pemuda itu menjadi kabur dan sesaat kemudian ia telah terkulai jatuh.     

Emma buru-buru menahan tubuh Haoran dan menariknya ke tempat tidur. Gadis itu hanya menggeleng-gelengkan kepala saat melihat Haoran tertidur begitu pulas. Ia lalu mengambil beberapa foto Haoran yang sedang tidur dan mengirimnya ke ponsel pemuda itu.     

Lima menit kemudian Emma menepuk bahu Haoran dan membangunkannya.     

"Haoran... Ayo bangun dan minum tehnya," kata Emma. "Nanti tehnya dingin."     

Haoran membuka matanya satu persatu dan mengerutkan kening keheranan. Ia bangun dan duduk di tempat tidur lalu mengamati sekelilingnya dengan wajah bingung.     

"Kenapa aku ada di sini?" tanya pemuda itu.     

Emma tersenyum kecil dan menyerahkan ponsel Haoran kepadanya. "Tadi kau menyuruhku membuatmu tidur. Coba periksa gambar-gambar di ponselmu."     

Haoran mengamati ponselnya dan beberapa kali mendecak kagum. Ia lalu menatap Emma dengan pandangan penuh harap.     

"Astaga... kau benar! Sungguh luar biasa. Kau bisa membuatku menurut kepadamu dan tidur."     

"Aku tidak akan pernah melakukannya kepadamu kalau kau tidak memintaku," kata Emma. "Aku menghargai privasimu dan tidak akan pernah mengendalikan pikiranmu."     

Haoran memeluk Emma dengan penuh terima kasih. "Aku tahu. Kau memang gadis yang sangat baik."     

Ia mengamat-amati ponselnya lagi dan mengerutkan keningnya. Sesuatu kemudian terbetik di benaknya.     

"Emma... apakah kau bisa mengendalikan pikiranku agar aku menjadi pandai dan bisa mengerjakan semua ujianku nanti dengan nilai sempurna?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.