Putri Dari Akkadia: Cinta Setinggi Langit Dan Bintang

Kau Bisa Membaca Pikiranku



Kau Bisa Membaca Pikiranku

0"Emma... apakah kau bisa mengendalikan pikiranku agar aku menjadi pandai dan bisa mengerjakan semua ujianku nanti dengan nilai sempurna?" tanya Haoran sambil menyunggingkan cengiran iseng pada wajahnya.     

Emma hanya mendelik mendengar kata-kata pemuda itu dan menyesap tehnya, tidak menjawab.     

"Aku hanya bercanda, kau tahu itu," kata Haoran lagi. "Kau bisa membaca pikiranku kan? Kau pasti tahu bahwa aku berkata sebenarnya."     

"Ish.. aku tidak akan membaca pikiranmu lagi," kata Emma akhirnya.     

"Lagi?" Haoran mengerutkan keningnya mendengar kata-kata Emma. "Berarti sebelumnya kau pernah membaca pikiranku, dan sekarang kau tidak mau lagi melakukannya... Kenapa?"     

Emma hanya memutar matanya dan lagi-lagi tidak bersedia menjawab.     

"Kenapa, Emma? Bukankah akan lebih menyenangkan kalau kau bisa membaca pikiranku? Aku tidak usah capek-capek bicara...." kata Haoran lagi.     

Emma menatap pemuda itu keheranan. "Kau ini aneh ya... Kau ingin aku membaca pikiranmu hanya karena kau malas bicara? Apakah kau memang semalas itu?"     

"Entahlah.. kau bisa tahu jawaban dari pertanyaanmu kalau kau membaca pikiranku," tantang Haoran sambil tersenyum lebar.     

"Orang lain akan merasa terganggu privasinya kalau ada orang yang bisa membaca pikiran mereka," kata Emma sambil geleng-geleng kepala. "Kau memang berbeda dari manusia kebanyakan."     

"Ahh... itu karena aku tidak punya rahasia darimu, Emma sayang. Aku tidak keberatan kalau kau mengetahui apa yang ada dalam hatiku. Kau akan tahu bahwa di dalam pikiranku hanya ada kau..." kata Haoran dengan nada merayu.     

Wajah Emma seketika berubah memerah saat mendengar kata-kata pemuda itu. Ia kembali teringat saat mereka memandang bintang jatuh waktu itu. Ia dapat melihat isi pikiran Haoran yang saat itu sedang dipenuhi oleh berbagai pikiran mesum tentang dirinya.     

"Aku tidak mau membaca pikiranmu..." omel Emma sambil menghabiskan teh di gelasnya buru-buru. Wajahnya masih terlihat sangat merah. "Kadang-kadang pikiranmu mesum!"Haoran tersentak mendengar kata-kata Emma. Ia menatap gadis itu dengan pandangan penuh selidik. Melihat wajah Emma yang sangat merah, ia segera menyadari bahwa gadis itu memang benar.     

"Astaga.. Emma... benarkah itu?" Haoran seketika tertegun. Ia tadi hanya bercanda, tetapi ternyata Emma memang serius dengan ucapannya. "Ka.. kapan?"     

Haoran mengakui bahwa sebagai laki-laki normal, ia kadang membayangkan hal-hal romantis yang mengarah sedikit mesum tentang Emma saat ia sedang sendirian.. Tetapi ia tidak ingat pernah memikirkan hal semacam itu di depan Emma.     

Baginya gadis ini adalah seorang gadis yang masih murni dan ia tidak berani membayangkan yang tidak-tidak tentangnya. Ia sangat menghormati Emma.     

Emma mengisi kembali cangkirnya dengan teh dari poci. Ia lalu mendeham setelah menyesap tehnya pelan-pelan. "Waktu kita berciuman setelah memandang bintang..."     

"Ah..." Sepasang mata cokelat Haoran seketika terbelalak besar sekali. Ia sudah ingat. "Astaga..."     

Tanpa sadar ia juga menghabiskan tehnya buru-buru dan kembali menuangkan teh ke cangkirnya. Ia tak dapat menahan batuk-batuk setelah menghabiskan teh di cangkirnya sekali lagi.     

"Aku minta maaf..." katanya dengan suara pelan.     

Emma yang melihat ekspresi Haoran hanya bisa menggeleng-geleng, tetapi wajahnya tersenyum.     

"Sekarang kau mengerti kenapa aku lebih memilih untuk tidak membaca pikiran semua orang yang ada di sekitarku? Bisa mendengarkan pikiran orang lain itu tidak selalu menyenangkan," kata gadis itu.     

"Ahem.. ya, aku mengerti sekarang..." kata Haoran dengan suara serak. Ia masih berusaha menenangkan diri dari batuk-batuknya. Ia lalu mengalihkan pembicaraan dan mengomentari tanaman-tanaman cantik yang menghiasi jendela kamar Emma. "Aku menyukai tanaman yang ada di sini. Kau sangat telaten mengurusi mereka."     

"Terima kasih," kata Emma. "Aku memang sangat menyukai tanaman. Ayahku dari dulu ingin menjadi botanist, tetapi demi ibuku ia memilih masuk kemiliteran untuk melindunginya."     

"Oh, ya?" Haoran menjadi sangat tertarik mendengarnya. Ia dan Emma belum banyak membahas tentang orang tua gadis itu selama ini. Awalnya karena Emma sendiri tidak dapat mengingat detail tentang orang tua kandungnya. Tetapi kini ternyata gadis itu telah berhasil memulihkan semua ingatan masa lalunya. "Ayahmu sepertinya sangat mengesankan."     

"Memang. Ia hanya memiliki satu kekuatan saja, dibandingkan ibuku yang memiliki lima jenis kekuatan sekaligus, tetapi ia berhasil membuktikan dirinya sebagai pemimpin yang tangguh. Ibuku sering menceritakan betapa pemberaninya ayahku saat memimpin prajurit dalam perang." Emma menatap jauh ke luar jendelanya berusaha mengingat-ingat cerita yang disampaikan ibunya saat menemaninya tidur ketika ia masih sangat kecil.     

"Ada perang di planet kalian?" tanya Haoran dengan penuh perhatian. "Apakah ibumu pernah menceritakan seperti apa Akkadia itu?"     

Emma mengangguk sedikit. "Kadang-kadang kalau ibu sedang merindukan kampung halamannya, ia akan menceritakan tentang padang bunga favoritnya, Akademi tempat ibu bertemu ayah, istana rubi tempat kediaman ibu, dan berbagai macam tempat yang ia rindukan di Akkadia. Di planetnya ada tiga buah bulan yang berukuran besar. Warnanya biru, kemerahan, dan hijau. Setahun sekali ketiganya akan tampak bersamaan di langit, tampak indah sekali dan rakyat akan melakukan pesta di seluruh negeri. Itu adalah salah satu hari raya kesukaan ibu."     

Haoran mendengarkan semua penjelasan Emma dengan pandangan penuh perhatian. Ia tidak tahu bagaimana rasanya menjadi Emma. Gadis itu hanya mendengarkan cerita tentang kampung halamannya dari penjelasan orang tuanya, tanpa dapat membayangkan seperti apa tempatnya.     

Dalam hati ia mulai diliputi kesedihan. Bagaimana jika mereka tidak berhasil membawa Emma ke sana? Apakah Emma akan dapat menerima kenyataan dan hidup di bumi selamanya bersamanya.. tanpa pernah dapat bertemu kedua orang tuanya?     

"Kenapa wajahmu terlihat seperti itu?" tanya Emma keheranan.     

Haoran menggeleng-geleng sambil tersenyum iseng. "Kalau kau ingin tahu, kau bisa membaca pikiranku..."     

Emma mendecak sebal. "Astaga, Haoran.. aku tidak mengira kau menjadi semalas ini bicara setelah kau tahu aku bisa membaca pikiranmu. Orang lain akan merasa waswas berada satu ruangan dengan orang yang bisa membaca pikiran. Tetapi kau ini malah sebaliknya..."     

Omelan gadis itu rupanya masuk telinga kiri dan keluar telinga kanan bagi Haoran karena ia memang sama sekali tidak keberatan jika Emma membaca pikirannya.     

Hal ini membuat Emma hanya bisa menggelengkan kepalanya dan mendesah pendek. Haoran benar-benar seperti ayahnya. Sejak Kaoshin mencium Arreya di menara sekolah mereka dulu dan mengetahui bahwa gadis itu dapat membaca pikirannya, ia telah mengizinkan Arreya untuk membaca pikirannya.     

Kaoshin yang pada dasarnya pelit dengan kata-katanya, menjadi semakin pelit bicara, walaupun sebenarnya Arreya sangat senang mendengar suaranya.     

Suara pintu apartemen dibuka segera membuat keduanya tergugah dan tidak lagi membahas tentang apa yang sedang dipikirkan Haoran. Oma Lin datang dari supermarket dengan membawa bahan-bahan makanan untuk makan malam istimewa yang ingin ia siapkan bagi Haoran.     

"Hai, Oma. Apa yang bisa kami bantu?" tanya Haoran yang sigap mengambil kantong belanjaan dari tangan Oma Lin. Ia lalu membawa semua bahan makanan itu ke dapur dan kemudian berdiri mendengarkan instruksi dari Oma Lin tentang apa yang harus mereka kerjakan untuk membantu.     

"Ahh.. kalian bisa membantuku memotong sayuran dan bawang. Aku akan menyiapkan bumbunya..." kata Oma Lin dengan gembira.     

"Ahh.. baiklah." Dengan cekatan Haoran dan Emma segera membagi tugas untuk mencuci dan memotong sayur-sayuran yang diminta Oma Lin, sementara wanita tua itu menyiapkan daging dan meracik bumbu untuk memasak.     

Mereka mengobrol di dapur tentang hal remeh temeh dan bekerja sama menyiapkan makan malam istimewa. Pukul 6 sore, ketiganya telah duduk di meja makan menghadapi hidangan daging sapi lada hitam dan sayuran tumis beserta nasi dan sup kerang.     

"Selamat makan. Terima kasih sudah mampir kemari," kata Oma Lin kepada Haoran. Pemuda itu mengangguk dan tersenyum lebar.     

"Terima kasih sudah mengundangku untuk makan malam bersama, Oma. Aku senang sekali."     

Haoran sudah sangat lama tidak makan malam dengan keluarganya. Terakhir kali ia makan bersama keluarganya adalah di hari ulang tahunnya, ketika ia makan siang bersama ayah dan kakek neneknya. Selebihnya ia selalu sendiri. Hanya kadang-kadang ada Emma yang menemaninya atau teman-temannya.     

Itulah yang membuat makan malamnya kali ini di apartemen Emma menjadi terasa sangat istimewa. Ia merasa diterima masuk ke dalam keluarga Emma saat ini. Karena kedua orang tuanya tidak ada, praktis, Oma Lin adalah satu-satunya sosok yang bisa dibilang sebagai keluarga terdekat Emma sekarang.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.