Putri Dari Akkadia: Cinta Setinggi Langit Dan Bintang

Penjemputan



Penjemputan

0"Tuan Putri Emma, senang bertemu kembali dengan Anda." AWA tampak seperti seorang wanita dewasa yang berpenampilan serius. Wajahnya datar tanpa ekspresi.     

"Dia bilang apa?" tanya Haoran keheranan. Ia tidak mengerti bahasa yang dipakai wanita di layar komputer tersebut. Sebaliknya, Emma tampak terpaku di tempatnya. Sudah lama sekali ia tidak mendengar bahasa Akkadia yang dulu sering digunakan orang tuanya saat Emma masih kecil.     

Tanpa terasa, setetes air mata mengalir ke pipi Emma. Akhirnya.. setelah belasan tahun, ia merasa kembali menemukan penghubung antara dirinya dan orang tuanya yang hilang.     

"AWA... senang bertemu denganmu..." bisik Emma sambil tersenyum. "Sudah lama sekali ya..."     

"Waktu itu, Tuan Putri masih kecil. Saya masih ingat Anda senang sekali bermain dengan beberapa robot di sini."     

Haoran hanya bisa memperhatikan dari samping saat Emma berbicara dengan AWA. Ia dapat menduga pertemuan itu cukup emosional, dari sikap Emma yang tampak haru dan meneteskan air mata. Akhirnya ia hanya bisa membiarkan gadis itu sendiri. Ia toh tidak mengerti apa yang mereka bicarakan.     

"Aku sangat merindukan ayah dan ibu.. mereka meninggalkanku sendiri di sini sudah cukup lama. Apakah kau tahu mereka sekarang ada di mana?" tanya gadis itu.     

AWA menggeleng, masih dengan ekspresi datar. "Tuan hanya memerintahkan aku untuk menunggu hingga Tuan Putri menghubungiku."     

"AWA.. bagaimana caranya agar kami bisa ke tempatmu. Aku tidak punya pesawat... apakah kau bisa menjemputku ke mari?"     

"Tentu saja. Tuan Putri silakan menentukan koordinat penjemputan, aku akan mengirim pesawat segera."     

"Uhmm... Berapa lama kau mengirimnya?" tanya Emma cepat.     

"Saya dapat mengirim pesawat sekarang dan tiba di Bumi dalam tiga jam."     

"Oh.. bagus sekali. Sebentar..." Emma menoleh kepada Haoran dengan wajah sumringah. "AWA bisa menjemput kita. Pesawatnya akan tiba dalam tiga jam. Sebaiknya kita minta dijemput di mana?"     

Haoran sangat kaget mendengar kata-kata Emma. Sepasang matanya membulat dan bibirnya terbuka hendak mengatakan sesuatu. Namun kemudian ia buru-buru ikut memikirkan tempat penjemputan yang aman dan sepi.     

"Hmm.. di daerah antara Interlaken ke Lauterbrunnen ada beberapa danau dengan lapangan rumput yang luas dan cukup sepi. Tidak akan ada yang melihat kita kalau kita dijemput di sana," kata pemuda itu kemudian. "Sini, aku bisa bantu carikan koordinatnya."     

Ia menghampiri komputer dan mengetikkan sesuatu. Tidak lama kemudian ia menunjuk sebuah area yang ada di peta.     

"Bagus. Apakah kau bisa membawa kita ke sana?" tanya Emma kepada Haoran. Pemuda itu mengangguk.     

"Tentu saja."     

Emma buru-buru mengulangi koordinat lokasi yang disebutkan Haoran kepada AWA.     

"Terima kasih, Tuan Putri. Sampai jumpa sebentar lagi."     

AWA mengangguk khimad dan mematikan hubungan. Emma terduduk di tempatnya dengan ekspresi masih tidak percaya. Ia tidak mengira... akhirnya... setelah menunggu dan berusaha demikian lama, ia menemukan penghubung antara dirinya dan masa lalunya... dan keluarganya.     

Haoran menyentuh bahu Emma dengan lembut, juga tidak berkata apa-apa. Keduanya masih terbawa dalam euphoria... bahwa apa yang sangat ingin mereka capai baru saja terjadi. Sebentar lagi mereka akan dapat bertemu AWA dan mencari tahu lebih mendalam tentang masa lalu Emma dan orang tuanya.     

Setelah lima menit terdiam dan sibuk dengan pikiran masing-masing, Emma akhirnya menarik napas panjang. Ia menyentuh tangan Haoran yang ada di bahunya dan meremasnya pelan.     

"Terima kasih, Haoran. Karena dirimu, aku bisa menghubungi AWA..."     

Haoran tersenyum. "Tidak usah berterima kasih kepadaku. Kita menjalani ini bersama-sama. Kau juga membuatku dapat bertemu ibuku. Aku sudah tidak sabar untuk segera ke Shanghai setelah kita pulang dari Bulan."     

Emma mengangguk. "Benar. Setelah kita pulang dari bulan, kita akan langsung ke China. Aku akan membuat ayahmu membiarkan kita sendiri, agar ia tidak mengganggu rencana-rencana kita."     

"Ide bagus."     

Haoran tidak mau ayahnya ikut mereka ke Shanghai. Ia ingin pergi sendiri menemui ibunya.     

"Aku hapus dulu semua jejak kita di sini. Nanti setelah Profesor Hanenberg bangun, ia tidak boleh tahu apa yang kita lakukan di sini." Emma buru-buru mengutak-atik komputer di depannya dan menghapus semua log dan jejaknya. Sepuluh menit kemudian ia mematikan komputer.     

"Sudah beres." Ia melihat ke sekelilingnya dan mengerutkan keningnya. "Hmm.. semuanya oke. Tidak ada kamera pengawas di sini. Kita aman."     

Ia bangkit dari kursi dan memeriksa kondisi Profesor Hanenberg. Rupanya pria itu masih tertidur dengan pulas. Emma tersenyum melihatnya dan menarik napas lega.     

"Terima kasih atas bantuanmu, Professor. Aku berutang budi kepadamu."     

Ia lalu menarik tangan Haoran keluar dari kantor besar itu.     

***     

Haoran dan Emma segera mengemasi barang-barang mereka ke dalam koper dan segera memasukkannya ke dalam mobil sewaan Haoran. Setelah itu mereka menemui Tuan Lee yang sedang bersantai di suitenya sambil membahas beberapa laporan dengan dua orang asisten pribadinya.     

"Ayah... kami mau minta izin untuk bertualang sebentar di Swiss. Kami mau menjelajahi beberapa tempat penting selama tiga hari. Setelah selesai, kami akan mampir ke China sesuai rencana. Kami akan pulang ke Singapura dalam waktu lima hari."     

Tuan Lee hanya mengangguk. Ia melihat kepergian Haoran dan Emma dengan pandangan kosong. Kedua asistennya hanya saling pandang, tetapi tidak ada yang berkata apa-apa.     

***     

"Aku senang sekali!!" cetus Emma tak henti-hentinya. Ia begitu bersemangat hingga menurunkan kaca jendela mobil dan membiarkan angin musim semi yang dingin mendera wajahnya.     

Haoran hanya tersenyum melihat tingkah Emma yang seperti anak kecil. Ia belum pernah melihat Emma segembira ini sebelumnya. Ia mengerti bahwa kekasihnya benar-benar merasa mendapatkan terobosan besar dalam pencariannya terhadap kedua orang tuanya yang hilang.     

Dalam hati Haoran merasa ikut senang untuk Emma. Sebentar lagi, mereka akan menemukan petunjuk baru. Ia ingin tahu seperti apakah Akkadia itu. Suasana hati Emma yang dipenuhi kebahagiaan segera menular dan membuatnya ikut bahagia.     

Haoran menyetir mobilnya ke koordinat yang sudah dikirimkan Emma kepada AWA. Mereka melewati Interlaken dan menuju arah Lauterbrunen. Di tengah perjalanan, ia membelokkan mobilnya masuk ke sebuah jalan lebih kecil yang mengarah ke sebuah danau terpencil dengan lapangan rumput yang luas.     

Matahari sudah mulai tenggelam di ufuk barat. Waktu tiga jam yang dijanjikan AWA akan segera tiba.     

"Kita parkir di sini saja," kata Haoran sambil mengarahkan mobilnya ke sebuah jalan berbatu dan memarkirnya di bawah sebuah pohon. Tempat itu sepi, tetapi indah sekali.     

Sejauh mata memandang hanya ada lapangan rumput dengan bunga-bunga padang yang bermekaran, di ujung kanan mereka ada sebuah danau berukuran sedang dengan air berwarna oranye, memantulkan warna langit senja di atasnya. Di seberang danau, mereka melihat deretan bukit-bukit yang tampak begitu hijau dan membuat suasana terasa begitu damai.     

"Sekarang kita tinggal menunggu..." kata Haoran. Ia dan Emma bertukar pandang.     

"Kau kedinginan," komentar Emma saat melihat pemuda itu agak gemetar.     

"Ah, ya... musim semi begini cuacanya memang masih dingin. Aku akan mengambil mantelku," kata Haoran.     

"Tidak usah," kata Emma sambil merangkul Haoran dan menariknya untuk duduk di sampingnya. "Aku akan membuatmu hangat."     

Haoran memandang Emma dengan sepasang mata yang hampir tidak berkedip. Ia lalu tersenyum dan mengangguk. Pelan-pelan ia merasakan udara di sekitar mereka menjadi hangat.     

Sambil berangkulan, Haoran dan Emma menatap ke tengah padang rumput. Tidak lama lagi seharusnya pesawat yang dikirim AWA akan tiba.     

Ketika matahari hampir terbenam sepenuhnya di sebelah barat, akhirnya yang mereka tunggu-tunggu pun muncul.     

Emma yang pertama melihat rumput-rumput di depan mereka tampak bergoyang-goyang dengan sangat hebat.     

"Pesawatnya sudah datang..." cetus gadis itu sambil menunjuk ke depan mereka. "Kau lihat rumput di sana..."     

Haoran mengangkat wajahnya dan memperhatikan baik-baik ke arah yang ditunjuk Emma. Ia memang tidak melihat ada pesawat apa pun, tetapi ia menyadari bahwa gadis itu benar.     

Pasti ada sesuatu yang tidak kelihatan perlahan-lahan mendarat di atas padang rumput sehingga menimbulkan angin yang demikian kencang. Mungkinkah pesawat itu menggunakan mode siluman agar tidak terlihat manusia dan tertangkap radar?     

Keduanya berdiri dengan sigap dan menunggu hingga benda misterius yang baru datang itu selesai mendarat dan rumput-rumput di padang berhenti bergerak.     

ZING!     

Tiba-tiba saja, entah dari mana, mereka melihat ada pesawat kecil yang muncul di tempat mereka melihat rumput-rumput bergoyang hebat. Benda itu berbentuk seperti peluru dan berwarna biru metalik, dengan ukuran sedikit lebih besar dari pesawat pribadi ayah Haoran.     

Mereka belum pernah melihat pesawat seperti itu sebelumnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.