Putri Dari Akkadia: Cinta Setinggi Langit Dan Bintang

Kecepatan Cahaya



Kecepatan Cahaya

0Emma berjalan di belakang Haoran memasuki sebuah ruangan yang sangat megah dan memiliki jendela besar dari lantai ke langit-langit. Di tengah ruangan ada sebuah meja kerja mewah dan sebuah lemari pajangan berisi berbagai piagam penghargaan dan koleksi piringan hitam kuno.     

Di kursi besar mewah yang lebih mirip seperti takhta itu, duduk seorang lelaki berusia 50-an yang tampak mirip dengan Haoran, dengan rambut yang sebagian memutih dan wajah yang sama sekali tidak dihiasi senyum seperti sang putra. Ia mengangkat wajahnya ketika melihat Haoran masuk bersama Emma.     

"Kau membawa siapa?" tanya Edward Lee kepada anaknya. Ia mengangkat sebelah alisnya dan mengamati Emma.     

"Ini kekasihku, Emma, Ayah." Haoran menoleh kepada Emma dan memberinya tanda untuk mendekati ayahnya. Gadis itu mengangguk dan berjalan mendekati ayah Haoran.     

"Selamat siang, Tuan Lee. Namaku Emma." Ia mengeluarkan sesuatu dari tasnya dan menyerahkannya kepada Tuan Lee. "Aku mendengar Anda mengoleksi piringan hitam kuno. Kebetulan kemarin aku menemukan ini di pasar antik online dan segera teringat kepada Anda."     

Edward Lee mengerutkan keningnya dan menerima bingkisan dari Emma. Ia membuka pembungkusnya dan mengamat-amati piringan hitam yang ada di tangannya. Mulutnya berdecak sesekali saat ia melihat nama penyanyi dan albumnya.     

"Berapa aku harus membayarmu?" tanya Edward Lee sambil menatap Emma dengan tajam.     

Gadis itu menggeleng dan tersenyum. "Itu hadiah. Anggap saja hadiah perkenalan, Tuan."     

Emma lalu mengulurkan tangannya dan mengajak Tuan Lee bersalaman. Karena gadis ini telah memberinya hadiah, sikap Tuan Lee menjadi lebih relaks. Ia menjabat tangan Emma dan menatap matanya.     

Emma tersenyum lebar sambil meremas tangan Tuan Lee. "Haoran bilang bahwa Anda mengajaknya untuk menghadiri presentasi Ren Hanenberg di SpaceLab beberapa hari lagi. Saya juga sangat berminat pada luar angkasa dan ingin sekali bisa menghadirinya. Apakah Tuan mau berkenan membawa saya?"     

Edward Lee tampak mengerjapkan matanya beberapa kali dan kemudian menjawab. "Tentu saja. Kau boleh ikut..."     

Haoran yang memperhatikan sedari tadi interaksi Emma dengan ayahnya seketika menghembuskan napas lega. Ia tidak tahu bahwa Emma telah menyelidiki tentang ayahnya dan mencari tahu bahwa ayahnya mengoleksi piringan hitam antik dan menyempatkan diri untuk membawakannya hadiah.     

Ia sadar bahwa Emma berusaha menyiapkan rencana cadangan untuk mengambil hati ayah Haoran jika seandainya ia gagal mengendalikan pikiran beliau.     

Sungguh gadis yang cerdas, pikir Haoran bangga.     

"Aku juga berpikir bahwa Haoran sudah lama sekali tidak bertemu ibunya. Bukankah menurut Anda itu tidak adil baginya? Aku berpikir bahwa setelah pulang dari Swiss, kami bisa mampir ke Shanghai untuk bertemu ibunya." Emma melanjutkan bicaranya sambil menatap Tuan Lee lekat-lekat. "Tuan harus setuju dan tidak akan membatalkannya untuk alasan apa pun."     

Haoran tersentak mendengar kata-kata Emma. Sepasang matanya membulat dan lututnya seketika terasa membeku ketika ia mendengar ucapan yang keluar dari bibir Emma dengan nada memerintah itu. Pandangannya kemudian terarah pada ayahnya yang mengerjap-kerjapkan matanya dan sesaat kemudian mengangguk kaku, seperti robot.     

"Baiklah. Haoran boleh mengunjungi ibunya sepulang dari Swiss," kata Tuan Lee datar.     

"Terima kasih." Emma melepaskan tangannya dari Tuan Lee dan kemudian berjalan mundur. Ia menarik napas lega. Ternyata ia memang dapat mengendalikan Tuan Lee dengan baik. Ia mengunci perintahnya di kepala pria itu dan memastikan bahwa ia tidak akan menarik kata-katanya.     

"Emma..." Haoran berbisik dengan nada tidak percaya. Gadis itu tersenyum manis dan menarik tangannya keluar dari kantor ayahnya.     

"Urusan kita di sini sudah selesai. Sebaiknya kita pulang," kata Emma. Haoran yang masih terpukau tanpa sadar berjalan mengikuti Emma.     

***     

Nun jauh di angkasa, sebuah pesawat berukuran sedang bergerak dalam kecepatan cahaya menyeberangi galaksi Bimasakti. Di anjungan yang luas terlihat beberapa orang pria berambut pendek yang mirip dan berpakaian seragam militer sedang mengatur kendali dan membahas tentang tujuan pesawat mereka.     

"Kita sudah sampai mana?" Tiba-tiba terdengar suara seorang pemuda yang berjalan masuk ke anjungan. Semua prajurit yang melihatnya segera bangkit dari posisi masing-masing untuk menyatakan hormat.     

Seorang lelaki bewajah serius dan terlihat paling tua di antara mereka mengangguk hormat pada pemuda yang baru masuk. Orang ini tidak berambut pendek seperti mereka dan juga tidak mengenakan seragam kemiliteran, tetapi jelas ia memiliki kedudukan tinggi karena semua orang yang ada di anjungan tampak sangat segan kepadanya.     

Pemuda itu memiliki rambut putih yang terjuntai hingga ke bahunya dan wajah tampan yang minus ekspresi. Sepasang matanya tampak seperti topaz yang bersinar-sinar cemerlang membuatnya terlihat sangat cerdas, Hidungnya tinggi dan bibirnya tipis, membuatnya terlihat kejam, apalagi karena wajahnya tidak menampakkan ekspresi apa pun.     

"Kita sudah melewati lubang hitam yang ketiga. Dengan kecepatan sekarang, kita akan tiba di planet itu dalam waktu tiga bulan dari sekarang," jawab sang perwira dengan penuh hormat.     

"Bagus. Aku sudah tidak sabar."     

Pemuda itu berjalan mendekati jendela anjungan yang sangat besar dan memperhatikan suasana angkasa di luar kapalnya. Untuk pertama kalinya, wajah itu pun tersenyum penuh sukacita. Kesan kejam itu langsung hilang dari dirinya, bergantikan wajah tanpa dosa seorang anak kecil.     

Sang iblis, seolah berubah menjadi malaikat hanya dengan seulas senyuman.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.