Putri Dari Akkadia: Cinta Setinggi Langit Dan Bintang

Memandang Bintang (1)



Memandang Bintang (1)

0Keenam remaja itu memperhatikan dua teknisi memasang antena parabola berukuran diameter 2,7 meter di halaman belakang mansion keluarga Haoran. Memang ukurannya besar sekali untuk kapasitas penggemar radio amatir. Haoran menceritakan sedikit kepada teman-temannya bagaimana teknis pelaksanaan proyek tersebut dan mereka mendengarkan dengan penuh minat.     

"Ini seru sekali!" cetus Dinh dengan penuh semangat. "Aku tidak tahu kita bisa mengirim pesan ke bulan."     

"Sebenarnya tidak juga. Yang kita lakukan adalah memantulkan pesan ke bulan. Nanti pesan kita itu akan diterima oleh stasiun lain di bumi. Kita bisa mulai menghubungi komunitas penggemar Moon Bounce untuk berkonsultasi dan bekerja sama untuk melakukan moon bounce," kata Haoran. "Saat kita mengirim pesan ke bulan, permukaan bulan akan memantulkannya kembali ke suatu tempat di bumi dan stasiun lain yang akan mendengar pantulannya. Sebaliknya nanti kita juga bisa mendengarkan pantulan pesan dari bulan yang dilakukan oleh stasiun EME lainnya."     

"Aku tidak sabar," cetus Alex. "Apakah kau sudah tahu bagaimana cara memakainy?"     

Haoran menggeleng. "Aku masih harus belajar. Banyak orang yang sudah kuajak bicara tentang ini. Besok radionya akan diantar kemari dan teknisinya akan mengajariku cara menggunakannya. Kita juga harus menginstal software WSJT untuk mengirim sinyalnya."     

"Kapan petugasnya akan datang?" tanya Emma. ia merasa perlu hadir saat mereka mengajari Haoran untuk menggunakan perlengkapan radionya agar ia dapat mengerti cara kerjanya. Sebagai gadis genius, tentu ia akan dapat lebih mudah mengerti dibandingkan Haoran.     

"Mereka akan datang besok pagi, makanya aku akan bolos sekolah," kata Haoran. "Kau mau bolos kursus?"     

Emma tampak berpikir sejenak. Besok adalah kelas pertama di Networking dan ia tidak mau ketinggalan. Akhirnya ia menggeleng. "Tidak, tapi tolong kau rekam apa yang mereka ajarkan, supaya kita bisa sama-sama belajar cara menggunakannya."     

"Ide bagus. Aku akan melakukannya," kata Haoran setuju.     

Tiga jam kemudian mereka berenam telah menatap kagum antena besar yang telah terpasang kukuh di halaman belakang. Rasanya rumah Haoran tiba-tiba terlihat seperti stasiun radio amatir, atau lab kecil.     

"Whoaaa.. keren sekali," kata Alex sambil berdecak beberapa kali. "Aku tidak sabar!"     

"Aku juga," gumam Emma. Ia menoleh ke arah Haoran dan mengucapkan terima kasih tanpa suara.     

Pemuda itu hanya mengangguk dan tersenyum puas.     

Pukul delapan malam, setelah makan malam dan puas mengagumi antena baru di halaman belakang, mereka pun pamit pulang. Mereka akan bertemu kembali di rumah Haoran pada hari Jumat untuk merayakan ulang tahun David dan sekaligus mencoba kegiatan Moon Bounce pertama mereka.     

***     

Sejak Allan mengetahui Emma adalah adik kelasnya di sekolah dulu, pemuda itu menjadi sangat ramah kepadanya. Kebetulan mereka mengambil dua kursus yang sama, yaitu Operating System dan Database setiap hari Rabu dan Jumat sehingga keduanya bertemu dua kali seminggu.     

Ketika Emma masuk ke kelas Database hari Jumat pagi, ia terheran-heran melihat Allan yang datang lebih dulu telah menyiapkan kursi kosong di sampingnya.     

"Haii, Emma. Duduk di sini saja. Aku ingin mengobrolkan tentang program yang kemarin baru dijelaskan. Sepertinya kau sangat paham," kata Allan dengan antusias.     

Emma hanya memutar matanya. Ia bisa membaca pikiran Allan dan tahu bahwa pemuda itu hanya mencari alasan untuk bisa duduk di dekatnya. Ia berusaha mencari kursi lain yang kosong, tetapi sayangnya tidak ada kursi kosong lagi di bagian depan. Ia tak suka duduk di belakang dalam kelas yang menurutnya penting ini.     

Akhirnya ia menghela napas dan duduk di samping Allan lalu mengeluarkan laptopnya. Instruktur mereka tiba tidak lama kemudian dan mereka segera memulai kelasnya. Allan tampak sangat serius menekuni laptopnya dan Emma merasa senang karena pemuda itu tidak menganggunya.     

Setelah kelas pertama selesai, Allan segera menoleh ke arah Emma yang bersiap-siap keluar ruang kelas. "Kau mau makan siang bersama? Aku ingin mentraktirmu sebagai kakak kelasmu di sekolah dulu. Anggap saja sebagai tanda perkenalan."     

Emma mengerutkan keningnya. Ia mengingat-ingat di mana ia pernah mendengar nama Allan sebelumnya. Hmm... bukankah waktu itu Nadya mengatakan bahwa Bianca menyukai Allan Wu, sang ketua Dewan Siswa?     

Apakah Allan yang ini? Kalau begitu, berarti ayahnya bekerja di Lee Industries sebagai salah satu direktur.     

Mungkin orang ini bisa berguna, pikir Emma.     

Ia ingin membantu Haoran menyingkirkan ayahnya. Saat ini Haoran sama sekali tidak memiliki kekuasaan apa pun atas bisnis ayahnya, tetapi beberapa tahun dari sekarang, tentu pemuda itu akan mulai mengambil tindakan untuk masuk ke sana.     

"Apakah kau Allan Wu?" tanya Emma dengan sepasang mata yang menunjukkan minat. Ia ingin memastikan dulu bahwa ini memang orang yang sama.     

Wajah Allan seketika tampak sumringah saat mengetahui gadis cantik di depannya ini pernah mendengar namanya. Ia mengangguk sambil tersenyum lebar.     

"Benar. Itu aku. Kau pernah mendengar namaku?"     

Emma mengangguk. "Pernah. Sekali dua kali. Baiklah... aku mau makan siang bersamamu."     

"Bagus sekali! Kau mau makan apa?" tanya Allan dengan antusias.     

"Uhm.. aku sedang ingin makan Pho," kata Emma.     

"Ah, aku tahu restoran Vietnam yang sangat enak di dekat sini." Allan memberi tanda agar Emma mengikutinya. "Aku traktir."     

"Baiklah," Emma akhirnya mengangguk. Baginya, tidak ada salahnya berteman dengan Allan. Ia punya firasat suatu hari nanti koneksinya ke Lee Industries lewat ayah Allan akan dapat berguna bagi Haoran.     

Mereka makan siang dengan santai. Allan ternyata cukup menyenangkan dan sangat cerdas. Emma dapat mengerti kenapa pemuda itu menjadi ketua Dewan Siswa saat ia di SMA. Walaupun penampilannya terlihat kaya dan ia membawa mobilnya sendiri, ternyata Allan tidak sombong seperti rata-rata siswa kaya di sekolah yang dikenal Emma selintas.     

"Jadi, setelah lulus SMA, kau mau kuliah ke mana?" tanya Allan saat mereka makan siang. "Aku terpaksa harus mengikuti keinginan ayahku menjadi dokter. Ayah dan kakaknya adalah dokter bedah ternama dan ia ingin aku menggantikannya mengisi posisi yang sama."     

"Kalau ayahmu ingin menjadi dokter, kenapa tidak dia sendiri yang melakukannya? Kenapa harus memaksamu?" tanya Emma tidak mengerti.     

Allan menggeleng. "Ahh.. tidak bisa. Tangan ayahku cedera waktu ia masih remaja. Ia takkan pernah bisa menjadi dokter bedah dengan tangan yang cacat, sehingga ia mengalihkan mimpinya dan bekerja di perusahaan."     

"Oh..." Emma hanya bisa menggelengkan kepalanya dengan simpati. "Sayang sekali."     

"Yah.. aku tidak punya pilihan." Allan menyesap minumannya dan mendesah pendek. "Sudah cukup bicara tentang aku. Kau sendiri mau kuliah ke mana? Kau belum menjawab."     

"Aku...?" Emma mengerutkan keningnya dan mencoba berpikir. Ia sama sekali tidak memikirkan tentang hal itu. Ia bukanlah Haoran yang sudah merencanakan hidupnya selama beberapa tahun ke depan. Selama ini, tujuan hidup Emma hanya satu, yaitu menemukan kedua orang tuanya.     

Mungkin ia akan dapat memutuskan jalan hidupnya setelah ia mengetahui dengan pasti keadaan orang tuanya.     

Ia dan Haoran sempat membicarakan kemungkinan mereka harus masuk kuliah yang jurusannya dapat memberi akses kepada Emma untuk masuk ke SpaceLab. Mungkin ia akan perlu masuk jurusan Astrofisika. Itu bukan jurusan yang populer tetapi akan memberinya alasan untuk bisa bekerja ke SpaceLab.     

"Kenapa tidak menjawab? Kau tidak tahu mau masuk jurusan apa?" tanya Allan dengan penuh perhatian. "Kau harus mulai segera memikirkannya. Sebentar lagi kau akan mendaftar kuliah."     

Emma mengangguk. "Kau benar. Hmm... mungkin aku mau belajar Astrofisika. Aku ingin bekerja di SpaceLab."     

Sepasang mata Allan yang dari tadi memandang Emma dengan kagum, kini tampak menjadi semakin bertambah-tambah kagumnya.     

"Wow... luar biasa. Semoga berhasil. Cita-citamu tidak biasa," komentarnya.     

"Terima kasih," jawab Emma.     

Setelah makan siang yang menyenangkan, mereka kembali ke kampus untuk kelas Database dan berkutat lagi dengan materi dan praktik selama dua jam.     

Tepat pukul tiga sore, Emma segera keluar dari kampus untuk menuju rumah Haoran. Ia tak sabar bertemu teman-temannya dan mencoba kegiatan Moon Bounce pertama mereka.     

"Hei, Stardust! Kau datang tepat waktu," komentar Haoran yang melihatnya dari lantai dua. Pemuda itu sedang memasang sesuatu di balkonnya ketika ia melihat Emma berjalan masuk dari pekarangan. Ia melambaikan tangannya ke arah gadis itu dengan penuh semangat. "Ayo cepat naik ke atas!"     

Emma melihat ke kiri dan kanan dengan cepat, dan setelah memastikan tidak ada siapa-siapa, gadis itu melayang cepat ke atas balkon dan dua detik kemudian sudah duduk di pinggir balkon sambil tersenyum melihat reaksi Haoran yang tampak seperti baru melihat hantu.     

"Kenapa kau pucat begitu?" goda Emma.     

Haoran memegangi dadanya karena kaget melihat Emma tiba-tiba terbang ke balkon begitu saja.     

"Astaga... kau membuatku kaget. Bagaimana kalau ada orang yang lihat?" tanyanya cemas.     

Emma tertawa kecil. "Tidak ada yang melihat. Ayo.. apa yang ingin kau tunjukkan kepadaku?"     

Haoran akhirnya mengangguk dan mundur selangkah untuk memperlihatkan kotak besar yang ada di lantai. "Untung anak-anak belum datang. Kalau sampai mereka melihatmu terbang, mereka bisa sakit jantung. Eh.. ini, aku membeli teleskop agar kita bisa mengamati bulan. Benda ini baru tiba. Aku ingin memasangnya di balkon."     

Emma menatap teleskop itu dengan kagum. Ukurannya cukup besar dan tentu memiliki jarak pandang yang sangat jauh. Ahh.. ini luar biasa.     

"Ini keren sekali." komentar Emma sambil tersenyum.     

"Aku tahu," kata Haoran sambil menyengir bangga.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.