Putri Dari Akkadia: Cinta Setinggi Langit Dan Bintang

Memandang Bintang (3)



Memandang Bintang (3)

0Emma dan kelima pemuda itu merayakan ulang tahun David dengan meriah. Semua makanan yang tersedia di meja sangat enak dan mereka makan sampai kenyang. Suasananya terasa sangat gembira dan hangat.     

Mereka membicarakan hadiah mobil yang akan diterima David dari ayahnya jika ia berhasil masuk ke kelas A seperti rencananya.     

Menurut Emma nilai-nilai David sudah mengalami banyak peningkatan, tetapi ia tidak yakin pemuda itu akan dapat masuk ke kelas A.     

"Aku memprediksi kau bisa masuk Kelas C, tapi tidak kelas A," kata Emma dengan nada menyesal. "Kalau kau tidak masuk kelas A, apakah kau tidak akan mendapat mobil?"     

David tampak tertegun mendengarnya. Ia benar-benar tidak memikirkan kemungkinan bahwa nilainya tidak cukup untuk masuk kelas A. Ia sangat ingin memiliki mobilnya sendiri. Selama ini ia sering menumpang mobil Eric atau diantar jemput supir kemana-mana.     

"Ugh... aku tidak tahu," keluhnya. "Aku sudah dewasa. Umurku hari ini sudah 18 tahun dan sudah bisa mengatur hidupku sendiri. Aku mau seperti Haoran yang bisa melakukan apa saja."     

"Uhm.. aku sudah mau 19 tahun ya," kata Haoran sambil berdeham. "Dan aku bisa mengatur hidupku sendiri karena ayahku tidak peduli kepadaku. Kau seharusnya senang ayahmu masih memperhatikanmu."     

Semua terdiam mendengar kata-katanya. Haoran paling tidak suka membicarakan tentang keluarganya. Setiap kali ia menyebut tentang ayahnya, ada ekspresi benci yang melintasi wajahnya yang tidak pernah ia sembunyikan.     

Emma beberapa kali mencari tahu tentang ayah Haoran di internet dan melihat bahwa wajah keduanya sebenarnya mirip. Ia menjadi penasaran ingin mengetahui apakah sifat-sifat Haoran menurun dari ayahnya atau dari ibunya.     

Tetapi rasanya ia tidak akan pernah tahu. Ibu Haoran berada jauh di China, dan ayah Haoran tak pernah menampakkan diri di mansion ini.     

"Heyy... matahari sudah terbenam dan sebentar lagi gelap sempurna. Kita bisa menyalakan kembang api!" seru Alex mengalihkan perhatian. Ia tak ingin David menjadi murung di hari ulang tahunnya karena memikirkan mobil yang tidak jadi ia peroleh.     

Mereka juga tak mau berlanjut membicarakan betapa brengseknya ayah Haoran yang tidak pernah memperhatikan anaknya. Semua mengangguk setuju dan mulai meninggalkan ruang makan menuju teras untuk memperhatikan langit.     

Benar kata Alex. Malam telah turun dan mereka melihat suasana telah menjadi gelap.     

"Kita duduk-duduk di teras dulu menurunkan makanan," saran David sambil dengan susah payah menyeret tubuhnya keluar.     

Matahari sudah terbenam dari tadi dan suasana di luar sudah gelap. Saat keenam remaja itu memandang langit, tampak bulan sudah terbit di ujung timur dan bintang mulai bermunculan satu per satu.     

"Nanti malam kita bisa melihat bintang dengan lebih jelas. Aku mau mencoba teleskopku," kata Haoran. "Ayo kita nyalakan kembang apinya sekarang. Sebelum terlalu malam dan mengganggu tetangga!"     

Semua menyambut ajakannya dengan gembira. Para remaja itu mengambil banyak sekali kembang api dan membawanya ke halaman belakang dan memasang beberapa kembang api besar di tanah. David dan Eric membawa botol-botol minuman mereka dan beberapa gelas serta es dan menaruhnya di meja kecil di tengah halaman.     

Haoran, Dinh, dan Alex datang membawa kursi lipat dan beberapa piring berisi kue-kue. Suasana pesta tampak sudah lengkap ketika mereka semua berkumpul dan duduk dengan gembira mengelilingi jamuan.     

"Selamat ulang tahun, David! Semoga tahun depan kau masuk fakultas hukum dan menjadi pengacara terkenal seperti ayahmu," kata Haoran sambil membuka sebotol champagne dan menuangkannya ke gelas dan memberikannya kepada David. Ia menoleh ke arah yang lain untuk menanyakan siapa yang mau minum lagi. "Kalian semua mau?"     

Semuanya mengangguk termasuk Emma. Ini adalah momen istimewa, walaupun ia belum cukup umur untuk minum, seharusnya tidak apa-apa kalau minum sedikit kan? Ia bukan anak kecil.     

"Kau belum pernah minum kan sebelumnya?" tanya Haoran kepada Emma. "Untukmu sedikit saja ya? Kita belum tahu berapa batas toleransimu."     

Emma mengerutkan keningnya. "Jangan perlakukan aku seperti anak kecil. Aku akan minum sedikit-sedikit. Kalau aku merasa tidak enak, aku tidak akan meneruskannya."     

Emma bukan satu-satunya yang belum berusia 18 tahun di antara mereka. Dinh, Alex dan Eric juga belum cukup umur untuk minum, tetapi Haoran tidak menanyakan pendapat mereka.     

"Aku tidak memperlakukanmu sebagai anak kecil," tegur Haoran. "Aku hanya mempertimbangkan fakta bahwa kau sama sekali belum pernah minum. Cowok-cowok ini sudah sering minum diam-diam. Dan kalaupun mereka mabuk atau hangover, aku tidak akan peduli."     

Emma akhirnya mengangguk mendengar kata-kata Haoran. "Baiklah. Sedikit saja."     

"Anak pintar," puji Haoran dengan nada menggoda. Ia sengaja menepuk-nepuk kepala Emma seperti kepada anak kecil setelah barusan membantah ia tidak memperlakukan gadis itu seperti anak kecil, hanya untuk membuat Emma cemberut. Entah kenapa, walaupun ia sering menyuruh Emma untuk tersenyum dan jangan terlalu serius, ia sebenarnya malah suka menggoda gadis itu untuk cemberut.     

Jadilah Emma menjadi satu-satunya orang yang mendapatkan gelas berisi champagne hanya seperempat gelas, cukup untuk minum sekali teguk, sementara yang lainnya mendapatkan gelas yang berisi penuh.     

"Ayo kita bersulang untuk David!" kata Haoran sambil memimpin mereka mengangkat gelas. "Selamat ulang tahun, David Wijaya!!"     

"Yeahh! Selamat ulang tahun!!"     

Mereka semua mendentingkan gelas dan meneguk minuman mereka sambil tertawa gembira. Emma menghabiskan champagne di gelasnya dengan sekali teguk, lalu menaruh gelasnya di meja. Ia memandangi teman-temannya yang menikmati champagne mereka dengan gembira dan hanya bisa merasa iri.     

"Ssshh.. tunggu sebentar lagi. Kalau kau merasa baik-baik saja, aku akan menambahkan lagi," kata Haoran sambil tertawa. Ia melihat ekspresi Emma yang merasa ketinggalan dibandingkan yang lain. "Serius, kau tidak mau mabuk di dekat banyak remaja lelaki yang hormonnya sedang tinggi-tingginya."     

Emma tidak memikirkan hal itu sebelumnya. Ia selalu merasa teman-temannya memperlakukannya dengan baik. Mereka menghormatinya sebagai seorang gadis yang sangat pandai dan tidak berani macam-macam kepadanya, karena mengetahui Haoran menyukai Emma.     

Tetapi Haoran benar, pikir Emma akhirnya. Kalau orang sedang mabuk akibat kebanyakan minum minuman beralkohol, akal sehatnya bisa saja tidak bekerja. Ia akhirnya mengambil kaleng soda dan meminumnya untuk meredakan rasa sebal.     

"Soda juga enak, kok," komentar Haoran. "Nanti kalau kau mau belajar minum, kita bisa melakukannya kalau sedang tidak banyak orang. Nanti kalau kau mau mengambil kesempatan atas diriku, aku tidak keberatan."     

Emma hanya memutar matanya saat mendengar kata-kata Haoran dan memukul bahunya. "Iiissh..."     

"Ayo kita nyalakan kembang apinya!" seru Dinh yang sudah menanam beberapa kembang api besar di tanah, siap diluncurkan. "Eh, aku lupa membawa korek api. Ada yang bisa mengambilkan matches ke dapur?"     

Emma melihat di atas meja ada sebatang lilin yang seharusnya mereka nyalakan untuk membakar kembang api. Dengan cepat ia mengambil lilin itu dan menyalakan api pada sumbunya dan berjalan mendekati Dinh. "Ini lilinnya sudah kunyalakan."     

Haoran menyemburkan minumannya saat menyadari Emma telah menyalakan lilin itu dengan kekuatan apinya. Ia buru-buru mendekati Emma sambil menambahkan. "Aku yang memegang korek apinya tadi."     

Emma hanya tersenyum melihat Haoran berusaha melindunginya dengan mengaku ia yang memegang korek api, karena pemuda itu kuatir Emma dilihat teman-temannya menyalakan api.     

"Kau ini kenapa, sih? Tidak ada yang melihat, aku sudah memastikannya," kata Emma. "Aku tidak ceroboh."     

Dinh mengambil lilin dari Emma dan menyalakan empat kembang api sekaligus yang segera meluncur ke langit. Teman-temannya bergantian memegangi lilin dan menyalakan satu demi satu dengan gembira. Semuanya bersorak gembira dan bertepuk tangan saat satu persatu kembang api itu meledak di langit dan menampilkan percikan berbagai warna yang sangat indah.     

Haoran dan Emma ikut menikmati atraksi kembang api itu dengan wajah terpukau. Setelah beberapa kembang api meluncur, Haoran memegang tangan Emma dan mengajaknya bicara serius.     

"Emma.. berjanjilah padaku, kau tidak akan pernah membiarkan dirimu mabuk atau kehilangan kontrol diri. Kalau kau mengeluarkan kekuatanmu di depan orang lain saat kau sedang tidak sadar, maka orang akan tahu rahasiamu. Aku tidak mau kau mengalami kesulitan karena hal itu..." kata Haoran dengan sungguh-sungguh. "Aku tahu kau masih muda dan ingin mengalami banyak hal seperti anak-anak lainnya, tetapi kau bukan perempuan biasa. Kau tidak bisa berlaku sama seperti mereka."     

Emma menatap Haoran lekat-lekat dan akhirnya mengangguk. Ia tahu dirinya paling muda di antara mereka, tetapi ia tidak suka diperlakukan berbeda hanya karena dia paling muda dan perempuan.     

Namun, mendengar kata-kata Haoran barusan, Emma mengerti tujuan Haoran memperlakukannya berbeda. Pemuda itu hanya ingin melindunginya.     

Hal ini memunculkan perasaan aneh di dadanya. Emma tahu dia secara fisik jauh lebih kuat daripada Haoran, karena Emma memiliki begitu banyak kekuatan ajaib dalam dirinya, tetapi ia benar-benar menyukai perasaan bahwa ada seseorang yang begitu ingin melindunginya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.