Putri Dari Akkadia: Cinta Setinggi Langit Dan Bintang

Kekasih?



Kekasih?

Emma kembali dengan nampan berisi poci teh panas dan meletakkannya di lantai balkon. Rona kemerahan pada wajahnya telah perlahan menghilang. Haoran juga telah dapat menguasai diri. Ia menatap kedatangan Emma sambil tersenyum.     

Emma balas tersenyum dan wajahnya kembali tersipu-sipu. Mulai sekarang, ia tidak akan membaca pikiran Haoran lagi, pikirnya. Ia baru ingat akan tulisan ilmiah yang pernah dibacanya bahwa laki-laki bisa memikirkan seks setiap lima menit. Bagaimanapun Haoran adalah laki-laki normal. Ia masih muda dan sama seperti teman-temannya, juga dipenuhi hormon.     

Saat tadi mereka berciuman dan suasana menjadi panas, pikiran Haoran dipenuhi oleh berbagai hal mesum yang ia ingin lakukan bersama Emma. Ia buru-buru melepaskan diri dari gadis itu ketika menyadari nafsu seksual telah memenuhi dadanya. Emma yang keheranan akhirnya membaca pikiran pemuda itu untuk mengetahui apa yang terjadi sebenarnya.     

Apa yang dibacanya dari benak Haoran membuat Emma sangat malu. Rupanya pemuda itu membayangkan tubuh Emma tanpa busana dan bagaimana mereka kemudian bergulat di tempat tidur dan bercinta.     

Astaga... astaga...     

Emma akhirnya mengerti kenapa Haoran buru-buru menjauhinya. Pemuda itu pasti takut ia akan terbawa suasana dan berusaha meniduri Emma. Kalau itu sampai terjadi, maka akan terjadi salah satu dari dua kemungkinan ini: entah Emma akan terlena dan menerima cumbuan Haoran dan mereka akhirnya tidur bersama; atau Emma akan memukul Haoran dengan kekuatannya hingga terluka parah dan hubungan pertemanan mereka akan rusak.     

Kedua kemungkinan itu sangat tidak mengenakkan. Emma sangat lega Haoran berhasil mengendalikan diri dan mereka tidak perlu terjebak melakukan hal itu. Bagaimanapun keduanya masih sangat muda.     

"Kau mau teh lagi?" tanya Emma dengan suara datar. Ia berusaha untuk tidak terdengar canggung. Haoran mengangguk dan mengulurkan cangkirnya. Emma menuang teh ke cangkir tersebut dan kemudian menuangkan teh untuk dirinya sendiri.     

Mereka lalu menyesap tehnya bersama-sama sambil memandang langit.     

"Uhm.. Stardust.. tentang yang tadi itu..." Setelah beberapa lama berdiam diri, tiba-tiba Haoran buka suara. "Aku minta maaf."     

Emma menoleh ke arah Haoran dan mengerutkan keningnya. "Minta maaf kenapa?"     

"Tadi aku hampir tak dapat mengendalikan diriku." Haoran mengaku. "Kau sungguh mengesankan dan aku sangat menyukaimu."     

Kedua ujung bibir Emma melengkung dan ia tersenyum tipis. "Aku juga menyukaimu."     

Haoran menatap Emma dengan mata berbinar-binar. "Aku tahu."     

"Jadi, bagaimana sekarang?" Emma bertanya. Ia ingin tahu bagaimana pendapat Haoran tentang hubungan mereka. Ia masih merasa cemburu saat mengetahui bahwa ia bukanlah gadis pertama yang disukai Haoran dan yang pertama diciumnya. Tetapi ia dapat melupakan itu kalau Haoran memberikan kejelasan tentang hubungan mereka.     

"Apa yang ingin kau tanyakan?" Haoran bertanya balik. Ia bisa melihat dari sikap Emma bahwa gadis itu memikirkan sesuatu.     

"Kau bilang kau pernah menyukai gadis lain sebelum aku. Apa hubungan di antara kalian?" tanya Emma blak-blakan.     

Haoran tampak berpikir sejenak. Ia menimbang-nimbang apakah sebaiknya ia berterus-terang kepada Emma atau tidak. Lamanya pemuda itu berpikir membuat Emma tidak sabaran. Ia hampir membaca pikiran Haoran lagi.     

"Itu benar. Namanya Lily. Dia adalah teman satu sekolahku di SMP. Itu sudah lama sekali. Kami pacaran selama setahun dan putus kontak setelah ia pindah ke Amerika. Sangat sulit menjaga hubungan dengan perbedaan time-zone demikian besar," akhirnya Haoran menjawab. "Tadinya aku tidak mau menceritakan tentang dirinya kepadamu karena aku tahu biasanya perempuan tidak suka kalau kekasihnya menyebut-nyebut perempuan lain."     

"Kekasih?" Emma mengangkat sebelah alisnya.     

Haoran batuk-batuk kecil dan segera menghabiskan teh di cangkirnya. Setelah ekspresinya kembali normal, ia menyengir dan menyentuh tangan Emma perlahan.     

"Lalu kau sebut kita ini apa? Aku sudah bilang kalau aku menyukaimu dan kita juga sudah berciuman beberapa kali. Apakah kau mau dicium oleh sembarangan laki-laki yang bukan kekasihmu?" tanyanya dengan suara tegas.     

"Ahh..." Emma mengangguk-angguk. Wajahnya kembali tersenyum. Akhirnya ia mendapatkan jawaban atas apa yang tadi ingin ditanyakannya. "Kau benar."     

"Kalau begitu.. mulai sekarang, aku bisa menyebut diri sebagai kekasihmu?" tanya Haoran sambil menatap Emma dalam-dalam.     

Gadis itu membalas tatapannya dan kemudian mengangguk. Haoran tampak sangat senang. Ia menarik tubuh Emma ke pangkuannya dan segera mencium bibir gadis itu. Ciumannya singkat dan hangat. Ia tidak mau mengambil risiko kembali terbawa nafsu.     

"Uhm... pfew.. akhirnya aku bisa mengeluarkan isi hatiku," kata Haoran dengan suara lega. "Ayo sekarang kita lihat hujan meteor lagi. Setengah jam lagi hujan meteornya berakhir."     

Emma mengangguk. Ia turun dari pangkuan Haoran dan kembali mengamati langit lewat lensa teleskop. Setelah beberapa menit, ia lalu memberi tanda agar Haoran bertukar tempat dengannya. Kini pemuda itu yang gantian mengamati langit.     

Ia tak henti-hentinya berdecak. Pemandangan di langit malam ini memang sangat mengagumkan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.