Putri Dari Akkadia: Cinta Setinggi Langit Dan Bintang

24 Sunset



24 Sunset

0Emma hanya memutar matanya mendengar kata-kata Haoran yang sama persis dengan ucapan Alex tadi. Setelah pemuda itu masuk ke suite-nya sendiri, Emma menutup pintu dan mengagumi ruangannya. Tempat ini sangat nyaman dan mewah.     

Dalam hati ia bertanya-tanya seperti apa reaksi Bianca dan teman-temannya kalau tahu bahwa ia menginap di suite seharga 30.000 dolar dalam penerbangan mereka kali ini. Mereka mungkin akan pingsan. Atau kalau Bianca bisa masuk ke sini, ia tak akan henti-hentinya membuat rekaman dan foto untuk dipamerkan ke media sosial.     

Setelah puas mengagumi suite-nya, Emma memutuskan untuk mandi dan berganti piyama lalu membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Ia sudah memasang tanda jangan diganggu agar pramugari tidak membangunkannya untuk makan malam. Ia masih merasa kenyang karena tadi sebelum boarding ia dan teman-temannya telah makan malam.     

Baginya sekarang, istirahat yang nyaman jauh lebih penting. Lagipula, besok pagi ia sudah janjian untuk sarapan bersama dengan Haoran.     

Ahh.. tempat tidurnya nyaman sekali. Karena ukurannya yang bisa untuk dua orang, Emma bisa tidur dengan suasana sangat lapang. Ini jauh lebih nyaman dibandingkan kursi kelas business yang bisa diratakan menjadi bangku panjang untuk tidur. Di suite, para penumpang VVIP mendapatkan kasur sungguhan dari merek produsen kasur terbaik dunia.     

Ia menyadari mengapa orang sangat kaya mementingkan tidur yang berkualitas. Bagi mereka waktu adalah uang. Jika mereka tidak tidur dengan baik, maka kondisi tubuh mereka tidak akan prima. kondisi tubuh yang tidak prima akan membuat mereka tidak dapat berfungsi maksimal untuk melakukan tugas-tugas mereka yang menyangkut hidup banyak orang.     

Orang kaya yang memiliki bisnis yang menjadi sumber penghidupan ratusan, ribuan, bahkan ratusan ribu orang tentu harus memastikan bisnisnya berjalan dengan baik, agar nasib orang-orang yang bergantung padanya tidak terpengaruh.     

Haoran tentu sudah biasa hidup seperti ini, pikir Emma. Walaupun sekarang ia masih bersekolah, tetapi suatu hari nanti ia tentu akan mengambil posisi pemimpin dalam bisnis keluarganya. Emma mendengar dari Alex bahwa Haoran adalah cucu lelaki satu-satunya di keluarga besarnya. Walaupun hubungannya dengan ayahnya sangat buruk, ia tetap merupakan pewaris tunggal ayahnya.     

Ayah Haoran dan istri mudanya sudah berusaha melahirkan anak mereka sendiri, tetapi selalu gagal hingga sekarang. Hingga suatu hari nanti Tuan Lee memiliki pewaris lain, maka Haoran sudah pasti akan dapat memenuhi rencananya untuk menguasai harta ayahnya setelah ia dewasa.     

"Ahh.. untuk apa aku mengurusi harta orang lain," gumam Emma sambil menguap. Ia mengeluarkan lukisan ayah ibunya dari ranselnya dan menatap wajah mereka dengan sepasang mata berkaca-kaca. "Aku hanya ingin bertemu kalian. Aku tak peduli dengan yang lain."     

Ia memeluk lukisan itu ke dadanya dan memejamkan mata. Ia ingin sekali mengeluarkan kekuatannya agar bayangan ayah ibunya datang kembali. Ia sangat merindukan mereka. Namun ia takut melakukannya di atas pesawat yang sedang terbang seperti ini.     

Ia tidak tahu apakah pesawat ini akan terpengaruh atau tidak. Ia tidak mau mati konyol bersama semua penumpang di sini jika pesawatnya sampai mengalami kecelakaan. Akhirnya ia hanya bisa puas dengan memandangi lukisan orang tuanya saja. Emma tertidur lima menit kemudian.     

***     

Setelah tidur selama delapan jam, Emma merasa segar dan memutuskan untuk membaca. Haoran mengetuk pintunya tidak lama kemudian dan Emma mempersilakannya masuk.     

"Bagaimana tidurmu semalam?" tanya Haoran. "Untung di Prancis sedang musim panas. Kita tidak akan terkena jetlag setelah pulang dengan perbedaan timezone enam jam antara Prancis dan Singapura. Cuaca di kedua negara saat ini sama panasnya. Kalau kita ke Paris di musim dingin, jetlagnya akan cukup menggagnggu"     

"Tidurku nyenyak," Emma mengangguk sambil tersenyum. "Kau?"     

"Lumayan," kata Haoran. "Sayang sekali kita tidak bersama di suite dalam perjalanan ke Paris kemarin. Asyik sekali melihat langit dari sini saat pesawat terbang ke barat melawan arah jam. Kita bisa menyaksikan sunset dan sunrise yang sangat panjang. Karena time zone kota Paris yang kita tuju ada di belakang Singapura, maka pesawat kita seolah terbang melawan orbit bumi. Saat di Singapura yang kita tinggalkan matahari menuju terbenam, pesawat kita malah bergerak ke arah matahari, sehingga sunsetnya yang kita alami bisa terjadi berkali-kali. Tapi sekarang kita terbang ke timur, jadi saat kita bergerak maju, jam juga semakin maju di depan kita."     

"Pasti indah sekali," komentar Emma.     

Haoran mengangguk. "Kita bisa menyaksikan sunset 24 kali dalam sehari, tapi syaratnya kita harus terbang melingkari bumi dengan arah melawan orbit bumi dan kecepatan 1000 mph (1600 km per jam). Kalau tidak salah, dulu pernah ada seorang fotografer yang pernah melakukannya, namanya Simon Roberts. Entah kenapa belum pernah ada yang melakukannya lagi."     

Emma hanya geleng-geleng kepala mendengarnya. "Uhm.. karena tidak gampang melakukannya? Tentu butuh uang sangat besar untuk melakukannya. Ia harus menyediakan pesawat, pilot yang bisa terbang 24 jam bergantian, dll. Ini pasti akan sangat mahal. Kau membuatnya terdengar sangat gampang."     

Haoran tertawa, "Kau benar. Itu tidak mudah. Tetapi suatu hari nanti aku akan melakukannya. Kurasa manusia harus punya bucketlist atau daftar keinginan, kan? Kurasa akan sangat menyenangkan melihat 24 sunset bersamamu suatu hari nanti."     

Emma hanya tersenyum mendengar kata-kata Haoran. "Kau manis sekali."     

Haoran mengangkat wajahnya dan menatap Emma sambil tersenyum. Baru sekali ini Emma memujinya dan ia senang mendengarnya. Pelan-pelan ia mendekati gadis itu dan menyentuh dagunya. Wajahnya sudah dimiringkan untuk mencium Emma ketika tiba-tiba terdengar ketukan halus di pintu suite dan terdengar suara seorang pramugari menyapa.     

"Selamat pagi. Apakah Tuan Muda dan Nona sudah siap memesan sarapan?"     

Tanpa sadar, keduanya mendesah berbarengan dan segera menjauhkan tubuh masing-masing. Haoran menggeleng-geleng dan mendesah lagi, lalu beranjak ke pintu dan mempersilakan pramugari masuk.     

"Boleh minta menunya?" tanyanya ramah.     

Sang pramugari mengangguk hormat dan menyerahkan dua buah menu kepada Haoran. Pemuda itu menyerahkan satu kepada Emma dan meneliti menu di tangannya. Sesaat kemudian keduanya menyebutkan pesanan mereka.     

Pramugari mencatat semuanya lalu permisi.     

Setelah pramugari itu keluar, keduanya duduk bersama di sofa dan berbincang-bincang sambil menunggu sarapan mereka tiba. Emma dan Haoran sama sekali tidak menyinggung ciuman mereka di Paris dan barusan saat mereka hampir melakukannya lagi.     

Emma tergoda ingin membaca pikiran Haoran, untuk mengetahui apa yang dipikirkan pemuda itu tentangnya, tetapi ia menahan diri dan tidak melakukannya. Ia tidak ingin menginvasi privasi Haoran.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.