Putri Dari Akkadia: Cinta Setinggi Langit Dan Bintang

Membuka Rahasia



Membuka Rahasia

0Akhirnya Emma berpura-pura tidak mendengar kata-kata Haoran barusan dan menunjuk aplikasi yang tadi dibuka pemuda itu. "Itu apa?"     

"Ini Darknet. Ini tempat kita bisa menemukan apa pun yang ingin kita cari. Tidak semuanya yang kau lihat di sini bersih. Mulai dari bahan-bahan ilegal hingga pembunuh bayaran ada di sini," kata Haoran.     

Ia mengklik salah satu tab yang ada di Darknet dan memasukkan beberapa kode. Tidak lama kemudian ia memasukkan foto dari lukisan orang tua Emma yang tadi diambilnya dan menulis beberapa keterangan singkat tentang apa yang ingin dicarinya.     

"Beres. Sekarang tinggal menunggu apa kata Goose," katanya kemudian. Emma memperhatikan layar Haoran berharap melihat jawaban segera dari hacker bernama Goose tadi, tetapi tidak ada balasan apa-apa. "Berapa lama biasanya dia menjawab?"     

"Tergantung. Aku tidak tahu dia berada di mana. Kalau dia berada di Asia, maka jam segini dia pasti sudah tidur dan tidak bisa langsung membaca pesanku. Ingat Asia berada 6 jam di depan kita," kata Haoran menjelaskan.     

Emma mengangguk. "Oh, begitu. Jadi kita tidak akan bisa tahu segera, ya?"     

Haoran menggeleng. "Tidak secepat itu. Tapi kuharap kau mau bersabar."     

"Tentu saja," kata Emma. Ia tersenyum untuk pertama kalinya malam itu. "Terima kasih, Haoran."     

Haoran balas tersenyum dan mengangkat bahu.     

"Ini bukan apa-apa." Ia lalu kembali menuang teh untuk mereka, lalu meminum tehnya sambil melipat kaki dengan santai. "Lalu apa yang ingin kau ceritakan kepadaku?"     

Emma terdiam sesaat mendengar pertanyaan Haoran. Tadi siang ia memang sudah memutuskan untuk memberi tahu rahasianya kepada Haoran. Pemuda itu adalah teman pertamanya dan satu-satunya orang yang selalu baik kepadanya.     

Ia merasa bersalah jika terus menyembunyikan kebenaran tentang dirinya dari pemuda itu. Lagi pula, kalau ia menceritakan semuanya, tentu Haoran akan dapat membantunya dengan lebih baik dalam menemukan kedua orang tuanya.     

Akhirnya ia duduk menghadap Haoran dan menatap pemuda itu lekat-lekat. "Aku sudah dapat mengingat tentang orang tuaku. Terakhir kali aku bertemu mereka adalah 13 tahun yang lalu dan aku melupakan wajah mereka selama bertahun-tahun. Tetapi setelah kita tiba di Paris, ingatanku kembali..."     

Haoran memandang Emma dengan penuh perhatian, seolah tidak ingin melewatkan satu kata pun dari bibir gadis itu. "Apa yang berhasil kau ingat?"     

Emma menjawab dengan suara pelan tetapi bernada tegas. "Aku dan orang tuaku tidak berasal dari bumi. Mereka berasal dari suatu planet yang disebut Akkadia. Sepertinya mereka melarikan diri dari sana dan terdampar di sini. Mereka meninggalkanku dan mengunci ingatanku agar aku tumbuh seperti manusia biasa, demi melindungiku."     

Haoran menatap Emma tanpa berkedip selama beberapa saat, sebelum akhirnya ia mengangguk. "Aku mengerti."     

Emma mengerutkan keningnya, tidak mengerti. Itu saja? Ia tidak mengira reaksi Haoran akan begitu tenang dan tidak menghakimi. Ia tadinya mengira pemuda itu akan kaget atau tidak percaya kepadanya.     

"Kau tidak terkejut?" tanya Emma keheranan. "Orang lain akan memiliki reaksi berbeda."     

Mendengar kata-kata Emma, tampak sudut bibir Haoran melengkung sedikit seolah menahan tawa. "Aku kan sudah bilang, jangan menganggapku sebagai orang lain."     

"Aku... tidak mengerti," kata Emma lagi. "Kenapa kau bisa begitu tenang? Bukankah ini hal yang sangat mengejutkan?"     

"Kau benar," kata Haoran. "Aku memang sangat terkejut, tetapi aku sudah mengetahui kau berbeda saat kau menginap di sini. Malam itu kau bermimpi buruk dan aku mendengarmu berteriak, maka aku masuk ke kamar hendak memeriksa keadaanmu. Aku kuatir kau berjalan dalam tidur lagi..."     

Emma membelalakkan matanya mendengar kata-kata Haoran. Ia ingat malam itu memang tidurnya tidak tenang tetapi ia tidak ingat ia bermimpi buruk sampai berteriak. "Benarkah...? Maaf aku membuat keributan malam-malam..."     

"Tidak apa-apa..." kata Haoran cepat sambil melambaikan tangannya. "Aku tahu ada sangat banyak hal yang mengganggu pikiranmu. Tidak usah meminta maaf."     

Emma mengangguk. "Lalu.. dari mana kau tahu bahwa aku berbeda?'     

"Uhm.. waktu aku datang mendekat untuk membangunkanmu, kau mendorongku hingga jatuh dengan sapuan angin yang kuat sekali," jawab Haoran santai. "Aku pikir aku bermimpi.. tetapi waktu aku mencoba mendekatimu lagi, kau menghempaskanku lagi. Akhirnya aku hanya bisa membiarkanmu..."     

Emma tertegun mendengar penjelasan Haoran. Ia menatap pemuda itu lekat-lekat dengan sepasang mata membulat.     

"Kenapa.. kenapa kau tidak bilang?" tanyanya dengan suara tercekat.     

"Aku tadinya mau membicarakan ini denganmu, tetapi aku melihat kau sangat banyak pikiran, maka aku menundanya. Lagipula, kau sudah bilang akan menceritakan sesuatu kepadaku. Aku memutuskan untuk menunggu saja," kata Haoran. "Dan kemudian rasanya semua menjadi masuk akal."     

Emma mengerutkan keningnya. Ia sudah ingat 12 tahun yang lalu ia menghempaskan Mabel ke lantai dengan angin kencang saat pengurus panti asuhan itu hendak memukulnya.     

Mabel yang terkejut dan ketakutan segera berlari kencang keluar panti dan berteriak-teriak menyebutnya sebagai monster. Keributan yang terjadi saat itu membuat Emma kecil merasa sangat stress dan tanpa sadar menekan kekuatannya sendiri agar tidak pernah keluar.     

Dan selama bertahun-tahun ia pun tidak menyadari dirinya mempunyai kekuatan ajaib, hingga akhirnya ingatannya kembali saat ia tiba di Paris.     

Ia ingat reaksi Mabel yang menyebutnya monster saat itu... lalu mengapa Haoran terlihat biasa saja? Mengapa ia tidak ketakutan ataupun terkejut?     

"Kau tidak takut?" Akhirnya Emma bertanya.     

"Tidak, aku tidak takut. Karena aku mengenalmu. Aku tahu kau tidak akan menyakitiku," jawab Haoran tenang. "Kau tidak usah kuatir.. "     

Pemuda itu mengerti apa yang meresahkan hati Emma. Ia tahu tidak mudah bagi gadis itu untuk membuka rahasianya, karenanya, selain ia menunggu waktu yang tepat, Haoran juga sengaja menjaga sikap agar Emma tidak merasa canggung kepadanya.     

Emma terdiam selama beberapa saat. Ia sama sekali tidak menduga bahwa akan semudah ini baginya membuka identitasnya kepada Haoran. Ia berpikir keras, seberapa banyak ia dapat menceritakan semuanya.     

"Aku.. tidak kuatir terhadapmu." Emma mengangguk dan tersenyum lega. "Aku percaya kepadamu."     

"Bagus." Haoran juga tampak lega. Ia senang karena Emma mau terbuka kepadanya. Di antara mereka kini tidak ada rahasia.     

"Jadi... kau bukan dari bumi?" tanya Haoran beberapa saat kemudian. "Apakah kau punya petunjuk lain? Aku bisa membantumu kalau aku tahu informasi lengkapnya..."     

Emma mengangguk. "Aku punya beberapa kekuatan yang kuwarisi dari orang tuaku. Kekuatanku kembali setelah ingatanku pulih, dan setiap aku mencoba kekuatanku... aku dapat memperoleh bayangan kenangan tentang orang tuaku. Aku mendengar ayah dan ibuku membicarakan berbagai hal tentang masa lalu mereka.."     

Haoran tampak kagum mendengar penjelasan Emma. "Kau sungguh gadis yang luar biasa!"     

Emma menjadi tersipu mendengar pujian Haoran. "Hanya kau yang boleh tahu rahasiaku ini. Jangan sampai orang lain tahu..."     

"Tentu saja." Haoran mengangguk tegas. "Kau bisa percaya kepadaku."     

"Baiklah... " Emma mengulurkan tangan kanannya ke depan Haoran dan membuka telapak tangannya. "Yang memberikan panen raya di Limoges dan di Lembah Ibukun... adalah ayahku."     

Dari telapak tangan Emma keluar pendaran sinar kehijauan dan pelan-pelan terlihat beberapa biji terbentuk di tangannya. Salah satu biji itu kemudian berkembang menjadi sebuah benih hijau yang berakar dan pelan-pelan mengeluarkan beberapa daun.     

Sepasang mata Haoran membulat besar saat melihat peristiwa itu. Walaupun ia tahu Emma memiliki rahasia, tetap saja saat ia melihat sendiri gadis itu menumbuhkan tanaman di tangannya, ia merasa takjub.     

Emma menaruh benih dan biji-biji itu di atas meja dengan perlahan, lalu menghadap Haoran kembali. "Sekarang kau mengerti kenapa aku takut masuk ke Notre Dame? Aku takut polisi mengetahui akulah yang melakukan sesuatu pada pohon jeruk itu."     

Haoran akhirnya menarik napas. Selama beberapa detik ia terlalu takjub dan lupa bernapas. Kini ia mengangguk-angguk dan mulai dapat menguasai perasaannya.     

"Oke... jadi... kau bisa apa saja? Kurasa kau dapat mengendalikan angin dan tanaman.. Apakah itu saja?" tanya Haoran. "Apakah ayah dan ibumu dapat melakukan semuanya?"     

"Kurasa ayahku hanya bisa mengendalikan tanaman, tetapi ia sangat kuat sehingga bisa mempengaruhi hingga jarak puluhan kilometer.. Setidaknya terbukti dari seluruh lembah yang berhasil ia hijaukan. Ibuku memiliki lima jenis kekuatan, tetapi aku belum mengetahui semuanya. Aku hanya tahu ibuku dapat mengendalikan petir, air, angin, dan pikiran.. Aku tidak tahu apa kekuatannya yang kelima. Aku pun masih berusaha mengetahui apa saja yang dapat kulakukan..." kata Emma menjelaskan.     

"Petir?" Haoran mengerutkan keningnya. Ia segera dapat menghubungkan peristiwa ketika Paris dilanda petir hebat dan terjadi peristiwa mati lampu di seisi kota, dan Emma yang tiba-tiba menghilang dan berada di kawasan menara Eiffel tanpa dapat mengingat apa yang terjadi. "Apakah kau juga dapat mengendalikan petir...?"     

Akhirnya Emma mengangguk. "Benar."     

Pemuda itu tampak terdiam lama sekali.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.