Putri Dari Akkadia: Cinta Setinggi Langit Dan Bintang

Kunjungan Ke Menara Eiffel



Kunjungan Ke Menara Eiffel

0Keesokan harinya rombongan murid-murid St. Catherine mengunjungi museum D'Orsay, Arc de Triomphe dan Menara Eiffel. Semua sangat bersemangat karena dapat mengambil foto-foto indah khas kota Paris.     

"Kita sudah pernah lewat Menara Eiffel sebelum ini," kata Haoran yang duduk di sebelah Emma di dalam bus. "Kau langsung bercucuran air mata saat itu. Aku sampai kuatir."     

"Aku tidak ingat," kata Emma mengaku. Ia tahu saat itu pasti mereka baru tiba di Paris dan malamnya ia tahu-tahu berada di Menara Eiffel, tanpa dapat mengingat apa yang terjadi. "Malam itu aku pergi ke sana sendirian dan... terjadi mati lampu."     

Haoran mengangguk paham. "Saat itukah kau mendapatkan ingatanmu kembali?"     

"Benar. Aku pasti mengerahkan segenap kekuatanku untuk melepaskan kunci ingatan oleh ibuku, sehingga aku cedera dan kehilangan ingatan atas apa yang terjadi selama dua hari terakhir. Hal terakhir yang kuingat adalah membaca SMS darimu. Kau menipuku, seolah-olah kau gagal dalam ujian..." jawab Emma sambil menyipitkan matanya, menuduh Haoran menipunya.     

Pemuda itu hanya nyengir dan menggeleng. "Sudah kubilang, aku tidak menipumu. Itu air mata kebahagiaan."     

"Dasar," omel Emma. "Kau hampir membuatku sakit jantung."     

"Ahaha.. maafkan aku, Stardust," Haoran mengulurkan tangannya dan ekspresinya berubah menjadi serius. "Aku terlalu senang menggodamu. Soalnya kau ini selalu terlihat sangat serius."     

"Benarkah?" tanya Emma. Ia mengerutkan keningnya. "Aku tidak tahu aku seserius itu."     

"Kalau kau sering mengerutkan keningmu seperti itu, kau akan cepat kelihatan tua," komentar Haoran. Ia buru-buru tersenyum agar Emma tahu bahwa ia hanya bercanda. "Aku tidak serius. Kuharap kau tidak memasukkannya ke hati."     

"Hmm.." Emma tidak membalas gurauan Haoran. Ia lebih tertarik mengetahui apa saja yang terjadi hari itu. "Kau kumaafkan kalau kau berhenti bercanda dan memberitahuku apa saja yang terjadi dari sejak kita menerima nilai ujian hingga saat Paris mati lampu? Aku perlu tahu..."     

"Sekarang?" Haoran melihat ke sekeliling mereka. Ia lalu berbisik ke telinga Emma agar yang lain tidak mendengarkan pembicaraan mereka. "Nanti sore saja setelah acara bebas. Aku tak mau orang-orang mendengarkan kita."     

Matanya mengerling ke samping dan melihat Nadya tengah menatap ke arahnya dan Emma dengan pandangan penuh selidik.     

"Uhm... sepertinya temanmu mencurigai kita," kata Haoran kemudian. Dengan tanpa kentara ia mengunjukkan dagunya ke arah Nadya. Emma mengerling ke arah yang ditunjukkannya dan melihat Nadya yang sedang memperhatikan mereka.     

Untuk sesaat kedua pasang mata mereka bertatapan. Apa yang sedang dipikirkan Nadya?     

[Astaga... mengapa Emma dan Haoran terlihat dekat sekali? Apakah mereka punya hubungan khusus? Atau Haoran yang sengaja mendekati Emma? Ini tidak bisa dibiarkan. Nanti Mary pasti akan marah kalau ia tahu.]     

Ugh... Emma hanya bisa menghela napas. Ternyata gampang sekali baginya untuk membaca pikiran Nadya. Seperti dugaannya, Nadya memang mencurigai kedekatannya dengan Haoran.     

Dalam hati, Emma mengeluh pendek. Mengapa ia harus direpotkan oleh masalah seperti ini? Ia benar-benar tak ingin Nadya dan Mary mempermasalahkan kedekatannya dengan Haoran. Bagaimanapun ia berteman dengan Haoran lebih dulu dibandingkan mereka dan pemuda itu selalu bersikap baik kepadanya.     

Kalau ia harus memilih, Emma akan memilih Haoran dibandingkan persahabatannya dengan Nadya dan Mary. Lagipula, jelas-jelas Haoran telah mengetahui hampir semua rahasia Emma dan mereka sudah membuat rencana untuk mencari keterangan tentang orang tua Emma bersama-sama.     

"Kau tahu kenapa aku menangis saat aku melihat menara Eiffel itu?" tanya Emma, tidak mengacuhkan Nadya lagi. "Aku tidak ingat apa yang terjadi. Kalau kau bisa memberiku petunjuk, mungkin aku bisa mengingat sesuatu."     

Haoran mengerutkan keningnya dan mencoba berpikir. "Aku tidak tahu pasti. Kau menolak memberitahuku apa yang terjadi. Kau hanya menyebut bahwa kau dan orang tuamu pernah ke sana dan ibumu sangat menyukainya. Jadi aku menduga kau menangis karena merindukan orang tuamu."     

Emma terdiam. Ia tidak ingat kapan ia dan orang tuanya ke Paris. Mungkin sebelum mereka meninggalkannya di panti asuhan waktu itu. Emma berumur 3,5 tahun saat mereka meninggalkannya di depan panti asuhan. Daya ingatnya terbatas. Kalaupun sesekali ia mendapatkan bayangan kenangan, itu hanya selintas dan ia tak dapat mengatur ingatan mana yang akan muncul.     

'Mungkin aku harus melatih pikiranku, agar aku dapat mengingat semua yang terjadi di masa lalu,' pikir Emma akhirnya. Ia merasa ada sesuatu dengan menara Eiffel yang berhubungan dengan orang tuanya. Apakah ia harus kembali ke sana untuk mencari petunjuk?     

"Haoran.. kini aku merasa bahwa ada sesuatu di sana. Petunjuk. Apakah kau mau menemaniku ke Menara Eiffel nanti malam?" tanya Emma kemudian.     

Bus sudah berhenti di area Trocadero dan para siswa disuruh turun untuk melihat-lihat kemegahan Menara Eiffel. Haoran dan Emma yang turun paling akhir.     

"Tentu saja," kata Haoran dengan cepat.     

Mereka tidak membicarakan lagi tentang orang tua Emma dan memfokuskan perhatian mereka kepada menara raksasa yang berdiri gagah di depan mereka. Dengan antusias Madame Delaval menceritakan sejarah Menara Eiffel kepada murid-muridnya yang sudah sibuk mengambil foto dan membagikannya ke media sosial Splitz.     

"Menara Eiffel ini dibangun oleh Gustave Eiffel dan merupakan bangunan tertinggi di dunia selama empat dekade. Tahukah kalian bahwa dulu menara ini pernah berwarna kuning?" Madame Delaval tampak puas melihat wajah-wajah kaget muridnya. "Dulu banyak warga Prancis yang menentang pembangunan menara besar ini karena menganggapnya jelek."     

Murid-murid St. Catherine saling pandang mendengarnya. Menara Eiffel dianggap jelek? Apa tidak salah? Ini adalah salah satu bangunan paling romantis di dunia. Banyak pasangan yang berfoto dengan latar belakang menara ini, naik ke puncaknya untuk melihat kota Paris dari ketinggian, dan bahkan melamar di sana.     

Bagaimana bisa orang-orang menganggapnya jelek? Jelek dari mana?     

"Banyak yang memprotes keberadaan menara ini. Barulah setelah perang dunia 2, orang-orang menerimanya karena berfungsi sebagai menara radio. Sekarang, Menara Eiffel sudah menjadi kebanggaan rakyat Prancis dan bahkan memiliki hak cipta. Kalian tidak boleh memfoto menara ini di malam hari karena lampu-lampunya baru dipasang pada tahun 1985 dan dianggap sebagai karya seni. Hak ciptanya masih dipegang oleh Société d'Exploitation de la Tour Eiffel."     

Penjelasan Madame Delaval berikutnya membuat murid-murid tambah keheranan. Cedric mengangkat tangannya dan mengajukan pertanyaan mewakili teman-temannya.     

"Kalau begitu... kami tidak boleh mengambil fotonya sekarang?"     

"Oh... kalau fotonya di siang hari sih boleh. Penciptanya menara Eiffel meninggal pada tahun 1923 dan hak cipta desain menara ini berakhir 70 tahun kemudian, atau di tahun 1993. Itu sebabnya di seluruh dunia segera bermunculan menara-menara Eiffel tiruan, seperti di Las Vegas - Amerika, China, dan Jepang." Madame Delaval buru-buru menjelaskan. "Tetapi desain lampunya, atau penampilan Menara Eiffel di malam hari, masih memiliki hak cipta. Jadi kalian tidak boleh memfotonya dan membagikannya di media sosial."     

"Yahhh..." Terdengar keluhan di sana-sini. Gambar Menara Eiffel di malam hari dengan lampu-lampunya sangat mempesona dan tentu mereka berharap bisa memfotonya. Sayang sekali...s     

Monsieur Thomas melanjutkan cerita Madame Delaval tentang sejarah Menara Eiffel sambil memandu murid-muridnya berbaris untuk naik ke atas menara dengan menggunakan lift.     

Ia menceritakan bahwa menara setinggi 324 meter itu juga digunakan oleh penciptanya, Gustave Eiffel sebagai laboratorium sains. Di atas sana mereka akan dapat melihat kota Paris dari ketinggian, dan juga melihat museum yang ada di dalamnya.     

"Ibuku menyukai menara ini karena mengingatkannya pada sebuah menara di tempat asalnya..." kata Emma tiba-tiba. Ia tidak tahu dari mana ia mengetahui hal itu. Tiba-tiba saja ia berkata kepada Haoran. "Aku tidak tahu pasti dari mana aku mengetahuinya... Kurasa ibuku pernah berkata begitu."     

Haoran mengangguk. "Mungkin kau ingat begitu saja. Kau bilang kan orang tuamu pernah membawamu ke sini."     

"Bisa jadi. Aku berharap bisa ingat lebih banyak."     

"Pelan-pelan. Nanti juga ingatanmu kembali. Jangan memaksakan diri," kata Haoran. "Ingat, kita harus sabar. Bisa jadi akan perlu waktu bertahun-tahun untuk menemukan petunjuk yang tepat."     

"Hmm.. kau benar." Emma sadar ia terlalu tidak sabar. Ia harus lebih dapat menahan diri. "Ngomong-ngomong, apakah sudah ada balasan dari Goose?"     

Mereka sedang naik lift menuju ke atas dan Haoran merasa situasinya tidak tepat untuk membicarakan masalah pribadi mereka. Karenanya ia hanya mengangkat bahu dan memberi tanda agar Emma tidak bertanya lagi.     

David, Alex, Eric, dan Dinh mulai memperhatikan Emma dan Haoran yang sedari tadi tampak bicara dengan serius. Mereka mengira kedua teman mereka ini sedang merencanakan sesuatu tanpa mereka dan keempatnya protes karena tidak dilibatkan.     

"Kalian sepertinya sedang merencanakan sesuatu yang seru," komentar Alex dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. "Ada yang menarik?"     

Haoran menyipitkan matanya dan menggeleng, seolah memberi tanda kepada 'anak-anak buahnya' agar tidak terlalu penasaran.     

"Ini urusan orang dewasa," katanya singkat.     

Alex hanya cemberut mendengarnya, tetapi ia tidak protes lebih lanjut. "Kita harus ambil foto bersama. Sudah tiga hari kita di Paris dan belum ada satu pun foto kita berenam."     

"Itu benar. Aku mau kita foto bersama..." Dinh menimpali.     

Haoran mengerling ke arah Emma dan kemudian mengangguk. "Tetapi jangan diposting di media sosial, ya..."     

Emma mengangguk membenarkan. Ia tidak ingin hubungannya dengan kelima pemuda itu menjadi bahan gosip di sekolah. Ia sama sekali tidak ingin menarik perhatian.     

"Tentu saja," Alex mengacungkan jempolnya.     

"Sebaiknya kita berfoto di bawah, di Trocadero, biar menara Eiffelnya kelihatan," kata Haoran memberi saran. "Foto dari sini kurang bagus."     

Ia memberi saran seperti itu karena berfoto bersama di Trocadero tentu lebih tidak menarik perhatian orang-orang karena suasananya yang sangat ramai. Petualangan murid-murid St. Catherine di Menara Eiffel berlangsung selama satu jam dan kemudian mereka diberikan waktu bebas selama satu jam untuk piknik di lapangan rumput dekat Trocadero.     

Dengan gembira mereka segera menggelar alas piknik dan makanan kecil sambil mengobrol di rumput. Cuaca yang cerah, pemandangan indah, dan suasana kebersamaan hari itu benar-benar menjadi pengalaman yang tak terlupakan bagi mereka.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.