Putri Dari Akkadia: Cinta Setinggi Langit Dan Bintang

Putri Yang Dijanjikan



Putri Yang Dijanjikan

0Mereka berenam mengambil foto bersama dengan menggunakan tripod. Semua wajah mereka tersenyum, termasuk Emma. Ia memang merasa sangat bahagia akhir-akhir ini. Ingatannya akan orang tuanya telah kembali, ia juga dapat mengingat wajah mereka, bahkan sudah memiliki lukisan wajah mereka.     

Ia juga memiliki sahabat yang sangat baik kepadanya dan mau membantunya mencari jejak orang tuanya. Sungguh Emma sangat bersyukur. Alex sangat puas melihat hasil foto mereka dan segera memamerkannya kepada teman-temannya. Menara Eiffel yang ada di latar belakang mereka tampak megah dan menakjubkan.     

"Hei... ada yang mengambil foto kita diam-diam," bisik Haoran tanpa kentara sambil mengerling ke arah kiri. Emma mengikuti arah pandangan pemuda itu dan melihat seorang siswi dari kelas F mengambil foto mereka diam-diam dengan ponselnya.     

Haoran dan teman-temannya cukup terkenal di sekolah. Walaupun mereka punya reputasi buruk sebagai pengacau, gadis-gadis justru menyukai mereka. Haoran, Alex dan Eric terutama memiliki banyak penggemar perempuan.     

Emma mendengus pelan. Ia bisa menduga gadis itu akan mengunggah foto mereka di media sosial karena barusan ia tampak bercengkrama dengan kelima pengacau dari kelas F. Dengan lambaian tangan yang tidak kentara ia menghempaskan ponsel gadis itu dengan sapuan angin kencang.     

"Aaaahhh!!! Handphone-ku!!!" Gadis itu menjerit kaget ketika ponselnya jatuh terbawa angin dan terbanting ke tanah dengan sangat keras.     

Dengan histeris ia mengambil ponselnya dari tanah dan segera menangis ketika melihat kacanya pecah dan benda itu tidak dapat dinyalakan. Teman-temannya berkerumun keheranan. Angin kencang itu tidak mengenai mereka, hanya kebetulan menghempas ponsel dari tangannya.     

Kebetulan? Emma tersenyum tipis mendengar suara-suara mereka. Ia mengerling ke arah Haoran dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Pemuda itu menatapnya tanpa berkedip selama beberapa detik.     

"Astaga..." Hanya itu yang ia ucapkan. "Kau keren sekali."     

Emma pura-pura tidak mendengar perkataan Haoran dan duduk di rumput sambil memejamkan matanya. Ia tadi spontan menggunakan kekuatannya mengendalikan angin untuk merusak ponsel gadis itu karena ia tidak suka difoto diam-diam.     

Ah.. ya, biasanya setelah ia menggunakan kekuatannya, bayangan kenangan akan melintas di depannya dan ia akan dapat melihat orang tuanya lagi.     

"Kau ingat menara pemancar di akademi dulu, Jendral Stardust?" tanya Arreya sambil tersenyum ke arah Kaoshin. "Saat aku kabur dari akademi, hanya kau yang terpikir untuk mencariku ke sana. Bukankah bentuknya mirip dengan menara ini?"     

Kaoshin menatap Menara Eiffel di depan mereka dan mengangguk. "Bentuknya memang agak mirip."     

"Aku sangat menyukai menara itu, karena di situlah saat pertama kalinya aku tahu bahwa kau mencintaiku." Arreya tampak dikuasai nostalgia untuk beberapa saat dan matanya menerawang jauh. "Hanya itu hal yang kuingat dari Akkadia yang membuatku bahagia."     

"Saat itulah aku mengizinkanmu membaca pikiranku..." Kaoshin tersenyum tipis dan pandangannya ikut menerawang.     

"Kau satu-satunya orang yang tahu bahwa aku adalah seorang telemancer," kata Arreya pelan. "Aku tidak dapat membayangkan betapa banyak lagi orang yang akan membenciku di akademi kalau mereka tahu itu. Aku sudah punya terlalu banyak kekuatan."     

"Salahmu juga, kau tidak mau membuka identitasmu sebagai putri raja di akademi dan membiarkan mereka mengira kau orang biasa," komentar Kaoshin. Ia meremas bahu istrinya dengan lembut. "Mereka tidak berani membencimu setelah Putra Mahkota datang berkunjung waktu itu."     

"Hmm..." Arreya melengos. "Aku justru tidak suka setelah identitasku diumumkan. Ada begitu banyak penjilat yang mencoba berbaik-baik kepadaku hanya karena aku adalah calon istri putra mahkota."     

"Bukan hanya karena itu. Mereka semua menjadi tahu bahwa kau adalah Putri Yang Dijanjikan. Tentu saja wajar bagimu untuk memiliki kekuatan mengagumkan," Kaoshin menambahkan.     

"Ah.. aku bukanlah Putri Yang Dijanjikan," Arreya memejamkan mata sejenak. Ketika ia membuka matanya lagi, ia dan Kaoshin serempak mengerling ke arah Emma kecil yang sedang duduk di rumput sambil mempermainkan apel di tangannya. Suara Arreya terdengar tercekat ketika ia melanjutkan kata-katanya. "Bagaimana kalau ramalan itu benar?"     

"Maka kita akan menyerahkan Emma kepada takdir," jawab Kaoshin dengan suara lembut tetapi tegas. "Kita hanya bisa berusaha."     

"Tapi wajahnya waktu itu sedih sekali..." kata Arreya lagi. "Aku menangis setiap mengingat wajahnya. Aku tidak mengerti kenapa ia begitu sedih melihat kita."     

Gadis itu tiba-tiba terdiam. Ia menghampiri Emma kecil yang kini memperhatikan mereka dengan sepasang mata topaz-nya.     

"Emma... jangan bersedih, ya..." kata Arreya dengan suara lembut. Ia membelai rambut Emma kecil dengan penuh kasih sayang. "Kami baik-baik saja. Kau harus hidup dengan baik demi kami."     

Kaoshin ikut menghampiri Emma kecil dan menarik bocah itu ke pangkuannya. "Ibumu benar. Kami sudah hidup dengan baik. Tidak ada lagi yang kami inginkan dalam hidup ini selain melihatmu tumbuh besar dan bahagia."     

Emma membuka matanya saat merasakan sinar matahari terhalang di atas tubuhnya. Ia melihat Haoran berdiri di sampingnya, menghalangi silaunya sinar matahari di belakangnya.     

"Aku sudah minta izin Madame Delaval untuk tidak ikut pulang ke hotel. Kita bisa terus di sini dan mengobrol. Tadi kau bilang ingin ke sini untuk memastikan sesuatu, kan?" kata pemuda itu sambil duduk di samping Emma. Tubuhnya lebih tinggi dari gadis itu dan posisinya sekarang masih menghalangi silaunya matahari agar tidak menimpa wajah Emma.     

"Terima kasih," Emma mengangguk. "Aku memang masih ingin di sini."     

Emma melihat teman-teman sekolahnya berjalan meninggalkan mereka menuju bus yang akan membawa mereka kembali ke hotel. Ia melihat Nadya yang tampak keheranan dan berkali-kali menoleh ke arahnya dan Haoran.     

"Aku sudah mendapatkan jawaban dari Goose. Ia akan mencari informasi tentang orang tuamu. Gratis. Kita tidak perlu membayar," kata Haoran setelah memastikan semua orang yang mereka kenal telah pergi. Hanya ada turis-turis asing di sekeliling mereka yang masih piknik di lapangan rumput, menikmati cuaca yang cerah dan keromantisan Menara Eiffel.     

"Dia baik sekali," kata Emma dengan nada suara haru. Ia tidak mengira dapat bertemu orang-orang baik di dunia ini. Mengingat betapa mahalnya harga jasa Goose, ia merasa sangat berhutang budi. "Katakan kepada Goose.. kalau ada yang dapat kubantu.. akan kulakukan apa pun untuk membalas kebaikannya."     

"Jangan kuatir. Aku juga sudah bilang begitu," kata Haoran sambil mengangkat bahu. "Aku akhirnya memaksa membayar jasanya enam tahun lagi setelah aku mewarisi Lee Industries, apa pun yang ia inginkan. Tetapi ia masih menolak. Goose akhirnya mengatakan kepadaku bahwa ia telah kehilangan orang tuanya saat ia masih kecil, dan ia mengerti apa yang kita rasakan. Ia bilang ia akan marah kalau aku masih memaksanya menerima bayaran."     

"Benarkah?" Emma tertegun mendengar penjelasan Haoran. "Dia aneh sekali kalau sampai menolak uang."     

"Mungkin ia sudah sangat kaya," kata Haoran. "Kau tahu berapa tarif yang dikenakannya."     

Emma akhirnya hanya bisa mengangguk. "Baiklah. Aku percaya kepadanya."     

"Setelah Goose mendapatkan informasi tentang orang tuamu, aku akan memintanya menyelidiki kapsul di bulan. Kita akan mengatakan bahwa orang tuamu adalah peneliti dan mereka sedang menyelidiki kapsul itu sebelum mereka menghilang," kata Haoran lagi. "Kurasa itu satu-satunya cara agar kita tidak perlu memberi tahu Goose tentang identitasmu yang sebenarnya."     

"Oh, Haoran! Itu ide bagus sekali...!" seru Emma gembira. Wajahnya tampak menjadi cerah. "Kau sangat cerdik."     

"Ahh.. kau baru tahu bahwa aku sangat pintar?" tanya Haoran sambil tertawa kecil. "Aku merasa tersinggung."     

"Ishh... dasar kau," omel Emma. Ia mengubah posisi duduknya sehingga dapat mengamati Menara Eiffel dengan lebih jelas. "Aku sudah tahu kenapa ibuku sangat menyukai menara ini."     

"Kenapa?" tanya Haoran dengan penuh perhatian.     

"Karena..." Emma tersenyum tipis saat melanjutkan kata-katanya. "Ayahku menyatakan cinta kepadanya di atas menara yang mirip ini."     

"Ahh..." Haoran ikut memandang Menara Eiffel dengan wajah tersenyum. "Romantis sekali."     

"Mereka menjalani cinta terlarang untuk waktu yang sangat lama. Ibuku adalah seorang putri yang sudah dijodohkan dengan putra mahkota kerajaan tempat mereka tinggal. Dari apa yang kudengar, ibuku merahasiakan identitasnya ketika masuk akademi dan banyak orang yang membencinya karena ia memiliki terlalu banyak kekuatan ajaib. Mereka baru mengetahui siapa dia sebenarnya ketika putra mahkota datang ke akademi untuk menemuinya. Saat itu ibuku sudah jatuh cinta kepada ayahku." Emma menceritakan tentang orang tuanya kepada Haoran, berdasarkan kesimpulan yang diambilnya sendiri setelah mendengar percakapan-percakapan orang tuanya.     

"Wow..." Sepasang mata Haoran membelalak kaget. Ia tidak mengira cerita tentang orang tua Emma ternyata sangat mengesankan. "Lalu bagaimana dengan ayahmu?"     

"Mereka merahasiakan cinta mereka dengan bersikap formal terhadap satu sama lain untuk waktu yang sangat lama. Akhirnya mereka kawin lari dan sampai kemari." Suara Emma kemudian terdengar dipenuhi kedukaan. "Mereka beberapa kali mengatakan bahwa Pangeran Putra Mahkota tidak akan mengampuniku.. karena itulah mereka sengaja meninggalkanku dan mengunci ingatanku."     

"Apakah menurutmu.. si putra mahkota itu mengejar orang tuamu sampai ke sini?" tanya Haoran dengan nada hati-hati.     

Sekarang ia dapat menduga-duga bahwa memang hal itulah yang terjadi. Itu sebabnya Emma ditinggalkan sendirian di panti asuhan. Mungkin orang tua Emma berharap anaknya akan tersembunyi selamanya dan tumbuh sebagai anak biasa di bumi.     

"Itu yang kutakutkan..." Emma mendesah pelan. Ia memang sangat takut bahwa orang tuanya tertangkap dan dibawa pulang ke Akkadia.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.