Putri Dari Akkadia: Cinta Setinggi Langit Dan Bintang

Pengendali Api



Pengendali Api

0"Apa pun yang terjadi, kita akan menemukan orang tuamu..." kata Haoran menenangkan Emma. Ia menepuk bahu gadis itu dan menambahkan dengan kata-kata yang dipenuhi keyakinan. "Kita jangan menyerah dulu."     

Emma menatap Haoran dengan penuh terima kasih. Entah kenapa, walaupun Emma memiliki segudang kemampuan ajaib, ia tetap merasa lebih tenang saat ada Haoran di sampingnya.     

"Kau mau naik lagi ke menara Eiffel?" tanya Haoran kemudian. "Kau bilang tadi mau mencari petunjuk?"     

"Benar," kata Emma. "Tetapi tidak sekarang... tunggu gelap."     

Haoran menyipitkan matanya saat mendengar kata-kata Emma. Ia hanya bisa menduga bahwa Emma hendak melakukan sesuatu tanpa diketahui orang banyak.     

"Kau tidak lapar? Mau makan malam dulu dan nanti kita kembali ke sini?" tanya pemuda itu kemudian.     

Emma berpikir sejenak dan kemudian mengangguk. "Kau benar. Mau makan di mana?"     

Haoran tersenyum dan menunjuk ke atas. "Di situ?"     

Emma terkesiap. "Ini kan hanya makan malam biasa. Untuk apa makan di tempat mewah seperti itu? Aku tidak punya uang."     

Haoran tidak mempedulikan protes Emma segera menarik tangannya berjalan kembali ke arah kaki Menara Eiffel. "Aku yang traktir. Jangan seperti orang susah."     

Emma akhirnya terpaksa menurut. Ia tahu bagi Haoran makan di restoran mewah seperti di Menara Eiffel itu bukanlah hal besar. Ia juga menyukai makanan di sana dan suasana restoran Prancis itu memang sangat menyenangkan.     

Mereka diterima pelayan yang mengenali keduanya dari beberapa malam lalu saat Haoran mengajak Emma makan malam di sana untuk merayakan ulang tahunnya. Para pelayan menyambut keduanya dengan senang hati dan memberikan lokasi meja paling strategis. Mereka masih ingat betapa malam itu Haoran meninggalkan tip yang sangat besar, dan bisa menduga bahwa pemuda itu berasal dari keluarga kaya.     

Keduanya duduk dengan santai dan mengamati pemandangan cantik di bawah mereka. Sudut tempat mereka duduk sangat pas untuk mengamati matahari yang perlahan-lahan terbenam. Untuk beberapa saat keduanya duduk terpesona mengamati horizon. Pelayan yang sudah tiba dari tadi dengan buku menu dengan pengertian membiarkan keduanya mengagumi pemandangan selama beberapa menit baru mendeham untuk menarik perhatian mereka.     

"Selamat sore, Mademoiselle dan Monsieur." Pelayan itu berkata ramah sambil menyodorkan buku menu. Ia tidak menawarkan wine list seperti sebelumnya karena ia mengingat pasangan muda ini tidak minum wine. "Silakan memilih hidangannya."     

Emma dan Haoran mengangguk dan meneliti menu selama beberapa saat. Setelah menemukan hidangan yang mereka sukai, keduanya lalu menyebutkan pesanan mereka dalam bahasa Prancis yang fasih.     

"Madame Delaval pasti bangga kepada kita, bisa memesan makanan dengan bahasa Prancis," cetus Emma sambil tersenyum. "Aksenmu sangat bagus, ngomong-ngomong. Kau belajar bahasa Prancis di mana?"     

Haoran mengangkat bahu sekilas. "Keluargaku pernah tinggal di Prancis waktu aku masih kecil. Ayahku juga fasih berbahasa Prancis. Ia kuliah di Sorbonne dan bertemu ibuku."     

"Oh.. aku tidak tahu itu."     

"Dulu ayahku tidak semenyebalkan sekarang. Ia baru berubah beberapa tahun belakangan ini," kata Haoran lagi.     

Emma tidak melanjutkan bertanya. Ia tahu pemuda itu sangat tidak menyukai topik tentang keluarganya. Pesanan makanan mereka mulai datang satu persatu dan keduanya makan dengan tenang.     

Perlahan-lahan sinar matahari meredup, digantikan dengan semburat berbagai warna cantik di kaki langit dan kemudian malam pun tiba. Bulan terbit dan bergerak semakin tinggi di angkasa, lalu satu demi satu bintang mulai bermunculan. Malam itu langit tampak sangat indah.     

Ketika mereka selesai makan malam, waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam dan langit sudah gelap. Haoran membayar makanan mereka dan seperti biasa meninggalkan tip besar dan berjalan keluar restoran bersama Emma. Mereka turun dari lantai restoran berada dengan menggunakan lift dan kemudian kembali berjalan ke Champ De Mars.     

"Sebentar lagi.. begitu semuanya menjadi sepi..." kata Emma kepada Haoran saat keduanya berdiri tegak menghadap ke arah Menara Eiffel dan memperhatikan sang wanita besi yang megah itu berkelap-kelip dengan lampu.     

Haoran hanya mengangguk. Ia tidak tahu apa yang ingin dilakukan Emma, tetapi entah kenapa dadanya terasa berdebar-debar. Rasanya seolah mengantisipasi akan terjadi sesuatu yang menegangkan dan sekaligus mengasyikkan.     

Pukul 11 malam suasana sudah menjadi sepi dan tidak ada siapa-siapa di sekitar mereka. Lampu Menara Eiffel juga sudah mati. Di sekeliling mereka kini terasa dikuasai kegelapan.     

"Haoran..." Emma menoleh kepada Haoran dan tersenyum tipis. "Apakah kau mau tahu bagaimana rasanya terbang?"     

"Eh.. apa?" Haoran membelalakkan matanya dan menoleh ke arah Emma dengan ekspresi terkejut. Ia tidak tahu apakah Emma hanya bercanda atau tidak. Wajah gadis itu terlihat serius. Tetapi... terbang? Ini tidak mungkin, kan?     

"Aku ingin membawamu ke puncak Menara Eiffel..." kata Emma lagi.     

"Uhm.. kita sudah naik ke puncaknya tadi sore," kata Haoran.     

Emma menggeleng. "Bukan puncak yang itu. Tetapi puncak antena radionya. Yang tidak dibuka untuk umum."     

Pengunjung dapat berkunjung ke puncak Menara Eiffel dengan menggunakan tangga atau lift, tetapi tempat mereka berada adalah lantai khusus berpengaman dengan jeruji pengaman agar tidak ada orang yang melompat atau jatuh. Yang Emma maksudkan adalah bagian puncak menara yang tidak dapat dilalui orang lain, tempat ia berada di malam ulang tahunnya waktu itu.     

"Astaga.. kau sungguh-sungguh?" tanya Haoran keheranan. "Kau.. bisa terbang?"     

Emma tersenyum dan mengulurkan tangan kanannya ke arah Haoran. Dengan ragu-ragu pemuda itu menyentuh tangan Emma dan gadis itu segera menggenggamnya erat.     

"Rasanya sangat mengagumkan..." bisik Emma. "Karena kau sangat baik kepadaku, aku ingin kau ikut merasakannya."     

Ia mengayunkan tangan kirinya dan dalam sekejap angin yang sangat kuat menyapu ke sekeliling mereka, merobohkan siapa saja orang yang ada dalam radius 500 meter dari keduanya. Emma ingin memastikan tidak ada orang memperhatikan mereka saat keduanya melesat cepat ke angkasa. Ia tidak ingin mengambil risiko.     

Begitu ia mengayunkan tangan kirinya, Emma menjejak kuat ke tanah dan segera melesat ke langit dengan tangannya masih menggenggam tangan Haoran. Pemuda itu hendak menjerit karena kaget, tetapi tangan kiri Emma telah menutup mulutnya dan seketika pemuda itu sadar bahwa ia tidak boleh menimbulkan keributan.     

Mereka melayang tinggi sekali, jauh lebih tinggi dari Menara Eiffel dan pelan-pelan Kota Paris di bawah mereka mulai terlihat mengecil. Semua bangunan penting di Paris, Sungai Seine, dan ratusan ribu lampu dari berbagai gedung di bawah mereka terlihat begitu indah.     

"Astaga.. Emma..." Haoran akhirnya bersuara setelah terpaku takjub beberapa saat lamanya. "Kau.. bisa terbang?"     

Emma tersenyum dan menatap Haoran dengan sedikit geli.     

"Aku bisa terbang," katanya membenarkan. "Kau lupa aku menguasai angin."     

"Oh..." Haoran mengangguk. "Benar."     

Haoran merasakan ada pusaran angin yang kuat di bawah kakinya dan membuatnya tetap melayang dengan nyaman. Ia merasa sangat takjub. Untuk sesaat ia merasa seolah bermimpi.     

"Aku sengaja membawamu ke sini sekaligus untuk menguji apa saja kekuatan yang aku miliki... agar tidak ada orang yang melihat kita," kata Emma kemudian. Ia melepaskan tangannya dari Haoran dan dengan santai melayang di depan pemuda itu. "Apa saja kira-kira yang harus aku coba?"     

Haoran yang masih takjub karena ia melayang di udara dengan mudah tampak berpikir selama beberapa saat. Ia kemudian mengarahkan pandangan ke sekitar mereka dan mencari inspirasi.     

"Hmm.. biasanya dari buku-buku yang aku baca, orang ajaib memiliki kekuatan mengendalikan unsur seperti tanah, api, air, dan semacamnya.. Mungkin kau bisa mencoba satu persatu?" Akhirnya ia mengangkat bahu. "Kau sudah tahu kau mengendalikan angin. Coba unsur yang lain..."     

Emma mengangguk setuju. Ia memejamkan matanya dan mencoba memikirkan bagaimana caranya ia dapat mengambil api. Ketika membuka matanya, Emma mengangkat tangan kanannya pelan-pelan dan berkonsentrasi.     

Wuushhh!     

Tiba-tiba dari telapak tangannya muncul kobaran api berwarna biru muda. Sepasang mata Haoran yang melihat itu seketika tampak membulat dan sedetik kemudian ia menjerit kesakitan.     

"Aaahhh!!!" Secara refleks Haoran berusaha menjauhkan tubuhnya dari Emma karena api di tangan gadis itu terasa sangat panas di kulitnya.     

Emma spontan mematikan apinya dan menghampiri Haoran yang meringkuk kesakitan. Tubuh pemuda itu terasa sangat panas dan kulitany kemerahan dengan keringat yang mengalir deras.     

"Maafkan aku... Kau terkena panasnya? Aku tidak sengaja..." Emma sama sekali tidak merasakan panas dari api biru di tangannya, tetapi Haoran yang berada tidak jauh darinya tentu merasakan dampak dari api itu. Emma sangat kasihan melihat Haoran yang kesakitan segera memeluknya dan mengalurkan hawa sejuk dari tubuhnya. "Maafkan aku..."     

Haoran mengangguk dengan napas tersengal-sengal. Walaupun hanya dua detik, tetapi panasnya api dari tangan Emma tadi sangat menyakitinya. Ia mencoba memejamkan mata dan berfokus pada hawa dingin dari tubuh Emma dan sebentar kemudian ia pun menjadi tenang.     

"Uhm... aku tidak apa-apa. Maaf, tadi aku kaget. Panasnya luar biasa," kata Haoran. Ia mengangkat wajahnya dan melihat Emma tampak begitu kuatir. "Kau tidak merasakan panasnya?"     

Emma menggeleng. "Tidak."     

"Kau tadi mengeluarkan api berwarna biru. Dalam spektrum warna api.. itu adalah api yang sangat panas," kata Haoran. "Kau tidak hanya bisa mengeluarkan api.. tetapi kau malah bisa mengeluarkan api yang keterlaluan panasnya."     

"Spektrum warna api?" Emma mengerutkan keningnya keheranan. "Apa itu?"     

"Ah.. bukankah kau yang genius di antara kita berdua?" tanya Haoran sambil tersenyum lebar. Ia senang kalau sekali-kali dapat mengetahui informasi yang Emma tidak ketahui. "ROYGBIV. Itu singkatan dari urutan warna api. Red - Orange - Yellow - Green - Blue - Indigo - Violet. Merah adalah warna api paling dingin, diikuti oranye, kuning, hijau, biru, dan indigo. Api berwarna violet (ungu) adalah yang paling panas."     

Emma ingat ibunya memiliki lima kemampuan. Mengendalikan pikiran, mengendalikan angin, mengendalikan petir, dan mengendalikan air.. Apakah mengendalikan api juga merupakan salah satu kekuatan ibunya? Pasti... pikir Emma. Dari mana lagi ia mewarisi kemampuan ini?     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.