Putri Dari Akkadia: Cinta Setinggi Langit Dan Bintang

Ayah Tak Bisa Menyelamatkan Semua



Ayah Tak Bisa Menyelamatkan Semua

0Emma menatap Haoran dengan sorot mata keheranan.     

"Aku tidak mengerti," kata Emma. Haoran hanya tersenyum dan memencet hidung gadis itu.     

"Tidak apa-apa kalau tidak mengerti," katanya. Ia mengambil ponselnya dari tangan Emma dan memasukkannya kembali ke saku. "Jangan lupa nanti sore kita ke kios Pak Neville."     

Emma mengangguk. Ia mencoba tidak memikirkan lagi tentang sikap Haoran yang menurutnya tidak biasa. Gadis itu kembali fokus pada makan siangnya dan tidak lama kemudian ia telah menghabiskan sandwich dan buahnya di dalam kantungnya.     

Setelah selesai makan, Emma merebahkan tubuhnya di rumput. Rasanya perutnya terlalu penuh untuk dibawa kembali langsung beraktivitas. Ia melihat banyak siswa lain juga sudah memanfaatkan rumput tebal empuk yang mereka duduki untuk berbaring dan bersantai.     

"Kita punya waktu 15 menit lagi kan?" tanyanya sambil menoleh kepada Haoran. Pemuda itu mengangguk. Ia masih menikmati sandwich-nya dengan santai. Emma menghembuskan napas panjang dan kemudian mengeluarkan kaca mata hitam dari saku kemejanya dan memasangnya di matanya.     

Dengan begini ia bisa melihat matahari secara langsung. Matahari memang tidak menyinari mereka secara langsung dan tidak terasa panas. Tetapi kalau begini, rasanya pandangan Emma masih agak silau. Kacamata hitamnya tidak terlalu bagus dalam menolak silau. Emma tidak terpikir untuk membeli kacamata yang lebih mahal.     

Ugh.. Sudut matanya menangkap ada barisan awan putih di ujung timur sana yang sedang bergerak lambat menuju kemari. Ah, seandainya awan itu bisa ke sini lebih cepat, tentu masalah Emma akan beres, pikir gadis itu.     

Percuma saja ada awan kalau tiba di sini setengah jam lagi. Kami sudah akan masuk ke dalam istana, kata gadis itu dalam hati. Ia menolehkan wajahnya ke kiri dan memperhatikan barisan awan itu. Iseng-iseng tangannya terangkat dan 'menarik' awan-awan itu agar bergerak lebih cepat ke arahnya.     

"Wah... Topiku terbang!" cetus Bianca tiba-tiba. Gadis itu segera berdiri dan mengejar topi musim panasnya yang tampak melayang-layang ringan ke arah barat. Ia berhasil menangkapnya tepat waktu sebelum tercebur ke kolam air mancur.     

Daun-daun juga tampak beterbangan dari timur ke barat seiring dengan bertiupnya angin yang sedikit kencang. Tidak sampai satu menit kemudian, awan yang tadi berada di sebelah timur mereka, kini sudah bertengger cantik di atas kepala murid-murid St. Catherine, menghalangi matahari yang menyilaukan dari langit.     

'Sebentar... apa... aku barusan mengendalikan angin?' tanya Emma kepada dirinya sendiri. Ia melepaskan kaca mata hitamnya dan duduk sambil menengadahkan kepalanya ke atas. Wajah gadis itu tampak keheranan.     

Tadi ia hanya iseng 'memanggil' awan agar mendekat. Ia juga tidak mengerti kenapa ia begitu saja melakukannya, tanpa berpikir sama sekali. Saat itu ia hanya merasa kesilauan dan ingin agar matahari sementara disembunyikan di balik awan.     

Uff... Emma, berapa kali kau harus mengingatkan dirimu sendiri. Jangan menggunakan kekuatanmu sembarangan. Ia mengomeli dirinya sendiri.     

Dadanya terasa sedikit sesak dan Emma harus meneguk air minumnya dari botol banyak-banyak, baru ia merasa sedikit lega. Seharusnya ia tahu bahwa saat ia menggunakan kekuatannya, energinya akan terkuras sebagian hingga ia merasa lelah.     

Untung ia tidak sampai cedera dan kehilangan ingatannya seperti yang terjadi dua malam lalu di Menara Eiffel.     

Saat ia meminum airnya, tiba-tiba bayangan kenangan kembali muncul di depannya.     

Ah, ya... ia baru ingat bahwa biasanya setelah ia menggunakan kekuatannya, bayangan kenangan masa lalu akan muncul di benaknya.     

Ia melihat Arreya Stardust mengambil air dari mata air dengan menangkupkan kedua tangannya lalu meminumkannya pada suaminya yang sedang bersandar pada sebatang pohon besar.     

"Minumlah..." kata wanita cantik itu dengan suara lembut. "Aku tidak mengira kau akan mengerahkan segenap kekuatanmu untuk menghijaukan lembah ini. Sekarang kau terluka."     

Kaoshin meminum air pemberian istrinya dan memejamkan mata. Wajahnya tampak menahan sakit, tetapi seperti biasa ia selalu tenang.     

Ketika ia membuka kembali matanya, pria itu malah tersenyum dan menggeleng. "Seandainya aku bisa melakukannya berkali-kali, aku akan melakukannya. Aku tidak tega melihat ada begitu banyak orang kelaparan di daerah ini. Kau lihat betapa menderitanya mereka... Kau tentu masih ingat wajah anak-anak kecil yang malang itu? Banyak dari mereka seumuran Emma dan belum pernah merasakan makanan yang layak..."     

"Planet ini memerlukan paling tidak seratus herbomancer untuk menghijaukan semua daerahnya yang kekeringan seperti ini," komentar Kaoshin.     

Arreya tertawa kecil mendengarnya. "Bahkan di tempat asal kita, tidak ada seratus herbomancer. Kau adalah salah satu herbomancer berstatus paling tinggi yang kutahu. Planet ini beruntung kau dan aku terjebak di sini..."     

"Menurutmu kenapa kondisi planet ini bisa demikian parah? Dari bulan kita melihat ada banyak air di sini, tetapi ternyata daerah-daerah yang sangat membutuhkan air tidak memilikinya," gumam Kaoshin keheranan.     

"Air lautan mereka asin. Tidak terlalu berguna untuk konsumsi sehari-hari dan menumbuhkan pangan. Ini salah mereka sendiri sehingga terjadi pemanasan global yang parah." Arreya mengangkat bahu. "Sayang sekali..."     

Ia lalu menghampiri suaminya dan menaruh tangannya di kening pria itu dengan penuh kasih sayang. "Tubuhmu panas sekali..."     

Nada suaranya terdengar cemas.     

Kaoshin menarik tangan istrinya turun dari keningnya dan meremasnya lembut. "Aku tidak apa-apa."     

"Ugh... kau selalu berkata begitu walaupun kau terluka dalam peperangan. Aku tidak pernah bisa percaya kata-katamu kalau kau berkata tidak apa-apa," Wajah Arreya terlihat menjadi sedih. "Seandainya saja aku memiliki kemampuan menyembuhkan, itu lebih baik. Tidak ada gunanya memiliki lima jenis kekuatan sekaligus kalau tidak ada yang berguna untuk menyembuhkan orang yang kau cintai."     

Kaoshin tersenyum mendengar keluhan istrinya. "Leon berkali-kali mengatakan kepadaku bahwa ia iri kepada kemampuan ajaib Putri Arreya dan ia bersedia menukarnya dengan kemampuan penyembuh yang ia miliki kapan saja. Jadi, rumput tetangga memang selalu lebih hijau."     

Arreya menatap suaminya dengan sepasang alis bertaut. Mereka telah terlalu lama bersikap formal terhadap satu sama lain dan hingga kini masih agak sulit baginya untuk dapat mengubah kebiasaan itu dan bermanja-manja kepada suaminya, seperti yang diinginkannya, ataupun ngambek kalau ia ingin protes.     

Akhirnya ia hanya mengerucutkan bibirnya dan menggumam. "Dasar, Leon..."     

"Kau masih tidak menyukainya," komentar Kaoshin.     

"Aku tahu dia sahabatmu.. tetapi aku tidak bisa memaksa diriku menyukainya karena peristiwa waktu itu," tukas Arreya.     

"Dia sudah meminta maaf," kata Kaoshin dengan sabar.     

"Dan aku sudah memaafkannya. Tetapi aku tidak bisa melupakannya."     

"Baiklah, tidak apa-apa. Toh kita juga tidak akan bertemu dengannya lagi. Tidak usah membicarakan Leon atau siapa pun dari Akkadia," kata Kaoshin akhirnya.     

Arreya mengangguk dan akhirnya tersenyum. Ia setuju dengan suaminya untuk tidak lagi membicarakan masa lalu. Sekarang mereka ada di tempat yang baru dan memiliki kehidupan sendiri. Tidak ada orang lain yang penting baginya kecuali suami dan anaknya.     

Emma kecil sangat suka melihat interaksi ayah dan ibunya. Gadis itu kecil menyandarkan kepalanya di pangkuan ibunya sambil memandang ayahnya yang masih memejamkan mata.     

"Ibu... kalau ayah bisa menumbuhkan tanaman untuk memberi makan begitu banyak orang kelaparan di lembah ini, kenapa ia tidak melakukannya untuk semua daerah gersang yang kita lewati?" tanya gadis kecil itu tiba-tiba.     

Arreya menatap wajah anaknya dan tersenyum sedikit. "Tidak bisa, Emma. Ayahmu bisa mati jika ia melakukannya. Kita bukan dewa yang memiliki kemampuan tak terbatas. Setiap energi yang kita keluarkan akan menguras tenaga kita. Hati ayahmu terlalu baik, ia tidak tega melihat orang-orang desa yang membantu kita kemarin sama sekali tidak pernah merasakan makanan yang layak. Tetapi ia tidak bisa membantu semua orang..."     

Emma kecil membulatkan matanya.     

"Aku akan membantu ayah," kata gadis itu kecil dengan penuh tekad. Ia mengangkat tangannya dan menunjukkan telapak tangannya kepada Arreya. Dari telapak tangan mungil itu memancar sinar kehijauan dan tampak sebuah tanaman kecil muncul perlahan-lahan. Mulai dari daun, lalu batang kecil, dan akar.     

"Emma, jangan...!" Arreya berseru tertahan dan menarik tangan anaknya agar berhenti mengeluarkan kekuatan. "Kau masih kecil. Nanti kau sakit."     

"Kau sakit? Wajahmu pucat sekali." Suara Haoran menggugah Emma dari lamunannya. "Kau mau beristirahat dulu? Teman-teman dan guru kita sudah mulai berjalan masuk ke dalam istana."     

Emma buru-buru bangun dan mengebas-kebaskan pakaiannya sambil menggeleng. "Tidak.. aku tidak apa-apa."     

"Kau yakin?" tanya Haoran lagi.     

"Aku yakin." Emma mengulurkan tangannya meminta agar Haoran membantunya berdiri dan pemuda itu segera menangkap tangannya. Ia mengambil kantong bekas makan siang Emma dari rumput dan menyatukannya dengan kantung makanannya lalu menaruhnya di tempat sampah.     

"Ayo kita ikuti mereka," katanya kepada Emma. Gadis itu mengangguk.     

Sambil berjalan ke arah istana, Emma mengangkat wajahnya dan menatap matahari yang masih ditutupi awan. Ah... ia ingat ibunya mengatakan ia memiliki lima kekuatan. Emma ingin tahu apa saja kekuatan yang dimiliki ibunya itu dan apakah Emma mewarisi semuanya.     

Ia akan mencari waktu untuk kembali menguji kekuatannya secara diam-diam. Sementara ini ia harus kembali memfokuskan dirinya pada kunjungan ke Versailles dan mengambil lukisan. Lalu... memberi tahu tentang orang tuanya kepada Haoran.     

Ia sudah memutuskan bahwa ia dapat mempercayai Haoran.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.