Putri Dari Akkadia: Cinta Setinggi Langit Dan Bintang

Kau Jangan Bersedih



Kau Jangan Bersedih

0Beberapa menit kemudian Haoran mengangguk dan menyentuh tangan Emma, memberi tanda bahwa ia baik-baik saja.     

"Terima kasih.. sekarang sudah tidak panas," kata pemuda itu. Emma kemudian melepaskan Haoran dan membiarkan pemuda itu melayang sendiri dengan pusaran angin di bawah kakinya.     

"Ini luar biasa. Kau bisa menggendalikan dua unsur sekaligus. Saat kau membawa kita terbang, kau juga bisa mengeluarkan api. Aku sungguh sulit percaya ini kalau tidak menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri..." kata Haoran lagi. Wajahnya masih tampak diliputi kekaguman.     

Emma mengangguk. Ia juga tidak mengira akan dapat mengendalikan kekuatannya dengan begitu alami, seolah tubuhnya tahu dengan pasti apa yang harus dilakukan.     

"Baiklah.. aku sudah mencoba unsur api. Apa lagi menurutmu yang harus aku coba?" tanya Emma kemudian.     

"Air?" cetus Haoran.     

"Ah, benar juga." Emma ingat ibunya dapat mengendalikan air, ketika Arreya menurunkan hujan di Lembah Ibukun dan menciptakan mata air untuk mengisi lembah itu. Ia melambaikan tangan kirinya ke bumi dan sesaat kemudian, entah dari mana, datang hujan yang sangat deras di bawah kaki mereka, membasahi bumi.     

Haoran tanpa sadar bertepuk tangan ketika melihat tahu-tahu di bawah mereka berjatuhan butir-butir hujan sementara mereka berdua sama sekali kering.     

"Kau sangat mengagumkan..." cetusnya dengan wajah dihiasi senyuman lebar. "Bayangkan jika kau menurunkan hujan di daerah yang dilanda kekeringan panjang... Pasti akan ada begitu banyak orang yang mengucap syukur..."     

Emma tersenyum tipis mendengar kata-kata Haoran. Itu juga yang sempat ia pikirkan saat mengetahui kemampuan ajaib orang tuanya. Namun, ia merasa tak perlu menjelaskan kepada Haoran.     

"Hebat.. berarti.. sudah berapa kekuatan?" tanya Haoran. "Aku penasaran ingin mengetahui semuanya."     

Emma mengangguk. "Aku juga."     

"Petir, angin, tanaman, api dan air..." Haoran menghitung dengan jarinya. "Sudah lima... ini luar biasa."     

Emma tidak berniat memberi tahu Haoran bahwa ia dapat mengendalikan pikiran, sama seperti ibunya yang ternyata merahasian kekuatan satu itu seumur hidupnya, dan hanya Kaoshin yang mengetahui hal itu. Emma merasa perlu untuk menyimpan rahasia itu juga untuk dirinya.     

"Kita harus turun sekarang," kata Emma kemudian. Ia menarik tangan Haoran dan membawanya melayang turun dengan cepat kembali ke arah Menara Eiffel di bawah mereka. Ia ingat bahawa biasanya setelah ia mengeluarkan kekuatannya, ia akan dapat melihat bayangan kenangan tentang orang tuanya.     

Ia merasa lebih aman jika ia membawa Haoran duduk di puncak menara saat ini, karena ia tidak tahu apa yang akan terjadi jika pemuda itu dibiarkannya di angkasa saat ia mendapatkan ingatan tentang ayah ibunya.     

Dengan indah ia mendarat di puncak menara dan Haoran segera berpegangan pada pagar menara.     

"Kita beristirahat sebentar," kata Emma sambil memejamkan matanya.     

"Baiklah," sambut Haoran.     

Pemuda itu tidak takut ketinggian. Ia menikmati pemandangan menakjubkan di bawah mereka dengan dada penuh. Tangannya masih memegang tangan Emma yang berdiri tegak memejamkan mata.     

Ini... romantis sekali, pikirnya. Peristiwa barusan mengingatkannya pada cerita Peter Pan, ketika pemimpin si anak hilang itu membawa Wendy dan adik-adiknya. Peter Pan adalah buku favoritnya sepanjang masa. Sewaktu ia kecil dulu, Haoran sering membayangkan bagaimana rasanya terbang seperti Peter Pan... dan malam ini, tanpa diduganya sama sekali.. ia dapat merasakan hal itu.     

Mereka berdua berdiri sambil berpegangan tangan di puncak Menara Eiffel, sibuk dengan pikiran masing-masing. Haoran masih merasa dirinya seperti bermimpi, sementara Emma masih terus merasakan bahwa ada petunjuk di Menara Eiffel ini yang harus ia ketahui.     

Sepasang matanya yang indah akhirnya terbuka dan ia menatap bulan purnama yang ada di atas mereka. Entah kenapa ia merasa bahwa jawaban yang dicarinya ada di bulan. Bukankah ibunya mengatakan bahwa mereka meninggalkan kapsul mereka di sana?     

Kalau seandainya memang mereka dikejar oleh orang-orang dari Akkadia, kenapa Kaoshin dan Arreya tidak kembali ke bulan dan menggunakan kapsul mereka untuk pergi ke tempat lain?     

Tiba-tiba bahu Emma terasa dingin sekali dan ia kembali melihat bayangan ibunya muncul dalam kenangan. Arreya sedang melayang anggun di puncak menara Eiffel sambil menggenggam tangan Emma kecil. Suasana sedang sangat gelap. Tidak ada bulan di angkasa dan lampu-lampu kota Paris sedang mati.     

Kaoshin tampak sedang menuliskan sesuatu di tiang tertinggi menara itu dengan jari-jarinya. Emma melayang mendekati pria itu, hendak melihat apa yang sedang dilakukan ayahnya.     

"Ayah sedang apa?" tanya Emma dengan penuh rasa ingin tahu.     

Kaoshin menoleh sekilas ke arahnya dan tersenyum. "Memberimu jalan pulang."     

"Emma.. kalau kau mengingat ini di masa depan, artinya ingatanmu sudah kembali," bisik Arreya Stardust kepada Emma kecil. "Kami tidak ada bersamamu dan kau pasti ingin mengetahui banyak hal."     

"Aku kan tidak lupa," kata Emma kecil sambil tersenyum lebar. Ia menghampiri ayahnya dan memeluk kaki Kaoshin. Ia bermanja-manja pada ayahnya dan untuk sesaat pria itu berhenti menulis. Ia mengusap kepala Emma kecil dengan penuh kasih sayang. "Ayah sedang menulis apa?"     

"Koordinat rumah kita di bulan. Kau mungkin tidak ingat ini, tetapi sewaktu kau masih bayi, kami pernah membawamu ke bulan," kata Kaoshin dengan sabar. "Kau sangat menyukai rumah kita di sana dan kau ingin sekali tinggal di sana."     

Emma hanya menggeleng sambil tersenyum. "Aku tidak ingat."     

"Benar. Saat itu kau masih sangat kecil." Kaoshin tersenyum dengan hangat. "Suatu hari nanti, kalau kau ingin kembali ke sana... kau bisa menghubungi AWA. Ia akan menjemputmu."     

"Ahhh... siapa AWA?" tanya Emma dengan penuh rasa ingin tahu.     

"AWA adalah teman ayah. Ia yang akan membantumu jika kau memerlukan sesuatu," jawab Kaoshin lagi. Ia lalu menunjuk pada tiang yang tadi sedang ia tulisi dengan jarinya. Ada beberapa angka di sana yang terpahat dengan tidak kentara. "Ayah memberikan koordinatnya di sini agar hanya kau yang dapat membacanya."     

Arreya mengambil Emma dari kaki suaminya dan menggendong bocah itu agar Kaoshin dapat meneruskan pekerjaannya. Wanita itu mencium pipi Emma dan perlahan-lahan air mata mengalir dari pipinya.     

"Ibu berharap kau tidak akan pernah mengingat semua ini..." bisik wanita itu sambil membenamkan wajahnya ke bahu Emma kecil yang kebingungan. "Ibu berharap kau akan dapat hidup tenang sebagai manusia biasa dan melupakan semua ini."     

Emma mengusap rambut ibunya yang terlihat begitu mirip dengan rambutnya dan ikut menangis. Ia tidak mengerti kenapa ibunya tiba-tiba mengucurkan air mata. Bukankah tadi mereka sedang bermain dengan gembira di atas Menara Eiffel dan bersenang-senang?     

"Ibu.. jangan menangis. Aku akan melupakan ini kalau itu bisa membuat ibu berhenti menangis," kata Emma dengan suara kecilnya.     

"Emma..." Arreya menurunkan Emma dan melayang turun agar wajahnya sejajar dengan wajah Emma. Ia menatap Emma dengan padangan yang sangat dalam. "Kalau ingatanmu nanti kembali dan kau dapat mengingat peristiwa malam ini... Kau harus menghubungi AWA dan pulang ke bulan untuk menjawab semua pertanyaanmu. Apa pun yang terjadi.. Jangan bersedih."     

Emma ingat ibunya berkali-kali mengatakan bahwa ia jangan bersedih, tetapi ia tidak mengerti maksudnya. Mengapa ia tidak boleh sedih? Apa yang sebenarnya terjadi?     

Sementara itu, Kaoshin telah selesai menuliskan koordinat yang dimaksudnya dan menghampiri istri dan anak perempuannya. Ia mengangguk lalu memeluk istrinya.     

"Sudah selesai," katanya.     

Arreya melihat ke arah tiang yang kini sudah memiliki pahatan beberapa angka di permukaannya. Ia tersenyum sedikit lalu mengibaskan tangan kanannya. Tiba-tiba saja seluruh kota Paris yang tadi gelap karena mati lampu kini kembali diterangi cahaya berbagai lampu di seluruh gedungnya.     

Keluarga kecil itu telah melayang turun ke tanah dan berjalan santai menyusuri Mars De Champ.     

"Ibu.. aku tidak akan mengingat peristiwa malam ini, kalau itu membuat ibu sedih..." kata Emma kecil tiba-tiba. Suaranya terdengar lebih dewasa dari umurnya yang sesungguhnya dan sesaat membuat Arreya dan Kaoshin tertegun.     

Keduanya saling pandang. Kaoshin kemudian bersimpuh dan menatap anaknya dengan sepasang mata yang dihinggapi kesedihan.     

"Ayah berharap kau bahagia. Kalau suatu hari nanti kau mengingat hari ini.. ketahuilah bahwa Ayah dan Ibu sangat bahagia melihatmu saat itu. Kami tidak pernah menyesali pilihan kami."     

Arreya melengos menyembunyikan tangisnya. Kedua tangannya tampak bergetar saat mengepal menjadi sepasang tinju di kedua sisi tubuhnya.     

Kaoshin dan Emma kecil saling bertatapan cukup lama, dan Emma remaja yang sedang berada di puncak Menara Eiffel seketika merasa seolah dirinyalah yang barusa diajak bicara oleh ayahnya, dan bukan Emma kecil.     

Saat itu, sepasang mata biru-hijau Kaoshin seolah menatap lurus ke matanya dan wajahnya yang tampan tampak dekat sekali dari wajah Emma.     

Ia mendengar dengan jelas suara ayahnya yang mengulangi perkataannya, "Ayah berharap kau bahagia. Kalau suatu hari nanti kau mengingat hari ini.. ketahuilah bahwa Ayah dan Ibu sangat bahagia melihatmu saat itu. Kami tidak pernah menyesali pilihan kami. Kau jangan bersedih."     

Emma terpaku di tempatnya dan tiba-tiba merasa kesulitan bernapas hingga ia harus berpegangna pada Haoran. Pemuda itu terkejut melihat Emma tampak panik dan buru-buru memegang bahunya. Untunglah ia berada di bagian yang cukup aman dengan pagar kecil di puncak Menara sehingga tubuhnya tidak kehilangan keseimbangan.     

"Ada apa?" tanyanya cepat.     

Emma menggeleng-geleng. "Aku tidak mengerti. Orang tuaku mengunci ingatanku, tetapi sebelum melakukannya, mereka memberitahuku banyak hal. Seolah mereka berjaga-jaga jika kunci ingatan yang dipasang ibuku suatu hari nanti akan terbuka dan aku akan mencari mereka. Mereka sepertinya sudah mempertimbangkan semuanya. Mereka bahkan menyiapkan berbagai informasi ini untukku... Mereka.. mereka tidak pernah meninggalkanku sendirian begitu saja..."     

"Kalau begitu mereka sudah mempersiapkan kemungkinan ini..." kata Haoran. "Orang tuamu sangat cerdas."     

Emma mengangguk. Ia masih tidak mengerti apa maksud kata-kata terakhir ayahnya tadi. Kaoshin berbicara kepada Emma kecil seolah ia sedang berbicara dengan orang dewasa, sehingga Emma bahkan merasa seolah saat itu ayahnya sedang berbicara langsung kepadanya 13 tahun kemudian.     

Ini sangat membingungkan.     

"Aku mau mencari sesuatu," kata Emma. Ia telah dapat menenangkan diri dan segera melayang mengelilingi menara antena itu dan mencari tiang yang 13 tahun lalu dipahat ayahnya dengan tulisan penting. Koordinat yang akan membawanya pulang ke bulan.     

Orang tuanya sudah memikirkan semuanya, termasuk memberikan petunjuk kepada Emma di puncak Menara Eiffel yang hanya dapat diakses oleh manusia yang dapat terbang seperti dirinya. Tidak seorang pun, selain Emma, yang akan dapat menemukan tulisan itu.     

Sungguh Emma merasa ia seperti sedang menyelesaikan petunjuk berburu harta karun dengan memecahkan satu demi satu petunjuk yang ditinggalkan orang tuanya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.