Putri Dari Akkadia: Cinta Setinggi Langit Dan Bintang

Pohon Jeruk



Pohon Jeruk

0Emma menangis tersedu-sedu hingga ia tidak dapat menangis lagi. Kenyataan bahwa kini ia telah dapat mengingat apa yang terjadi 13 tahun yang lalu, ternyata membuat dirinya patah hati. Ia masih tidak tahu pasti apa yang menyebabkan kedua orang tuanya pergi meninggalkannya sendirian. Namun, ia kini sudah mengetahui bahwa mereka melakukan itu demi melindungi dirinya.     

Dari manakah sebenarnya orang tuanya berasal? Siapakah Pangeran Putra Mahkota yang mereka sebut sebut itu? Lalu mengapa ia tidak akan mengampuni Emma?     

Emma ingat ibunya juga menyebut-nyebut tentang kapsul mereka di bulan. Hal itu seketika menimbulkan sebuah pikiran gila di benak Emma.     

Rasanya terlalu gila bahkan untuk sekadar memikirkannya. Namun perlahan-lahan, pikiran itu semakin lama semakin terasa masuk akal.     

Apakah ayah dan ibunya tidak berasal dari bumi? Mereka sepertinya berpergian dari tempat yang jauh lalu mendarat di bulan dan meninggalkan kapsul mereka di sana sebelum kemudian datang ke bumi.     

Kepergian mereka dari tempat asalnya kemungkinan tidak terjadi dengan baik-baik sehingga mereka merasa perlu melindungi Emma dari siapapun orangnya yang dikirim untuk mengejar mereka.     

Entah kenapa sesuatu dalam hati gadis itu berkata bahwa ia tidak akan dapat menemukan orang tuanya di bumi. Mereka sebenarnya bukan berasal dari negara mana pun di dunia ini.     

Dari mana?     

"Ayah... Ibu... di mana kalian sekarang? Kemana aku harus mencari kalian? Siapa yang mengejar kalian? Apakah kalian masih hidup?"     

Pertanyaan terakhir itu sungguh menyayat hatinya. Emma tidak tahu apakah saat ini orang tuanya masih hidup...     

Bagaimana kalau mereka sudah mati? Apa artinya pencariannya...?     

Setelah puas menangis, Emma kemudian terdiam dan berusaha berpikir. Ia tahu air matanya tidak akan banyak membantu kalau ingin menemukan orang tuanya. Ia harus dapat mencari keberadaan terakhir mereka. Dari situ ia akan dapat mencari petunjuk tentang kapsul yang ditinggalkan orang tuanya di bulan. Kalau perlu, ia juga harus mencari cara agar dapat pergi ke bulan untuk mendapatkan petunjuk itu.     

Setelah merenung selama beberapa lama, Emma merasa bahwa semua yang diketahuinya malam ini sudah membuat dirinya lelah luar biasa. Ia kemudian mengingat bahwa Arreya Stardust pernah mengalami kehilangan ingatan untuk waktu yang lama karena ia mengerahkan segenap kekuatannya untuk menyihir banyak orang dan melarikan diri bersama Kaoshin.     

Emma kini bisa menduga bahwa hilangnya ingatannya selama dua hari terjadi karena ia mengerahkan segenap kekuatannya untuk mengingat tentang orang tuanya begitu ia tiba di Paris. Keinginannya yang begitu besar untuk dapat menemukan ayah dan ibunya akhirnya berhasil membuka kunci ingatan yang dipasang ibunya pada dirinya.     

Ia akhirnya berhasil mengingat apa yang terjadi dan siapa dirinya, dan secara alami Emma mengeluarkan kekuatannya yang selama ini tersimpan di balik ingatannya. Seiring dengan kembalinya ingatan Emma akan masa lalu, pelan-pelan ingatannya sebagai seorang yang memiliki kekuatan ajaib juga kembali.     

Karena itulah secara alami ia dapat terbang, mengendalikan petir, dan membaca pikiran orang lain. Emma tidak tahu apakah ia juga masih memiliki kekuatan yang lain.     

Apakah... ia juga dapat mengendalikan tanaman seperti ayahnya?     

Ia melihat di samping katedral ada sebuah pohon jeruk yang mulai berbuah. Apakah ia dapat melakukan sesuatu kepada pohon itu?     

"Ayah, apakah aku juga mewarisi kekuatanmu?" bisik Emma Ia menjulurkan tangan kanannya ke arah pohon jeruk itu dan memintanya dengan pikiran untuk menghasilkan lebih banyak buah.     

Walaupun situasi di sekelilingnya sangat gelap, penglihatan Emma yang tajam dapat melihat perubahan yang terjadi pada pohon itu dan seketika sepasang matanya membulat besar.     

Pohon itu tiba-tiba bergoyang sedikit dan sesaat kemudian ratusan buah jeruk mulai bermunculan di seluruh rantingnya.     

Aku bisa! pikir Emma. Dalam hati ia sangat senang karena ternyata ia mewarisi sesuatu dari ayahnya yang sangat ia rindukan. Selama ini ia merasa dekat dengan ibunya karena persamaan mereka secara fisik, dan juga kenyataan bahwa Emma mewarisi kekuatan ibunya.     

Kini saat mengetahui bahwa ia juga memiliki sesuatu dari ayahnya, hati Emma mulai terasa menghangat. Ia merasa dekat dengan ayahnya setiap kali ia berada di dekat tanaman dan pohon apa pun karena ia ingat betapa ayahnya sangat menyukai tanaman.     

Kini, setelah ia mengetahui bahwa ia juga memiliki kemampuan ayahnya untuk mengendalikan tanaman, Emma merasa ada bagian dari diri ayahnya yang ikut menyertainya.     

"Ayah... Ibu... di mana pun kalian berada sekarang, tunggulah aku. Aku akan datang menemui kalian..." bisik gadis itu dengan penuh tekad.     

Ia kini sudah yakin bahwa ia bukan seorang manusia biasa. Ia bahkan bukan berasal dari planet ini. Ia bertekad untuk menggunakan kemampuannya untuk mencari jejak kedua orang tuanya, lalu kalau perlu pergi ke bulan untuk mencari kapsul orang tuanya dan mencari petunjuk atau malah pergi ke tempat asal mereka berada.     

***     

"Matamu bengkak... Kau habis menangis, ya?" Haoran menegur Emma saat sarapan keesokan harinya. "Aku tidak mengira kencan denganku membuatmu begitu tertekan dan sedih."     

Emma melotot ke arah Haoran yang sedang mengantri buffet di belakangnya. "Kau masih bisa bercanda."     

"Oh.. syukurlah. Aku pikir kau menangis karenaku," balas Haoran sambil tersenyum. Ia tahu kalau ada yang membuat Emma menangis, itu pasti karena gadis itu merindukan orang tuanya. Karena itulah ia sengaja bercanda untuk menghibur gadis itu.     

"Kau tidak pernah membuatku menangis," kata Emma dengan sungguh-sungguh. "Aku kemarin teringat tentang orang tuaku. Sepertinya sekarang aku sudah tahu kenapa mereka meninggalkanku..."     

Haoran terpaku di tempatnya saat mendengar kata-kata Emma. "Benarkah?"     

Emma mengangguk. "Aku tidak bisa menceritakannya sekarang. Mungkin kalau nanti kita berkunjung ke tempat Pak Neville untuk mengambil lukisannya."     

Haoran mengangguk cepat. "Tentu saja. Di sini tidak privasi."     

Emma melihat Nadya datang menghampiri mereka dengan nampan untuk mengambil sarapan dan gadis itu buru-buru menjauhkan diri sedikit dari Haoran. Ia tidak ingin Nadya mencurigai kedekatannya dengan pemuda itu.     

"Hai, Emma. Bagaimana istirahatmu semalam?" tanya Nadya dengan ramah. Ia mengerling ke arah Haoran dan kemudian memutuskan untuk menyapa pemuda itu. "Hai, Haoran. Aku tidak tahu kau ikut karyawisata ke Paris. Yolisa mengatakan kau mendaftar ikut karyawisata ke China."     

Haoran mengamati Nadya beberapa saat dan mengerti bahwa gadis ini adalah salah satu teman Emma, dan mungkin teman merekalah yang kini terdampar di China karena mengikuti karyawisata demi bisa bertemu dirinya.     

"Aku tidak tahu anak-anak Kelas A begitu usilnya dengan kehidupan pribadi orang lain sampai mencari tahu tentang karyawisata apa yang aku ikuti," komentar pemuda itu.     

Nadya membuka mulutnya hendak mengatakan sesuatu tetapi akhirnya mengurungkan niatnya. Ia hanya melengos dan menarik tangan Emma bersamanya.     

"Ssshh.. kenapa kau bisa mengobrol dengan Haoran? Kau dengar caranya bicara tadi? Sangat menyebalkan," bisik Nadya setelah menghempaskan pantatnya di kursi sebelah Emma. Ia mengerling ke arah Haoran sambil menggigit croissant-nya dengan ekspresi kesal. "Gara-gara dia Mary menangis terus dan ia jatuh sakit di China."     

"Mary sakit?" tanya Emma keheranan. "Karena Haoran tidak ada di karyawisata itu?"     

Nadya mengangguk. "Dia patah hati saat mengetahui Haoran ternyata bersenang-senang di Paris, sementara dia sendirian di China tanpa kita."     

"Tapi.. itu kan bukan kesalahan Haoran," Emma berusaha membela Haoran. "Dia tidak tahu apa-apa, kenapa menyalahkan dia atas apa yang terjadi kepada Mary?"     

Nadya menatap Emma keheranan. "Kenapa kau membelanya? Apakah kau menyukainya?"     

Emma merasa terpojok oleh pertanyaan Nadya yang tiba-tiba. Ia tidak menjawab dan hanya berfokus pada makanannya. Diamnya gadis itu membuat Nadya menyipitkan mata dan berusaha mengira-ngira apakah Emma memang menyukai pemuda itu.     

Akhirnya keduanya tidak berkata apa-apa lagi sepanjang sarapan. Madame Delaval muncul beberapa menit sebelum pukul sepuluh dan menghalau murid-murid yang masih sarapan di restoran untuk segera keluar hotel dan naik ke shuttle bus yang akan membawa mereka berkeliling kota Paris.     

"Hari ini kita akan mengunjungi Katedral Notre Dame dan kemudian ke Istana Versailles. Kalian pasti akan terpukau oleh kemegahan istana raja Prancis ratusan tahun yang lalu," seru beliau dengan penuh semangat.     

Pukul sepuluh tepat ke-44 siswa SMA St. Catherine yang ikut karyawisata ke Paris dan dua guru mereka telah berada di dalam shuttle bus dan menuju Katedral Notre Dame yang merupakan salah satu ciri khas kota Paris.     

Gereja ini umurnya telah ratusan tahun dan menyimpan begitu banyak sejarah. Pada tahun 2019, gereja ini pernah mengalami kebakaran hebat sehingga seluruh atapnya runtuh dan harus ditutup selama beberapa tahun saat pemerintah melakukan restorasi. Kini bangunannya sudah kembali terlihat seperti sedia kala dan memiliki bahan yang lebih tahan api.     

"Anak-anak berbaris yang rapi, kita sudah memesan akses untuk naik ke menara, kita jangan terpisah," kata Madame Delaval dengan suaranya yang melengking tinggi.     

Seorang petugas tiba-tiba datang menghampiri mereka dan menghalau murid-murid yang hendak berbaris mengikuti perintah Madame Delaval.     

"Jangan lewat sini. Kalian lewat pintu masuk sebelah sana. Tempat ini akan dikosongkan untuk polisi," katanya dalam bahasa Prancis sambil memberi tanda agar mereka mengantri lewat pintu lain.     

"Lho, ada apa, Pak? Tidak biasanya begini," tanya Madame Delaval keheranan.     

"Aku juga tidak tahu," Petugas itu hanya bisa mendesah. "Pohon jeruk di sebelah sana itu tiba-tiba mengalami keanehan. Buahnya langsung penuh dalam semalam. Polisi tertarik hendak menyelidiki apa yang terjadi sebenarnya..."     

"Polisi? Kenapa?"     

Haoran dan Emma yang berada paling dekat dengan Madame Delaval hanya bisa mengerutkan kening keheranan. Haoran tidak mengerti mengapa pohon jeruk bisa menimbulkan masalah. Memangnya kenapa? Di rumahnya banyak pohon jeruk. Tidak ada yang istimewa.     

Sementara Emma yang baru teringat bahwa tadi malam ia memerintahkan pohon jeruk di samping Katedral Notre Dame untuk berbuah, kini merasa jantungnya berdebar sangat kencang.     

Bagaimana ini...? Ia tidak mengira perbuatannya itu akan menarik perhatian polisi. Apakah mereka akan mencarinya? Apakah mereka bisa melihat bahwa ia yang melakukannya?     

Keringat dingin mulai membasahi tangannya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.