Putri Dari Akkadia: Cinta Setinggi Langit Dan Bintang

Emma Menyelidiki



Emma Menyelidiki

0Emma segera mengganti pakaiannya dengan gaun tidur yang nyaman dan membersihkan riasan di wajahnya. Haoran mencuci muka dan mengganti pakaiannya dengan boxer dan kaus rumah lalu naik ke tempat tidur. Keduanya terlalu lelah untuk mandi.     
0

Haoran yang sedang duduk menyandarkan punggungnya ke sandaran tempat tidur mengamati Emma yang membersihkan wajahnya di meja rias dan kemudian mengganti pakaiannya dengan pandangan hampir tidak berkedip.     

Tubuh Emma sangat indah dan Haoran telah menelusuri setiap incinya sejak sepuluh hari lalu. Setelah pengalaman bercinta yang pertama kali di Shanghai, keduanya telah melakukan hubungan seksual hampir setiap hari, malahan kadang-kadang beberapa kali dalam satu hari saat mereka menghabiskan waktu bersama di akhir pekan dan tidak kemana-mana.     

Hari kedua setelah mereka menikah bahkan benar-benar dihabiskan untuk bercinta berkali-kali dari pagi hingga malam sampai keduanya kehabisan tenaga.     

Rasanya bagi kedua anak muda itu tidak ada hal yang lebih menyenangkan untuk dilakukan selain bercumbu dan bercinta, setiap saat, setiap waktu.     

Tetapi malam ini, saat ia melihat Emma mengganti pakaiannya dengan gaun tidur, Haoran sama sekali tidak merasa terangsang.     

Yang ada di pikirannya hanyalah perasaan kagum dan sayang yang tidak melibatkan nafsu. Ia sendiri tidak mengerti apa yang ia rasakan.     

"Kau sedang memikirkan apa?" tanya Emma yang telah selesai mencuci wajahnya dan menyikat gigi lalu naik ke tempat tidur.     

"Tidak memikirkan apa-apa. Aku hanya sedang mengagumimu. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa begini beruntung mempunyai istri sepertimu," kata Haoran sambil tersenyum.     

Ia lalu membukakan selimut dan bergerak membuka jalan agar gadis itu masuk ke bagian dalam. Setelah Emma berbaring nyaman di sampingnya, ia lalu menutupkan selimut ke atas tubuh mereka dan memeluk Emma erat-erat.     

Emma balas memeluk Haoran dan menghela napas. Ia tampak berpikir agak lama dan kemudian setelah menarik napas panjang, ia menoleh ke arah Haoran.     

"Aku tidak mengira mereka datang begitu cepat," katanya pelan.     

"Aku juga begitu," kata Haoran. "Kalau perhitungan AWA benar, seharusnya pesawat messenger yang kau kirim bahkan belum tiba di Akkadia. Aku berpikir jangan-jangan sebenarnya mereka memang sudah berencana datang ke sini untuk menjemputmu sebelum kita menghubungi mereka."     

Emma mengerutkan keningnya keheranan. "Kau pikir begitu?"     

"Tidak ada penjelasan lain. Jaraknya terlalu jauh. Kupikir mereka memang mencarimu dan mereka berhasil menemukanmu karena kau meninggalkan petunjuk agar dapat ditemukan. Ini seperti takdir... mereka datang untuk menjemputmu dan kau memang ingin pulang," kata Haoran lagi. "Kebetulan sekali."     

"Aku sudah memutuskan untuk tidak begitu saja mempercayai mereka," kata Emma tegas. "Aku harus tahu pasti bahwa orang tuaku masih hidup. Kalau mereka sudah meninggal, maka kepergianku ke Akkadia akan sia-sia saja."     

Saat Xion mengatakan bahwa pernikahan di luar Akkadia tidak diakui oleh bangsanya, dan bahwa mereka tidak bersedia membawa serta Haoran bersama Emma, gadis itu telah memutuskan bahwa ia tidak akan mau pulang ke Akkadia kalau mereka tidak dapat memberikan bukti bahwa kedua orang tuanya memang ada di sana, dan masih hidup.     

Untuk apa ia ke Akkadia untuk menemui keluarganya yang ternyata sudah tidak ada dan meninggalkan Haoran, satu-satunya keluarganya di bumi ini?     

****     

Emma tidak dapat tidur malam itu karena terus memikirkan kata-kata Haoran. Therius dan Xion datang mencarinya ke bumi karena mereka menginginkan sesuatu darinya. Ia sengaja tidak bergerak di tempat tidur dan menata napasnya agar Haoran mengira ia tertidur dengan pulas.     

Setelah setengah jam berpura-pura tidur, Emma menyadari bahwa Haoran juga tidak langsung tidur. Pemuda itu tampak berusaha menahan diri agar tidak bergerak-gerak gelisah di tempat tidur. Emma dapat merasakan kecemasan Haoran dan betapa suaminya itu berpikir keras.     

Pukul 2 pagi, barulah Haoran tertidur karena ia lelah berpikir. Emma yang sudah menunggu-nunggu saat ini lalu mengangkat tangan Haoran yang melingkari pinggangnya secara perlahan dan dengan sangat hati-hati ia melangkah turun dari tempat tidur.     

Untuk memastikan Haoran tidur tanpa terganggu hingga pagi hari, Emma mencium keningnya dan berbisik lembut.     

"Tidurlah sampai pagi, Sayang. Aku pergi sebentar."     

Ia lalu mengambil pakaian ringkas dari lemari dan mengganti pakaiannya. Ia mengenakan celana jeans dan kemeja tipis lengan pendek berwarna hitam serta sepatu kets. Rambutnya sengaja diikat menjadi kuncir kuda dan penampilannya tampak sangat praktis.     

Ia berjalan ke teras kamar mereka dan memperhatikan di sekeliling mereka. Tidak ada siapa-siapa.     

Ia menarik napas lega. Sesaat kemudian ia menjejak ke lantai dengan kuat dan tubuhnya segera melesat ke arah barat.     

Emma telah memeriksa alamat penthouse di Hotel Continental. Letaknya di lantai tertinggi gedung itu. Ia akan dapat menemukannya dengan mudah.     

***     

Xion berjalan mondar-mandir di teras kamarnya. Ia kesal kepada dirinya sendiri karena masih belum dapat menemukan jawaban dari semua pertanyaannya.     

Apakah ada pengendali waktu selain dirinya yang hidup di zaman yang sama?     

Siapa orangnya? Bagaimana ia dapat menemukannya?     

Tapi kan... itu tidak mungkin.     

Therius telah beristirahat di kamarnya dan sama sekali tidak mempedulikan Xion yang berkali-kali mengancam akan pulang ke Akkadia dan tidak akan pernah mau bicara lagi kepadanya kalau Therius tidak bersedia memberikan petunjuk.     

"Baguslah kalau kau memutuskan untuk tidak bicara. Aku malah senang," komentar Therius.     

Ia selalu merasa Xion terlalu banyak bicara.     

"Hei.. aku tidak meminta kau memberitahuku rahasiamu. Aku hanya meminta sedikit petunjuk," kata Xion sambil memutar matanya. "Kalau kau menjawab pertanyaanku.. aku akan mengabulkan satu permintaanmu. Apa pun itu, asalkan bukan menjadi pejabat di Akkadia."     

Therius menyipitkan matanya, saat mendengar kata-kata Xion.     

"Apa pun?" tanyanya memastikan.     

"Apa pun. Ayo beri aku petunjuk," tukas Xion.     

Wajahnya terlihat kesal. Seharusnya Therius tahu, Xion bisa memikirkan suatu hal selama berhari-hari sampai tidak tidur.     

Ia tidak senang berpikir, tetapi kalau ada hal yang membuatnya penasaran, ia akan mengeringkan lautan dan memindahkan gunung demi dapat mencari jawabannya.     

"Baiklah. Aku akan memberimu petunjuk," kata Therius akhirnya. "Itu memang cincin yang sama. Aku menerimanya dari seorang gadis berwajah persis seperti Putri Emma Stardust, sudah lama sekali. Sebenarnya aku sudah melupakan wajahnya... hingga ketika aku melihat pesannya di pesawat messenger. Tiba-tiba aku diingatkan kembali pada gadis itu. Saat itulah aku tahu... kami memang ditakdirkan bersama."     

Xion tercengang mendengar kata-kata Therius.     

"Itu... sama sekali tidak menjawab pertanyaanku. Kau malah membuatku semakin penasaran." Xion terlihat semakin menderita.     

Kalau mereka orang yang sama... berarti Emma pergi ke masa lalu dan bertemu denganmu. Tapi untuk apa? Dan bagaimana caranya? Tidak mungkin kan dia juga seorang pengendali waktu?"     

Therius tidak mempedulikan Xion segera meregangkan tubuhnya dan berjalan ke arah kamar tidurnya. Waktu sudah lewat tengah malam dan ia mulai merasa mengantuk. Ia hanya mengangkat tangan kanannya dan melambai ke arah Xion tanpa menoleh.     

"Kau berutang satu kepadaku. Aku akan menagihnya."     

"Dasar..." umpat Xion.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.