Putri Dari Akkadia: Cinta Setinggi Langit Dan Bintang

Kau Mau Membuat Kontrak?



Kau Mau Membuat Kontrak?

0Xion sambil berjalan santai masuk ke dalam lounge di sebelah kanan ruang latihan. Kedua tangannya dimasukkan ke saku. Ia sudah memberikan instruksi yang dibutuhkan Emma untuk melatih aeromancy-nya. Maka, ia akan menunggu di lounge sambil menikmati wine.     

Pria tampan itu tersenyum tipis saat ia menoleh dan mendapati Emma sudah bersiap merapal serangan ke lingkaran target sesuai perintahnya. Aah, sepertinya Emma sangat bersemangat ingin menjadi lebih kuat agar suatu hari nanti ia dapat mengalahkan Therius.     

Xion Ia lalu masuk ke dalam lounge dan menuangkan minuman untuk dirinya sendiri.     

Emma bersiap melakukan latihan yang diminta Xion. Ia memejamkan mata dan mengatur napasnya. Ia belum pernah secara khusus menghantam target dengan kekuatan anginnya seperti yang diminta Xion sekarang. Tetapi ia merasa percaya diri bahwa ia akan dapat melakukannya.     

Ia memusatkan fokus pikirannya pada tangan kanannya dan kemudian ia menyerang titik di tengah lingkaran merah itu dengan semburan angin.     

SYUT!!     

Berhasil! Serangannya mengenai lingkaran target dengan mudah.     

Ini latihan yang terlalu mudah, pikir Emma. Ia lalu menyerang lagi dengan semburan angin, tetapi kali ini, titik merah itu tiba-tiba bergerak pindah.     

"Eh.. apa? Kenapa dia pindah??" Emma kaget karena kali ini serangannya mengenai ruang kosong. Titik target itu melesat secepat kilat ke sebelah kiri. Karena penasaran ia lalu kembali menyerang dan menghantam ke kiri, tetapi pada saat serangannya tiba, lingkaran target telah pindah ke atas langit-langit.     

Emma menjadi penasaran dan segera menyerang bertubi-tubi ke berbagai arah, tetapi dari 20 kali semburan, hanya 2 yang berhasil mengenai lingkaran.     

"Sialan!" rutuk gadis itu.     

***     

Xion membuka pintu dan mengerutkan keningnya melihat Emma berbaring di lantai ruangan training dengan napas tersengal-sengal dan mata terpejam. Ia terlihat sangat lelah dan kehabisan napas.     

"Heii.... kau kenapa?" tanya Xion. Ia memencet sesuatu di tembok dan melihat statistik serangan Emma selama dua jam terakhir. Wajahnya tampak tersenyum lebar. "Astaga... dalam dua jam ini kau hanya bisa mengenai target sebanyak 30 kali?"     

Emma membuka matanya dan mendelik. "Kau tidak bilang bahwa sasarannya akan bergerak."     

"Tentu saja sasaran pasti akan bergerak," omel Xion. "Kau pikir musuhmu akan berdiri diam di tempat dan membiarkanmu menyerangnya? Kau ini bodoh atau apa?"     

Emma menggigit bibirnya menahan kesal. Ia tahu Xion benar, tetapi tetap saja kata-kata pedas pria itu membuatnya kesal. Ia juga tidak mengira Xion langsung melatihnya seperti ini.     

"Kupikir kau akan memberiku petunjuk. Tapi ternyata kau hanya membiarkanku berlatih sendirian," kata Emma lagi.     

"Aku memberimu arahan, bagaimana kau harus melakukan latihanmu, supaya latihanmu efektif Nanti aku akan memeriksa kemajuanmu dan memberikan petunjuk selanjutnya," kata Xion. "Ia mengulurkan tangannya dan membantu Emma berdiri. "Ayo kutuangkan minum."     

Emma bangun dengan bantuan Xion. Wajahnya tampak kemerahan dan berkeringat karena mengeluarkan sangat banyak energi.     

"Uhm... terima kasih. Tetapi aku mau kembali ke kamarku dan membersihkan diri," kata Emma. Ia menepuk tangan Xion lalu berjalan keluar ruang latihan.     

Ia merasa lelah dan berpeluh. Demi mengejar 200 target, ia telah menyerang lingkaran target itu tanpa henti selama dua jam dan mengakibatkan tenaganya habis terkuras. Kini Emma hanya ingin mengistirahatkan diri.     

Xion memandang kepergian Emma dengan wajah penuh perhatian. Ia memperhatikan statistik di layar sekali lagi dan kemudian mendecak kagum. Walaupun Emma gagal menghantam target sebanyak 200 kali seperti yang diminta Xion, angka 30 yang dicapainya sebenarnya cukup bagus untuk seorang pemula. Xion benar-benar menganggap bahwa Emma memang berbakat.     

***     

Keesokan harinya, Emma kembali belajar bersama Atila dan Anddara di ruang belajar, lalu makan siang bersama Xion dan kembali melanjutkan pelajaran bersama Therius di perpustakaan.     

Therius memeriksa daya ingat Emma terhadap sepuluh huruf yang telah ia hafal sehari sebelumnya dan meminta gadis itu menuliskan kata-kata dengan menggunakan sepuluh huruf tersebut.     

Setelah itu mereka melanjutkan dengan sepuluh huruf berikutnya. Emma kemudian diminta menuliskan 20 huruf yang sudah ia pelajari dan menggunakannya untuk menuliskan seratus nama benda.     

Pelajaran membaca ini terbukti sangat membosankan, tetapi Emma memaksakan diri untuk melaluinya karena ia tahu ia akan sangat membutuhkannya begitu ia tiba di Akkadia.     

Kemampuan membaca adalah ketrampilan yang akan sangat berguna dalam hidup. Selain ia bisa menggunakannya untuk mempelajari hal-hal lain dengan membaca buku da berbagai referensi, ia juga tidak akan dapat ditipu orang kalau ia dapat membaca.     

"Baiklah. Pelajaran hari ini selesai," kata Therius sambil menutup bukunya. "Kita bertemu besok lagi di waktu yang biasa."     

"Hmm.." Emma mengangguk. Ia juga menutup bukunya dan bangkit dari kursi. Sebelum ia keluar dari pintu, langkah Emma terhenti. Ia menoleh ke arah Therius dan bertanya dengan suara ragu-ragu.     

"Ada yang ketinggalan?" tanya Therius tanpa mengangkat wajahnya dari tablet yang sedang dibacanya.     

Emma menggigit bibir dan mendorong dirinya untuk bertanya. "Kenapa kau mau mengajariku semua ini?"     

Therius yang sedang sibuk meneliti beberapa dokumen di tabletnya mengangkat wajah dan menatap Emma keheranan. "Aku tidak mungkin punya istri yang tidak dapat membaca. Orang akan menganggapmu bodoh. Akkadia memerlukan ratu yang pintar."     

Saat itu juga rasanya Emma ingin menimpuk kepala sang pangeran dengan buku yang dibawanya, tetapi ia berhasil menahan diri. Bibirnya mengerucut kesal.     

"Brengsek. Kau percaya diri sekali bahwa kau akan bisa menikah denganku..." omel Emma.     

"Dan kau percaya diri sekali bahwa kau tidak akan menikah denganku," balas Therius dengan nada serius. "Kau ingat perjanjian kita, kan? Lima tahun."     

"Aku masih ingat," kata Emma. "Kalau aku bisa mengalahkanmu, maka kau akan membiarkanku pergi. Apakah kau bisa memegang kata-katamu? Apakah kau bisa dipercaya?"     

"Kalau kau tidak percaya kata-kataku, kau bisa menuangkannya dalam kontrak yang mengikat. Xion dan Atila bisa menjadi saksinya," kata Therius. "Apakah itu akan membuatmu puas?"     

Emma mengerutkan keningnya dan berpikir.     

Kontrak? Ah... benar juga.     

"Aku akan percaya kalau kita sudah membuat kontrak itu..." kata Emma kemudian.     

"Bukankah kau perlu dapat membaca agar bisa membuat sebuah kontrak?" tanya Therius. "Kalau kau belajar dengan rajin... dalam beberapa minggu ke depan kau akan bisa membaca dan kita bisa membuat perjanjian secara hitam di atas putih."     

"Baiklah.." Emma kemudian berpikir lagi. Ia lalu bertanya dengan sikap ragu-ragu. "Uhm.. kau sempat menawarkan ingin mengajariku telemancy... Apakah tawaranmu itu masih berlaku?"     

Therius mengangguk. "Tentu saja, Kalau kau mau, aku akan melatihmu telemancy dan pyromancy. Kau bisa menentukan sendiri jadwal latihannya."     

"Uhmm.. baiklah..." Emma mengangguk dan melanjutkan perjalanannya keluar perpustakaan. Pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan.     

Kenapa rasanya mudah sekali?     

Apakah Therius punya rencana lain?     

Apakah ia akan berbuat curang untuk mengingkari perjanjian di antara mereka?     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.