Putri Dari Akkadia: Cinta Setinggi Langit Dan Bintang

Ini Bukan Mimpi



Ini Bukan Mimpi

0"Stardust... seperti kokain?"     

"Namaku Haoran Maximillian Lee."     

"Aku ingin berkencan denganmu di Paris."     

"Malam ini kau tidur di tempatku, supaya aku bisa menjagamu."     

"Aku ingin membuatmu terbiasa hidup seperti seorang Lee."     

"Hey, Stardust! Aku mencintaimu."     

"Kalau aku meninggal, aku tidak mau dimakamkan. Aku ingin menjadi pohon. Kuburkan saja aku di tanah dan taruh pohon yang bagus di atasnya. Dengan begitu aku bisa berguna."     

Emma menggeleng-gelengkan kepalanya dengan panik. Napasnya memburu.     

"Jangan, Haoran... kau tidak boleh mati.. Kau masih sangat muda. Ini tidak adil...!" Jerit Emma. Ia membuka matanya dan bangun dari tidur dengan tubuh gemetaran dan napas terengah-engah.     

Emma bermimpi, ia dan Haoran melayang bergandengan tangan di angkasa luar. Di sekeliling mereka ada jutaan milyar bintang yang membentuk galaksi dan nebula. Haoran mengulangi semua kata-katanya saat ia dan Emma baru pertama kali bertemu.     

Dan ia menutupnya dengan mengatakan bahwa ia tidak ingin dikubur, melainkan ditanam untuk menjadi pupuk bagi pohon, agar berguna bagi manusia lainnya.     

Emma menjerit saat Haoran membicarakan kematian. Ia menutup kedua telinganya dan menolak mendengar kata-kata Haoran. Lalu ia pun terbangun.     

Ia memegang dadanya yang terasa sesak dan berusaha menenangkan diri. Napasnya yang memburu perlahan mulai mereda. Perasaannya mulai tenang.     

Oh... rupanya itu tadi hanya mimpi.     

Emma menarik napas panjang dan mulai mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Ia tidak mengenali ruangan tempatnya berada.     

Apakah ia di apartemen Oma Lin? Atau... di kamar Haoran?     

Atau di rumah sakit?     

"Oh.. Haoran!"     

Seketika Emma ingat bahwa Haoran sedang koma di rumah sakit dan kondisinya kritis. Ia buru-buru melemparkan selimut yang menutupi tubuhnya dan turun dari tempat tidur.     

"Ah..." Emma tertegun saat menyadari ia mengenakan pakaian berwarna biru muda yang tidak dikenalnya. Pakaian ini berbentuk seperti gaun panjang yang praktis dengan tali di bagian pinggang dan bahannya terasa sangat halus di tubuhnya. Siapa yang mengganti pakaiannya?     

Di mana ini? Pikirannya segera bekerja cepat.     

Ia melihat sekelilingnya sekali lagi dengan bingung. Ia berada di sebuah kamar berwarna putih dengan berbagai perlengkapan yang terlihat minimalis dan futuristik. Di sebelah kanannya ada sebuah jendela tembus pandang yang sangat besar, menampilkan pemandangan angkasa malam yang dihiasi milyaran bintang.     

Tanpa sadar Emma menempelkan kedua telapak tangannya di jendela dan menatap keluar dengan ekspresi terpesona.     

Ia pasti masih bermimpi. Dalam mimpinya, ia dan Haoran pergi ke luar angkasa. Haoran memanggilnya Stardust, ia menyatakan cinta, dan kemudian meminta untuk ditanam di tanah bersama sebuah pohon. Ia ingin berguna setelah kematiannya.     

Sebentar... di mana Haoran?     

Emma melihat ada sebuah sandal yang nyaman di sudut kamar. Ia segera memakainya dan bergerak ke arah pintu untuk mencari Haoran.     

Ketika pintu terbuka, ia tertegun karena tidak mengenali tempatnya berada. Di depan pintunya ada sebuah lorong panjang berwarna serba putih dengan berbagai pintu di kanan kiri.     

Apakah ia sedang berada di hotel? Apakah ini bukan mimpi?? Pikiran Emma menjadi memusing.     

Ia berlari sambil mencoba membuka pintu satu persatu, tetapi tidak ada yang dapat dibuka. Emma terus berlari hingga ke ujung lorong dan menemukan sebuah pintu dengan berbagai lampu dan tombol yang mirip lift.     

Ia segera memencet sembarang tombol dan pintu lift pun terbuka. Emma masuk ke dalam lalu meneliti berbagai tombol di sana. Ada beberapa tulisan di dinding dan tombol, tetapi ia tidak dapat membacanya. Tulisan apa ini?     

Jantung Emma berdetak semakin keras. Ia sudah sadar bahwa ini bukan mimpi. Lalu di manakah ia sekarang?     

Ia memencet semua tombol yang ada di dinding dan menunggu. Lift bergerak entah kemana, ia tidak tahu. Emma berusaha mengerahkan semua ingatannya.     

Terakhir kali yang ia ingat, Haoran keluar dari ruang operasi dalam kondisi kritis dan ia koma selama dua hari. Dokter mengatakan bahwa mereka tidak dapat berbuat banyak dan tidak tahu apakah Haoran akan bangun atau tidak mengingat cedera di otaknya sangat parah.     

Emma lalu mencari Therius untuk memohon pertolongan. Therius akhirnya berjanji akan menolong Haoran jika... Emma berhasil mengalahkannya.     

Therius bahkan akan mengaku kalah kalau Emma berhasil menggoresnya sedikit saja.     

"Apakah aku menang?" Emma bertanya kepada dirinya sendiri.     

Lift berhenti dan pintunya terbuka, Emma segera menahan pintu dan melongok keluar untuk mencari lantai yang menurutnya menuju ke suatu tempat yang penting.     

Tidak ada. Lorong di luar lift ini terlihat kosong.     

Ia membiarkan pintu lift tertutup dan lift kembali bergerak turun. Lift berhenti dan pintu terbuka. Emma menahan pintu lift dan melongok keluar. Di sebelah kanan ada lorong yang menuju ke beberapa ruangan yang terlihat ramai oleh orang.     

Emma segera keluar dari lift dan bergegas menghampiri orang di sebelah kanan.     

"Permisi..." Ia melambaikan tangannya, mencoba menarik perhatian orang-orang itu. Tiga orang yang sedang berjalan tegap menuju ke lounge segera menoleh dan memperhatikan Emma dengan pandangan keheranan. Mereka tidak mengerti ucapannya.     

"Siapa dia? Kau mengerti apa yang ia ucapkan?"     

"Aku tidak tahu. Apakah dia bukan orang Akkadia?"     

Emma yang mengerti kata-kata mereka seketika merasa terguncang. Ia membelalakkan matanya besar sekali dan melihat ke sekelilingnya. Ia segera menghampiri mereka dan menguncang bahu salah seorang di antaranya dan bertanya dalam bahasa Akkadia.     

"Di mana ini???"     

"Kita ada di Kapal Luar Angkasa Coralia untuk Perjalanan Antar-Galaksi. Sekarang kita sedang dalam perjalanan pulang ke Akkadia."     

"Apa kau bilang???"     

Emma mengepalkan kedua tangannya di samping tubuhnya dan berusaha keras untuk tidak meledakkan kemarahannya kepada tiga orang itu. Mereka sepertinya tidak tahu apa-apa dan hanya merupakan staf biasa.     

Ia tidak mengira Therius akan membawanya secara pulang ke Akkadia tanpa persetujuannya. Ini penculikan!     

Brengsek!! Pangeran Brengsek!!     

Emma berkali-kali memaki di dalam hati.     

"Di mana Therius dan Xion?" tanyanya sambil mengeraskan rahangnya, menahan amarah.     

Ia tidak rela dibawa pergi ke Akkadia tanpa persetujuannya. Ia masih harus merawat Haoran, dan memastikan ia bisa sembuh...     

Oh, Haoran... di mana kau sekarang?     

"Maksud Nona Tuan Therius?" tanya orang yang tadi diguncangnya. "Nona bisa bertanya ke anjungan."     

Mereka telah melihat pakaian indah yang dikenakan Emma dan cara ia memanggil pimpinan kapal ini dengan kasual, mereka dapat menduga gadis ini memiliki kedudukan penting. Mungkin ia sedang sakit sehingga menjadi uring-uringan.     

"Apakah Nona perlu ke dokter? Saya bisa mengantar Anda ke klinik," kata seorang laki-laki yang dari tadi mengamati Emma dengan penuh perhatian.     

"Hmm... tidak perlu. Bisakah salah seorang dari kalian mengantarku ke anjungan?" tanya Emma. Ia ingin mencari Therius dan menghajarnya. Ia benar-benar marah.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.