Putri Dari Akkadia: Cinta Setinggi Langit Dan Bintang

Ini Pemerasan!



Ini Pemerasan!

0Sementara itu, di rumah sakit, Haoran segera mendapatkan perawatan terbaik. Tim dokter bedah terhebat di Singapura dengan sigap menangani kondisinya di ruang operasi.     

Setelah operasi selesai dan dinyatakan berhasil, Haoran dimasukkan ke ruang perawatan dan dengan kondisi masih kritis. Emma dan semua orang masih menunggu dengan cemas di lounge. Tidak ada yang tidur ataupun makan.     

Alex adalah satu-satunya yang berpikiran cukup jernih untuk membelikan makanan bagi mereka semua dan meminta selimut kepada petugas rumah sakit agar semua orang yang sedang menunggui Haoran dapat menjadi lebih nyaman.     

"Emma.. kau harus makan, jangan sampai kau sakit," kata Alex berusaha membujuk Emma. Waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam dan Emma terlihat sangat lelah. Alex membukakan sebuah kotak berisi makanan dan menyodorkannya ke depan Emma. "Kalau Haoran sadar dan kau jatuh sakit, nanti dia akan kuatir."     

Emma mengangkat wajahnya dan menatap Alex dengan air mata berlinang. Ia tidak tahu mengapa nasibnya buruk sekali. Setelah kehilangan orang tuanya, ia kini harus kehilangan Haoran. Bukan saja Haoran adalah suaminya, pemuda itu juga merupakan sahabat terbaiknya yang paling mengerti dirinya.     

Ia kemudian teringat peristiwa belasan tahun lalu ketika ayahnya terluka di Gurun Ibukun setelah memberi kehidupan pada seisi lembah dan membuatnya hijau kembali. Arreya mengeluh bahwa ia menyesali kekuatannya yang banyak, tetapi tidak ada satu pun yang dapat dipakai untuk menyembuhkan orang yang disayanginya.     

Ahh... mengapa tidak ada satu pun kekuatannya yang berguna di saat seperti ini? pikir Emma sedih.     

Dokter sudah melakukan yang terbaik dan sekarang mereka hanya bisa menunggu.     

***     

Emma tersentak bangun saat merasakan ada selimut yang disampirkan ke tubuhnya. Ia membuka mata dan menatap orang yang berdiri di depannya dengan air mata berurai.     

"Ibu?" tanya Emma keheranan.     

Ia tidak menyangka akan melihat ibu kandung Haoran di Singapura. Wanita separuh baya yang cantik itu tersenyum, walaupun sepasang matanya bengkak dan basah.     

"Kau sudah menunggu di rumah sakit selama dua hari penuh. Sudah saatnya kau pulang dan beristirahat," kata wanita itu dengan penuh perhatian. "Dokter sudah melakukan yang terbaik. Begitu Haoran ada kemajuan, mereka akan menghubungi kita."     

Alex, Dinh, David, dan Eric telah pulang ke rumah mereka masing-masing untuk beristirahat dan berganti pakaian, lalu datang bergantian ke rumah sakit untuk menunggui Haoran. Tetapi walau bagaimanapun mereka mencoba membujuk Emma untuk pulang dan beristirahat, gadis itu tidak mau mendengarkan.     

Alex kemudian memohon kepada Tuan Lee untuk mengizinkan mereka menghubungi ibu Haoran dan mengabari kondisinya. Mereka berharap kehadiran ibu Haoran akan dapat membujuk Emma untuk beristirahat.     

Mengingat kondisi Haoran yang kritis, akhirnya Tuan Lee pun mengalah. Ia mengirim asistennya untuk menjemput ibu Haoran dari Shanghai dan wanita itu segera bergegas ke rumah sakit.     

"Ibu...." Emma segera menghambur pada ibu Haoran dan mereka berdua saling bertangisan. Di dunia ini, mereka berdua adalah wanita yang paling mencintai Haoran dan paling merasa terpukul.     

Mereka paling dapat mengerti perasaan masing-masing.     

***     

"Sampai kapan kau akan menunggu?" tanya Xion dengan tidak sabar. "Kalau kita tidak pulang minggu ini, aku tidak akan pernah mau menemuimu lagi."     

"Kenapa kau menjadi tidak sabar begini?" tanya Therius. "Bukankah kau yang ingin bertualang di bumi? Kau boleh pergi kemana saja dan menjelajah bumi ini. Aku akan memanggilmu jika saatnya tiba untuk pulang."     

"Aku sudah tidak selera lagi untuk bertualang," komentar Xion pedas. "Semua ini membuat perutku mual. Sekarang aku hanya ingin pulang dan tidur di di sleeping pod selama enam bulan sampai kita tiba di rumah."     

"Kau jangan bersikap kekanakan," kata Therius. Ia kembali memusatkan perhatiannya pada tablet di tangannya dan mempelajari berbagai strategi pertempuran di masa lalu yang digunakan para jenderal besar Akkadia dalam perang.     

Ia tiba-tiba menegakkan telinganya dan menoleh ke arah teras penthouse. Xion mengikuti arah pandangannya dan melihat ke arah teras.     

Dari pintu geser kaca yang terbuka lebar, mereka melihat sesosok tubuh gadis jelita melayang turun dan kemudian mendarat dengan anggun di lantai teras.     

"Selamat datang," Therius menyapa Emma yang berjalan dengan langkah-langkah cepat ke arahnya. Ia mengerling ke arah pintu penthouse. "Lewat pintu memang tidak terlalu praktis."     

"Aku perlu bantuan," kata Emma tanpa basa-basi.     

Ia berdiri tegak menghadap Therius yang kini telah meletakkan tabletnya di meja dan memberikan perhatian penuhnya kepada gadis itu.     

"Apa yang dapat kubantu?" tanya Therius tenang.     

"Apakah kalian memiliki teknologi kedokteran yang sangat maju? Suamiku sedang sakit parah dan ia sedang koma. Aku perlu tahu apakah kalian bisa menyembuhkannya."     

Emma tidak tahu seperti apa teknologi kedokteran di Akkadia. Tetapi ia bisa menduga tentu teknologi di sana jauh lebih canggih daripada di bumi. Ia perlu memastikan bahwa ia tidak melewatkan satu pun kemungkinan untuk menyembuhkan Haoran.     

"Teknologi kedokteran kami sudah sangat maju. Kami juga punya dokter di kapal," kata Therius. "Tetapi aku tidak akan menolong orang yang tidak ada hubungannya dengan Akkadia."     

Emma menggigit bibirnya. "Aku adalah orang Akkadia dan dia suamiku. Jangan bilang bahwa dia tidak ada hubungannya."     

Therius menggeleng. "Maaf, kau sendiri yang memilih untuk menetap di sini dan melupakan Akkadia. Aku tidak bisa membantumu."     

Emma berusaha kerasa menahan diri agar tidak menampar Therius. Bagaimanapun ia masih membutuhkan bantuan sang pangeran. "Jadi... kalau aku mau pulang bersamamu.. apakah kau akan menyembuhkannya?"     

Therius menatap Emma agak lama dan kemudian mengangguk. "Benar."     

Emma menjadi marah. "Ini pemerasan!"     

Ia melayangkan tangannya hendak menampar Therius, tetapi pemuda itu lebih cepat. Ia telah menahan tangan Emma dan meremasnya dengan lembut.     

"Kau tidak punya hati...!!" jerit Emma. Ia mundur dan mengayunkan tangannya untuk menghajar Therius dengan pusaran angin kencang. Therius menghindar sedikit dan dengan lambaian tangan kirinya, pusaran angin itu seketika mereda.     

Brengsek. Emma kemudian menyadari bahwa Therius juga mengendalikan angin seperti dirinya.     

Ugh... Ia melemparkan bola api biru dari kedua tangannya berturut-turut ke arah Therius. Emma mengerahkan segenap kekuatannya karena tahu Therius juga mengendalikan api.     

Seulas senyum pelan-pelan terukir di wajah Therius yang dingin.     

Ternyata gadis ini galak juga, pikirnya. Ia sengaja tidak menerima api dari Emma melainkan menghindar, karena ia ingin tahu setinggi apa kemampuan gadis itu dalam mengendalikan api.     

Kursi yang barusan didudukinya segera hancur dan terbakar oleh serangan bola api biru Emma.     

Xion yang terlompat kaget buru-buru mengisap oksigen dari kobaran api itu dengan aeromancy-nya dan mematikan apinya. Wajahnya tampak kesal.     

"Hei.. hei.. gila kalian! Jangan berkelahi di sini.. Nanti gedungnya hancur!!" teriaknya berkali-kali.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.