Putri Dari Akkadia: Cinta Setinggi Langit Dan Bintang

Keputusan Emma



Keputusan Emma

0Rekaman itu pun terhenti.     

Adegan pertemuan Therius dengan Kaoshin di penjara seketika menghilang dan ruang tamu penthouse yang mewah itu kembali pada penataannya yang semula.     

Selama beberapa menit tidak ada yang mengatakan apa pun. Emma mengepalkan kedua tangannya menjadi tinju di kedua sisi tubuhnya dan berusaha menahan air matanya. Tubuhnya gemetar saat ia menahan tangisnya agar tidak meledak.     

Ia sangat merindukan ayahnya. Setelah lima belas tahun, akhirnya ia berhasil melihat ayahnya kembali... namun kondisinya kini tampak sangat mematahkan hati.     

Setelah beberapa lama tidak ada yang bersuara, akhirnya Emma mengangkat wajahnya dan menatap lurus ke arah Therius. Sepasang matanya tampak digenangi air mata yang berusaaha keras ia tahan agar tidak menetes.     

"Jadi.. apa kata ayahku kepadamu?" tanya Emma dengan suara serak. "Kau menanyakan kepadanya jika ia memiliki pesan untuk disampaikan kepadaku?"     

Therius menggeleng. Wajahnya tampak menyesal. "Maaf. Tidak ada. Ia masih berkeras mengatakan bahwa ia tidak memiliki anak perempuan."     

Emma mengangguk. "Baiklah..."     

Therius menatap gadis itu dengan penuh perhatian. "Sekarang kau sudah percaya bahwa ayahmu masih hidup dan aku bisa membebaskannya?"     

Emma mengangguk lemah. "Aku percaya. Terima kasih atas tawaranmu kepada ayahku. Aku sudah mengerti situasinya sekarang."     

"Jadi.. apa keputusanmu?" tanya Therius dengan suara lembut. Ia tahu peristiwa barusan tentu cukup membuat hati siapa pun menjadi sedih. Karenanya ia berusaha mengatur kalimat dan nada bicaranya menjadi sehati-hati mungkin. Ia tidak ingin membuat Emma menjadi semakin sedih.     

Emma menggigit bibirnya. "Aku tidak bisa ikut kalian pulang... Aku sudah menikah."     

DEG!     

Dada Therius seketika terasa seolah dipukul sebuah palu godam yang sangat besar. Ia tahu Emma sudah menikah, tetapi setidaknya ia tadi mengira Emma akan merasa kesulitan untuk mengambil keputusan apakah ia akan tetap tinggal di bumi bersama Haoran, atau pulang ke Akkadia dan menyelamatkan orang tuanya.     

Tetapi mengapa Emma tampak begitu teguh dengan keputusannya untuk tidak mau pulang? Ia bahkan tidak terlihat memikirkannya dulu. Tidakkah ia memiliki keinginan untuk bertemu kembali dengan keluarganya dan berkumpul bersama mereka?     

Emma juga memiliki seorang adik dan ia belum pernah melihat adiknya sama sekali. Apakah ia tidak mau bertemu adiknya?     

"Aku tidak mengerti..." kata Therius dengan sepasang mata yang tampak keheranan. Ia menatap Emma lekat-lekat. "Kenapa?"     

"Ayah dan ibuku bersusah payah menyembunyikanku di sini agar aku tidak menjadi pion dalam pertarungan politik di Akkadia seperti yang dialami ibuku... Bahkan sampai saat terakhir pun, ayahku masih berusaha melindungiku dengan tidak mengakui keberadaanku," kata Emma dengan tangan terkepal dan air mata yang akhirnya turun berderai. Ia benar-benar terlihat sangat emosional. "Ayahku lebih memilih mati daripada membiarkanku dibawa pulang ke Akkadia... Aku tidak boleh menyia-nyiakan pengorbanannya dengan melakukan hal yang justru ingin ia hindari."     

Therius tertegun melihat sikap Emma yang sama sekali di luar perkirannya. Bibir pemuda itu terbuka saat ia hendak mengatakan sesuatu, tetapi tidak ada kata yang keluar. Keputusan Emma yang tidak terduga ini benar-benar membuat Therius terkejut.     

Ketika melihat Kaoshin berkali-kali membantah bahwa ia tidak memiliki anak perempuan, Emma akhirnya menyadari bahwa ayahnya tidak ingin ia kembali.     

Hal itu membuatnya sangat sedih, tetapi pada saat yang sama memberinya satu kejelasan tentang apa yang harus ia lakukan. Kehidupannya di bumi bersama Haoran cukup baik. Ia sudah memiliki teman-teman, juga ada Haoran yang sangat mencintainya dan mereka bahkan sudah menikah.     

Kalau situasinya tidak seperti ini, tidak ada konflik politik yang mengikatnya, dan Haoran boleh ikut bersamanya ke Akkadia, maka tentu saja Emma akan tidak ragu untuk memilih pulang ke Akkadia.     

Haoran akan dapat menyesuaikan diri setelah ia mempelajari bahasanya. Emma tahu Haoran sangat pandai dan akan dapat hidup di mana pun. Ia tidak perlu mengkuatirkan Haoran. Mereka semua akan dapat berkumpul kembali sebagai keluarga. Ia dan Haoran dapat memulai hidup baru bersama di Akkadia.     

Namun, saat ini Emma dipaksa memilih antara Haoran dan ayahnya. Kalau ia memilih Haoran maka ayahnya akan tetap menjadi tawanan politik di Akkadia dan situasi konflik antara Akkadia dan Thaesi akan tetap panas seperti sebelumnya.     

Tetapi kalau Emma memilih ayahnya, maka ia harus meninggalkan Haoran di bumi dan ia tidak akan tahu apakah ia akan dapat bertemu kembali dengan suaminya.     

Ia dan Haoran pasti akan sama-sama menderita seumur hidup karena orang yang mereka cintai berada di ujung dunia, terpisahkan oleh alam semesta.     

Karena itulah.. ketika Emma mendengar sendiri tekad ayahnya yang rela bertahan untuk terus menjalani hukuman di penjara Akkadia demi dirinya, Emma mengambil keputusan untuk memenuhi keinginan ayahnya.     

"Pangeran Therius... kalau kau kembali, kumohon sampaikan kepada ayahku, bahwa aku sangat mencintainya..." kata Emma dengan suara tercekat. "Katakan kepada ayahku... bahwa aku akan hidup dengan baik di sini."     

"..."     

Gadis itu lalu bangkit dan berjalan ke depan Therius. Ia menatap pria itu lekat-lekat. "Maafkan aku. Aku tidak bisa menikah denganmu."     

Ia lalu berbalik dan berjalan ke arah pintu penthouse.     

Therius yang terkejut melihat Emma bergerak pergi, secara spontan mengayunkan tangannya dan tiba-tiba saja muncul dua buah bola api besar berwana biru di depan pintu, membuat langkah Emma terhenti.     

Gadis itu menoleh ke belakang dan menatapnya dengan kening berkerut. "Apa yang kau lakukan? Biarkan aku pergi!"     

Therius berdiri terpaku di tempatnya. Ia tidak tahu mengapa ia spontan menghalangi jalan Emma. Dalam hatinya ia merasa tidak rela melihat gadis yang ia cintai pergi begitu saja. Ia ingin menahannya.     

"Apakah kau sudah memikirkannya baik-baik?" tanya Therius. "Jangan memutuskan berdasarkan emosi..."     

Emma mengangguk. "Aku sudah memikirkannya dengan baik dan sudah mengambil keputusan. Aku tidak akan berubah pikiran. Tolong singkirkan apimu."     

Therius bergeming di tempatnya. Emma menghela napas dan melemparkan pandangan marah ke arah Therius. Ia tidak lagi mempedulikan sang pangeran, lalu berjalan menembus bola api itu dan membuka pintu.     

Therius sangat terkejut melihat Emma sama sekali tidak terganggu oleh bola apinya dan kini sudah menutupkan pintu penthouse di belakangnya.     

Sungguh, ada begitu banyak kejutan yang ia temui sejak ia melihat Emma di pesawat messenger. Bukan hanya Emma merupakan gadis yang dulu ia temui di masa kecilnya, gadis itu ternyata juga memiliki berbagai kekuatan ajaib.     

Dan kini... ia juga mampu mengendalikan api?     

"Uhm... aku lupa bilang, Putri Emma adalah seorang pyromancer (pengendali api), sama sepertimu," kata Xion tiba-tiba. Ia berjalan mendekati Therius dan menepuk pundaknya. "Apimu tidak akan menyakitinya."     

"Apa kau bilang??" Therius mendesah dan menurunkan tangannya. Seketika kedua bola api itu menghilang dari dekat pintu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.