Putri Dari Akkadia: Cinta Setinggi Langit Dan Bintang

Aku Ingin Bicara Dengan Putra Mahkota



Aku Ingin Bicara Dengan Putra Mahkota

0Emma merasa sangat terpukul. Ia dapat membayangkan mengapa orang tuanya menyimpan dalam-dalam cinta mereka selama bertahun-tahun dan tidak berusaha untuk bersatu. Mereka tahu implikasi politiknya akan sangat besar.     

Ayahnya, Kaoshin Stardust, malah memutuskan untuk masuk militer agar dapat mengabdi pada kerajaan dan melindungi Putri Arreya setelah ia menjadi ratu. Itu tandanya, baik Arreya dan Kaoshin sudah menyimpan cinta mereka dan merelakannya. Arreya bahkan bersedia menikah dengan Pangeran Darius.     

Namun tiba-tiba saja, di malam sebelum pernikahan Arreya kepada Putra Mahkota, mereka menyadari bahwa mereka tidak sanggup untuk berpisah dengan cara seperti itu dan akhirnya nekat untuk pergi. Hal itu membuat mereka berdua menjadi buronan paling dicari selama bertahun-tahun.     

Hingga akhirnya mereka pun tertangkap. Mereka terpaksa meninggalkan Emma di bumi agar ia tidak ikut menderita bersama mereka. Dan kini... ayahnya masih berada dalam tahanan dan terpisah dengan ibunya selama belasan tahun.     

Kini... air mata sudah tidak dapat lagi ditahannya dan membanjir turun ke pipinya. Orang tuanya sangat malang...     

Hanya karena mereka saling mencintai, keduanya harus menjalani hidup penuh penderitaan.     

Xion tampak bingung melihat air mata membasahi wajah Emma. Ia mengangkat tangannya hendak mengusap air mata gadis itu, tetapi tangannya terhenti di udara dan ia membatalkan niatnya.     

Ia sadar dirinya memang sungguh tidak berbakat menghadapi wanita.     

Entah bagaimana Aeron melakukannya. Pria flamboyan itu selalu dikelilingi wanita dan ia selalu tahu bagaimana cara menyenangkan mereka.     

"Lalu... bagaimana aku dapat membantu raja Akkadia berikutnya untuk naik takhta...?" tanya Emma akhirnya.     

Xion mendesah. "Konflik ini bermula karena Putri Arreya membatalkan pernikahannya dengan Pangeran Darius. Ini membuat nama keluarga raja tercoreng dan mereka harus menanggung malu selama bertahun-tahun. Ini juga membuat pemberontakan demi pemberontakan mulai berkobar di berbagai koloni, terutama Thaesi. Kalau kedua negara bisa kembali didamaikan dengan pernikahan, maka semuanya akan kembali menjadi tenang."     

"Pernikahan?" Emma menatap Xion lekat-lekat. "Maksudmu.... pernikahan siapa dengan siapa?"     

"Pernikahan antara dirimu, sebagai putri dari Thaesi dan pangeran putra mahkota Akkadia. Setelah Pangeran Darius meninggal, takhta Akkadia diperebutkan oleh tiga orang keponakan lelakinya. Raja memilih cucu lelakinya yang paling tua untuk menjadi pangeran putra mahkota dan ia akan segera naik takhta begitu raja Cassius mundur. Pangeran putra mahkota akan dapat naik takhta dengan tenang setelah menikah denganmu dan konflik dengan Thaesi diredakan," kata Xion. "Ia akan mengampuni ayahmu, dan kalian bisa kembali bersatu sebagai keluarga. Ia juga akan memperlakukanmu dengan baik dan kau akan menjadi ratu di Akkadia."     

"Tetapi aku sudah menikah..." cetus Emma.     

"Kurasa ia tak peduli tentang itu," kata Xion sambil mengangkat bahu. "Kau hanya perlu menjawab ya, dan ia akan mengurus semuanya."     

"Tetapi aku tak mungkin menikah dengannya karena aku sudah bersuami. Mungkin kita bisa memikirkan cara lain untuk meredakan konflik antara Akkadia dan Thaesi?" tanya Emma. "Aku dapat bertemu ibuku dan mengatur pertemuan damai. Akkadia hanya perlu membebaskan ayahku.."     

"Tuan Putri.. kau tidak memikirkan tentang nama baik keluarga raja Akkadia yang sudah tercoreng. Tidak semudah itu bagi mereka untuk mengatur pertemuan damai dan membebaskan ayahmu. Ada utang yang harus dibayar terlebih dulu. Kalian bisa memilih membayarnya dengan pernikahan atau dengan kepala ayahmu.." Suara Xion perlahan mulai dipenuhi simpati.     

Emma merasakan dadanya sesak dan hampir meledak karena emosional. Ini benar-benar situasi yang sangat membuatnya tertekan. Mengapa ia harus dihadapkan pada buah simalakama seperti ini?     

Sungguh tidak adil!     

"Bagaimana aku bisa bertemu dengan pangeran putra mahkota? Aku ingin bicara dengannya.." kata Emma akhirnya.     

"Kau sudah bertemu dengannya," kata Xion pendek. Ia mengarahkan pandangannya ke gedung tinggi di bawah mereka. Emma mengikuti arah pandangan Xion dan jantungnya seketika berdegup kencang.     

Therius adalah pangeran putra mahkota Akkadia?     

Seolah dapat membaca pikiran Emma, Xion mengangguk.     

"Memang dia orangnya."     

"Oh..." Emma sudah menduganya tetapi konfirmasi dari Xion tetap membuatnya terkejut.     

Therius adalah pangeran putra mahkota dan pria itu ingin menikah dengannya untuk memuluskan jalannya menaiki takhta Akkadia. Apakah Therius dapat menikah tanpa cinta?     

"Sebaiknya kau datang lagi besok. Sekarang ia sudah tidur. Aku yakin ia tidak akan keberatan kalaupun kau mau menganggunya malam ini, tetapi sebaiknya kau pulang dulu dan pikirkan kata-kataku."     

Xion menarik napas dalam-dalam dan kemudian batuk-batuk.     

"Ugh.. udara di planet ini sangat tidak bersih. Bagaimana kalian bisa hidup di sini?"     

Ia lalu melayang turun kembali ke teras penthouse dan mendarat dengan indah. Emma masih tertegun di tempatnya. Ia hanya memperhatikan Xion melayang turun kembali ke penthouse. Pikirannya dipenuhi pikiran tentang ayah dan ibunya.     

Apa yang harus ia lakukan?     

Mengapa keadaannya demikian berat?     

Akhirnya Emma ikut melayang turun dan berjalan mendekati Xion. Air matanya telah mengering dan kini ia menatap Xion dengan pandangan penuh selidik.     

"Kau.. apa perananmu dalam semua ini?" tanya Emma tiba-tiba. "Therius.. akan mendapatkan takhta, aku akan bisa membebaskan ayahku dari hukuman mati. Lalu kau.. apa yang kau dapatkan?"     

Xion tertegun. Ia tidak menduga Emma akan tiba-tiba menanyakan hal itu kepadanya. Ia mengerutkan keningnya dan mencoba berpikir.     

Ia memang tidak mendapatkan apa-apa dalam perjalanan ini. Ia ikut murni hanya untuk menemani Therius, sebagai sahabatnya, satu-satunya orang yang dipercayai Therius.     

"Kau mungkin sulit percaya ini, tetapi tidak semua orang memiliki pamrih," kata Xion akhirnya sambil mengangkat bahu. Ia lalu mengambil botol wine dan gelasnya dan berjalan masuk ke dalam penthouse. "Pikirkanlah kata-kataku. Sampai jumpa besok!"     

Ia lalu melambaikan tangan kirinya tanpa menoleh ke belakang. Emma berdiri terdiam di tempatnya menyaksikan pria itu kemudian menghilang di balik pintu.     

Kedua tangan Emma terkepal di sisinya. Ia berusaha menahan diri agar tidak meluapkan rasa frustrasinya dengan menghancurkan bangunan tempatnya berdiri sekarang.     

Ah.. Xion benar. Ia harus kembali ke rumah dan berpikir. Emma menarik napas panjang dan melayang pergi ke arah Timur menuju mansion Haoran.     

***     

Jam sudah menunjukkan pukul 3 pagi ketika Emma hinggap kembali di balkon kamar mereka. Ia bergegas mengganti pakaiannya dengan pakaian untuk tidur lalu naik ke tempat tidur. Haoran masih tertidur pulas seperti saat ia tinggalkan tadi.     

Emma menatap wajah suaminya dengan sendu sebelum kemudian mencium bibirnya dan membaringkan tubuhnya dengan memeluk tubuh Haoran.     

Seketika, perasaannya yang tadi kacau mulai menjadi tenang. Berada dekat Haoran selalu bisa membuatnya merasa lebih baik. Ia mencium Haoran lagi dengan lembut dan kemudian memejamkan matanya.     

Ahh... sebaiknya ia memaksa diri untuk tidur agar esok Haoran tidak curiga melihatnya dengan mata panda.     

Dengan susah payah Emma memaksa dirinya untuk tidur dan beristirahat.     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.