Putri Dari Akkadia: Cinta Setinggi Langit Dan Bintang

Menginterogasi Xion



Menginterogasi Xion

0Sejak Xion mengetahui bahwa dirinya adalah seorang Time Master, yang dapat memanipulasi waktu, ia baru menggunakan kekuatannya beberapa kali. Ia tak ingin membuang banyak energi untuk melakukan perjalanan waktu demi hal yang tidak super penting.     

Saat ia berkunjung ke masa lalu dan bertemu Arwn, Time Master sebelum dirinya, Xion mendapatkan banyak petunjuk bahwa ia akan membutuhkan sangat banyak latihan untuk dapat menggunakan kekuatannya dengan baik.     

Xion memperkirakan bahwa ia akan dapat menyempurnakannya setelah ia berusia cukup tua dan berlatih lama. Setidaknya, demikianlah yang dialami Arwn.     

"Kau bilang tadi namamu Xion?" tanya Emma saat tubuh Xion sudah melayang tinggi di atas Singapura. Rambut panjang keemasan pemuda itu berkibar-kibar ditiup angin yang mengangkat tubuhnya atas perintah Emma.     

"Kau masih ingat namaku. Tentu karena aku membuatmu sangat terkesan," goda Xion. Ia masih berusaha menampilkan ekspresi menyebalkan untuk memancing Emma.     

Duh.. gadis cantik ini tampak menatapnya dengan dingin, tetapi bahkan ekspresi dinginnya itu tidak mampu mengurangi kecantikan wajahnya. Sebenarnya kalau dipikir-pikir Emma ini mirip sekali dengan Therius. Bukan hanya penampilan fisik mereka yang tampak serupa, tetapi juga sikap dinginnya.     

Ia tidak dapat membayangkan bagaimana rasanya kalau lelaki dingin bertemu dengan perempuan dingin.. bagaimana bisa mereka menikah? Siapa nanti yang menghangatkan ranjangnya?     

Astaga, Xion.. kenapa kau jadi berpikiran kotor tentang sahabatmu sendiri? Kau bukan Aeron, ia mengomeli dirinya sendiri.     

"Xion, aku tidak punya waktu bermain-main. Sekarang sudah pukul 2 pagi. Aku ingin menyelesaikan urusan kita dan kembali kepada suamiku sebelum ia bangun tidur," kata Emma dengan nada datar. "Kita bisa melakukannya dengan cara mudah atau sulit. Kau tinggal menjawab pertanyaanku dan aku akan mengembalikanmu dengan selamat ke gedung tadi."     

Xion menyembunyikan cengirannya di balik ekspresi kaget. 'Ahh.. coba saja kalau kau berani melemparkanku ke bawah. Aku juga bisa terbang', pikirnya geli.     

Ia memutuskan untuk bermain-main lebih lama.     

"Ugh... baiklah, kau berhasil membuatku takut. Apa yang ingin kau tanyakan?" tanyanya kemudian.     

Emma mengamati ekspresi Xion yang sulit ditebak. Ia penasaran karena ia tidak berhasil memasuki pikiran pria itu dan mempengaruhinya. Maka, tadi Emma sempat menduga bahwa Xion adalah seorang telemancer. Namun, sekarang ia mulai berpikir bahwa ia salah.     

"Apakah kau seorang telemancer?" tanya gadis itu.     

Xion menggeleng. Keningnya berkerut saat ia menyadari kenapa Emma mengajukan pertanyaan itu.     

"Bukan," jawabnya.     

Xion teringat kisah tentang Putri Arreya yang menjadi legenda. Ia menyembunyikan kemampuannya sebagai telemancer selama belasan tahun dan baru terbongkar saat ia menyihir semua orang di istana menjadi tertidur selama 20 jam sehingga ia dan Jenderal Kaoshin Stardust dapat melarikan diri.     

Ia menduga bahwa Emma mewarisi kemampuan ibunya sebagai telemancer dan tadi berusaha membaca pikirannya namun gagal.     

"Kenapa aku tidak bisa membaca pikiranmu?" tanya Emma.     

Kemampuan telemancy-nya sangat membingungkan. Dulu, saat kekuatannya kembali, ia dapat membaca pikiran semua orang selain Haoran. Namun, tiba-tiba saja setelah ia dan Haoran berciuman, ia dapat membaca pikirannya.     

Sekarang ia juga tidak dapat membaca pikiran kedua orang Akkadia yang datang menemuinya ini. Emma hanya bisa menebak-nebak apa yang terjadi sebenarnya karena ia tidak punya tempat bertanya.     

Xion tersenyum lebar saat mendengar pertanyaan Emma.     

Ah, dugaannya benar. Gadis ini memang seorang telemancer.     

Dalam hati ia merasa bergidik karena ia baru menyadari bahwa gadis cantik di depannya ini juga ternyata merupakan seorang yang istimewa. Ia juga merupakan seorang magi multi-element!     

"Mungkin kau menyukaiku?" tanya Xion dengan nada suara sangat bahagia. "Seorang telemancer tidak akan dapat membaca pikiran orang yang ia sukai, kecuali orang itu mengizinkannya."     

"Kau pasti berbohong!" tukas Emma sambil mengerucutkan bibirnya. "Aku TIDAK menyukaimu."     

Xion tertawa melihat ekspresi kesal Emma. "Aku tidak berbohong."     

Emma menjadi kesal karena laki-laki di depannya ini tampak sama sekali tidak memperlakukannya dengan serius. Wajahnya malah menampilkan senyum mengejek yang sangat menyebalkan.     

"Tadi aku hanya menggunakan sepertiga kekuatanku. Kalau kau membuatku kesal, aku akan membuatmu merasakan sedikit panas dan menjatuhkanmu ke bumi. Kita lihat apakah kau masih mengejekku," ancam Emma.     

Xion segera mengangkat kedua tangannya dan melambai ke arah gadis itu. Ia berpura-pura takut dijatuhkan ke bumi.     

"Aku tidak berbohong. Kau bertanya dan aku sudah menjawab pertanyaanmu. Jawabanku benar. Seorang telemancer tidak dapat membaca pikiran orang yang disukainya kecuali orang itu mengizinkannya. Ia juga tidak dapat membaca pikiran seorang magi yang lebih kuat darinya. Kau tidak akan pernah dapat membaca pikiranku karena aku lebih kuat darimu."     

"Oh..." Emma akhirnya mengangguk. Penjelasan Xion ini masuk akal, pikirnya. Ia mengerutkan keningnya dan menatap Xion dalam-dalam. "Untuk apa kalian datang ke sini mencariku?"     

Xion menelengkan kepalanya dan balas menatap Emma. "Kami datang untuk membawamu pulang. Bukankah kau yang mengatakan bahwa kau ingin bertemu kembali ayah dan ibumu dan minta dijemput ke Akkadia?"     

"Benar. Tetapi aku baru mengirim pesan itu dua minggu yang lalu, sementara kalian sekarang sudah ada di sini. Kurasa, kalian memang sedang dalam perjalanan ke sini untuk mencariku dan pesawat messenger itu hanya mempercepat tujuan kalian dalam menemukanku," kata Emma. Ia mengulangi kata-kata yang diucapkan Haoran tadi kepadanya. "Ini sebuah kebetulan yang menguntungkan pihak kalian."     

Xion tertegun. Gadis ini masih muda dan masih mudah terpancing, tetapi pemikirannya cukup cerdas. Ia dapat menebak apa yang terjadi secara akurat.     

Ah... toh, tidak ada gunanya jika Xion menyembunyikan fakta itu. Mereka memang ingin menjemputnya pulang, walaupun Emma tidak meminta.     

"Itu benar. Kami datang menjemputmu dan di saat yang sama, kau ingin pulang. Kurasa itu takdir..."     

"Itu kebetulan," Emma mengoreksi kata-kata Xion.     

"Kebetulan, takdir, jodoh... sama saja," kata Xion sambil mengangkat bahu. "Yang jelas sekarang kami sudah di sini, dan siap membawamu pulang. Kau tidak punya pesawat sendiri untuk kembali ke Akkadia. Kami adalah satu-satunya harapanmu."     

Emma menggigit bibirnya, berusaha tetap terlihat tidak terpengaruh. "Kalau aku berubah pikiran dan tidak mau pulang, apa yang akan kalian lakukan?"     

"Tidak ada. Semuanya terserah kepadamu," kata Xion. "Kalau kau tidak pulang ke Akkadia, kau harus mengucapkan selamat tinggal kepada orang tuamu."     

"Aku tidak mau pulang tanpa Haoran," kata Emma.     

Xion menggeleng-geleng. "Putri Emma Stardust, kalau kau memaksa membawa pemuda malang itu ke Akkadia, kau akan menyebabkan kematiannya. Dia tidak punya tempat di Akkadia."     

"Kalau begitu, aku tidak akan pulang," kata Emma dengan keras kepala.     

"Baiklah. Kurasa perjalanan kami jauh-jauh ke sini tidak ada gunanya." Xion mendesah dan membuang muka. "Satu-satunya harapan Jendral Stardust untuk menghindari hukuman mati akhirnya kandas juga."     

Emma sangat terkejut mendengar kata-kata Xion. "Apa kau bilang? Ayahku akan dihukum mati?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.