Putri Dari Akkadia: Cinta Setinggi Langit Dan Bintang

Kata Siapa Hidup Ini Adil?



Kata Siapa Hidup Ini Adil?

0"Apa kau yakin kau memang sudah di Lvl-3?" tanya Marci sambil menyipitkan matanya ke arah Emma. "Kenapa bisa meleset separah itu serangan keduamu?"     

Emma hanya mengangkat bahu. "Aku tidak tahu. Biar kucoba lagi. Tadi aku kurang fokus."     

Ia lalu mengerahkan kemampuannya dan melempar serangan ke papan target. Kali ini ia 'berhasil' mengenainya dan hanya meleset sedikit.     

Emma memutuskan untuk menggunakan waktu lima menit yang diberikan kepadanya untuk mengenai target dua kali lagi, sehingga mencapai total 3 kali. Walaupun ia hendak menyembunyikan kemampuannya dari teman-teman sekelasnya, tetapi ia harus tetap terlihat wajar bagi seorang mage yang sudah ada di Lvl-3.     

Marci mengangguk-angguk. "Hmm.. kurasa mungkin penilaianmu sebelumnya kurang akurat. Mungkin kau sebenarnya ada di Lvl-2. Tapi tidak apa-apa. Ini juga cukup bagus."     

"Terima kasih," kata Emma.     

"Baiklah, ayo semuanya berkumpul. Aku punya catatan kekuatan kalian masing-masing di sini," kata Marci. Ia lalu melambaikan tangannya dan memberi tanda agar semua murid kelas B berkumpul di dekatnya.     

Dengan patuh siswa-siswa itu mendekati Marci dan Loran.     

"Baiklah. Kalian ada yang sudah tahu apa saja tantangan yang akan kalian hadapi minggu ini?" tanya Marci sambil memandang ke-25 siswa itu satu persatu. Semuanya menggeleng.     

"Ah, baiklah. Ini baru diadakan selama lima tahun terakhir dan pertama kali diprakarsai oleh ketua murid lima tahun yang lalu. Dan karena acaranya terbukti berhasil menjalin keakraban di antara para siswa sebelum mereka mulai belajar serius, maka acara ini lalu diajukan oleh dewan murid untuk menjadi acara tahunan." Loran mulai bicara dan menjelaskan tentang acara tantangan ini.     

Marci lalu melanjutkan ucapan penjelasan Loran. "Selama tiga hari ke depan, kalian akan diberi tugas untuk mengumpulkan poin sebanyak-banyaknya. Setiap hari tugasnya berbeda dan pada hari keempat poin setiap kelas akan dihitung. Yang paling banyak poinnya akan menjadi pemenang dan mereka boleh memilih warna angkatan."     

"Maksudnya?" tanya Miri keheranan. "Warna angkatan?"     

Marci mengangkat gelang di tangannya. "Warna hitam adalah warna yang dipilih oleh kelas A setiap tahun saat mereka memenangkan tantangan."     

"Ahh..." Semua siswa kelas B saling pandang dan mengangguk.     

"Kalian belum tahu warna kelas kalian?" tanya Marci keheranan. "Kelas B selalu mendapatkan warna biru."     

"Oh..." Emma mengangguk. Ia menyukai warna biru. Kalau kelas B menang, maka gelang anggota dewan murid akan diubah menjadi biru? Rasanya boleh juga.     

"Aku tahu," kata Stell. "Tapi aku pikir itu tidak ada artinya."     

"Sebelum ada acara tantangan tahunan, memang warna kelas tidak ada artinya. Tetapi selama lima tahun terakhir, warna itu menjadi sangat penting," kata Marci. "Sekarang, terserah kalian. Apakah kalian mau berusaha mengubah warna hitam ini menjadi biru.. atau tidak."     

Murid-murid kelas B saling pandang. Mereka tentu ingin memenangkan tantangan tersebut dan menjadikan kelas mereka dipandang oleh tiga kelas lainnya.     

Namun, sebelum mengetahui apa saja tugas yang harus dilakukan untuk mendapatkan poin, mereka tidak akan bisa memastikan apakah mereka memiliki harapan untuk memang atau tidak.     

"Kami akan berusaha," kata Miri sambil tersenyum. Ia melotot pada teman-temannya. "Ayo, jangan bikin malu Marci dan Loran yang sudah mau mendampingi kita."     

"Ahh.. itu benar. Kami akan berusaha," kata yang lainnya menimpali.     

"Ngomong-ngomong, Marci, dan Loran... dulu kalian kelas apa?" tanya Stell kepada kedua mentornya. Ia tampak penasaran.     

"Aku? Aku dulu kelas A dan kami memenangkan tantangan di tahun aku masuk," kata Marci sambil mengangkat bahu. "Tapi karena tahun ini aku menjadi mentor kalian, tentu saja aku berharap Kelas B bisa menang."     

"Ah... syukurlah. Semoga kami tidak akan mengecewakanmu," kata Stell dengan gembira.     

"Baiklah. Aku akan mengumumkan hasilnya. Di kelas ini ada 4 aeromancer, 7 herbomancer, 1 cryomancer, 2 electromancer, 6 hydromancer, 1 necromancer, 3 pyromancer, dan satu orang sanomancer. Empat orang Lvl-2 dan sisanya di Lvl-1." Marci memutuskan untuk memasukkan Emma ke dalam Lvl-2, karena menganggap ia tidak cukup kuat untuk dimasukkan ke dalam Lvl-3.     

"Sanomancer?" Emma bergumam. Ia baru pertama kali bertemu seorang sanomancer. "Bukankah sanomancer itu sangat langka?"     

Marci mengangguk. "Itu benar. Teman kalian ini bisa sangat berguna dan menghasilkan banyak uang dan poin untuk kalian kalau saja kemampuannya sudah tinggi. Sayangnya ia masih di Lvl-1."     

Ia menunjuk Rein yang berdiri malu-malu di barisan paling ujung. Gadis pemalu berambut cokelat yang selalu menunduk itu semakin menundukkan kepalanya saat mendengar Marci membahas dirinya.     

Emma baru memperhatikan gadis yang dimaksud Marci. Gadis itu tampak pemalu dan agak lusuh. Emma ingat ia memakai sweater yang sama hari ini seperti kemarin.     

Apakah gadis ini miskin? pikir Emma keheranan. Ia lalu membaca pikiran Rein untuk mengetahui siapa ia sebenarnya.     

Ahh... ternyata Rein adalah seorang gadis desa yang dikirim ke Innstad untuk belajar di akademi dengan dorongan gurunya yang sudah sangat tua. Gadis itu sudah yatim piatu dan tidak memiliki siapa-siapa lagi. Ia besar di panti asuhan. Pantas saja sikap dan penampilannya seperti itu, pikir Emma.     

Tadinya ia mengira semua orang di Akkadia memiliki kehidupan yang baik karena dijamin pemerintah. Tetapi mungkin tidak semua desa terpencil dapat dicapai oleh bantuan pemerintah?     

Emma memutuskan untuk menanyakan hal ini kepada suaminya saat Therius datang berkunjung ke Innstad di akhir pekan nanti.     

"Kuharap Rein bisa melatih kemampuannya dan menjadi sanomancer yang tangguh. Ia akan sangat dibutuhkan tenaganya," kata Loran sambil tersenyum.     

Ketika Rein mendengar pujian dari kakak kelasnya itu, barulah gadis itu mengangkat wajahanya. Sepasang matanya yang abu-abu tampak berseri-seri. Sangat mudah ditebak bahwa Rein menyukai Loran.     

Hal itu dapat dimengerti karena bisa dibilang Loran adalah murid laki-laki yang hampir sama populernya dengan Bastian, karena ia adalah wakil ketua dewan murid. Penampilannya rapi dan wajahnya cukup tampan dengan rambut putih yang terlihat sangat keren.     

"Aku akan berusaha..." terdengar cicit gadis itu dengan suara pelan.     

"Baiklah.. kita bisa kembali ke aula dan mendengarkan tugas pertama," kata Marci sambil bertepuk tangan dan memberi tanda agar murid-murid binaannya berjalan mengikutinya.     

"Kira-kira apa tugas pertama yang harus kita kerjakan?" tanya Stell dengan penuh rasa ingin tahu.     

Marci hanya mengangkat bahu. "Kurasa kalian harus membuat proyek untuk menghasilkan uang. Yang paling banyak menghasilkan uang akan memenangkan tugas pertama. Tapi itu baru dugaanku saja."     

"Apa? Kita harus mencari uang?" Semua berpandangan keheranan.     

"Dan yang paling banyak mendapatkan uang akan menang?"     

"Setahuku di kelas A ada banyak murid yang berasal dari keluarga kaya. Ulla misalnya, keluarganya memiliki resort di Beliz, kelas lain ada yang berasal dari keluarga bangsawan kaya raya..." protes Stell. "Bukankah itu tidak adil jika mereka meminta keluarganya untuk memberi mereka uang?"     

Marci tertawa. "Kata siapa hidup ini adil?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.