Putri Dari Akkadia: Cinta Setinggi Langit Dan Bintang

Menguji Kekuatan



Menguji Kekuatan

0Emma merasa segar ketika ia bangun keesokan harinya. Ahh.. mungkin perasaannya menjadi lega setelah ia mengungkapkan perasaannya kepada Therius, bahwa ia juga mencintai pria itu, sehingga tidurnya menjadi sangat damai.. dan akibatnya pagi ini ia bangun dengan perasaan segar?     

Emma tidak tahu. Yang jelas ia merasa lega karena ia telah menyampaikan isi hatinya kepada suaminya. Ia merasa Therius berhak tahu, bahwa istrinya juga mencintainya.. Bahwa perasaan cinta yang ia miliki kepada Emma tidak lagi merupakan rasa cinta satu arah.     

Emma memutuskan untuk membasuh dirinya dan berganti pakaian dan turun ke ruang makan untuk sarapan. Di sana ia bertemu Miri, Ulla, Alta, Stell dan beberapa teman satu angkatan lainnya. Mereka sibuk membahas tentang briefing tantangan pagi ini.     

"Aku sudah menanyakan kepada Bastian tentang tantangan yang akan kita ikuti tahun ini, tetapi ia tidak mau memberitahuku," keluh Ulla. "Aku sangat penasaran, kira-kira apa tantangan yang akan kita ikuti."     

Ah, Emma jadi ingat bahwa tadi malam sebenarnya ia ingin memanyakan kepada Therius tentang tantangan yang akan dihadapi murid-murid baru, tetapi ia lupa.     

Ahh... sayang sekali. Berarti, sama seperti siswa lainnya, ia juga tidak akan tahu apa yang harus dinantikan.     

"Kita lihat saja nanti," kata Miri akhirnya.     

Mereka menghabiskan sarapan mereka dan segera kembali ke aula. Di sana masing-masing mentor setiap kelas telah menantikan kehadiran mereka. Emma, Stell, dan Miri bergabung dengan kelas B, sementara Ulla dan yang lainnya bergabung dengan kelas masing-masing.     

"Ayo kita ke ruangan latihan," kata Marci begitu siswa kelas B datang berkumpul. Di sampingnya ada Loran, siswa tahun kedua yang menjadi mentor kedua kelas B. Rupanya Marci sendiri yang meminta Loran, wakil ketua murid untuk menemaninya menjadi mentor kelas ini.     

"Kalian mungkin sudah tahu Loran," kata Marci sambil menunjuk pemuda berambut putih di sampingnya. "Ia kakak kelas kalian dan sekarang menjabat sebagai wakil ketua murid. Tahun depan ia akan menggantikan Bastian sebagai ketua murid setelah Bastian lulus. Jadi kalian sangat beruntung ia mau menjadi mentor kalian."     

Wajah para siswa kelas B tampak berseri-seri. Walaupun kemarin Bastian menolak menjadi mentor mereka, setidaknya kini mereka mendapatkan pengganti yang hampir sama baiknya.     

"Baiklah, sekarang kita ke ruang berlatih. Aku sudah memesan ruangan itu untuk kita sepagian ini, agar kita dapat memeriksa tingkat kekuatan kalian dan kemudian membahas tentang tantangan pertama yang akan kita hadapi," kata Loran sambil tersenyum.     

Dengan penuh semangat para siswa kelas B mengikuti kedua kakak kelas mereka berjalan keluar gedung dan masuk ke bangunan besar dengan kubah berwarna biru. Setelah masuk ke dalam, Loran memencet sebuah tombol dan di lampu di dalam ruang latihan itu segera menyala.     

"Ahh..." Emma segera teringat pada ruang latihan yang sering ia pakai di istana. Bentuknya seperti ruangan kosong dengan sebuah target sasaran di tengah ruangan serta sebuah papan elektronik dengan layar di sebelah kanan.     

Emma pertama kali menggunakan ruang latihan di Coralia untuk memeriksa tingkat kekuatannya dan oleh Xion ia disuruh untuk mengenai target sebanyak 200 kali dalam 2 jam sebelum Xion bersedia mengajarinya.     

"Di depan itu ada papan target," kata Marci kepada para murid kelas B sambil menunjuk papan target di tengah ruangan. "Kalian akan bergiliran menyerang target itu dengan kekuatan apa saja yang kalian miliki. Biar nanti sistem yang akan memeriksa tingkat energi kalian."     

Ia mengambil tablet berisi daftar nama para siswa dan memanggil nama mereka satu persatu. Ia memberi mereka waktu lima menit dan menyuruh mereka untuk melancarkan serangan ke papan sasaran.     

Stell maju duluan. Ia melancarkan serangan ke papan sasaran dengan segenap tenaga. Dalam satu menit, ia hanya berhasil mengenai papan sasaran itu sebanyak satu kali. Dua serangannya yang lain sama sekali melenceng jauh dari sasaran.     

"Ugh... aku tidak tahu kemampuanku separah itu," keluh Stell saat ia kembali ke tempat teman-temannya berada. Yang lain saling pandang. Mereka juga penasaran ingin mengetahui seperti apa kemampuan mereka dibandingkan teman-teman mereka.     

Giliran berikutnya adalah Soria, yang bahkan sama sekali tidak dapat mengenai sasaran satu kali pun. Semua serangannya mental atau sangat jauh dari sasaran.     

Wajahnya terlihat sangat malu dan sedih ketika ia kembali ke tempat tempan-temannya.     

"Ini susah sekali," bisiknya. "Lebih susah dari kelihatannya."     

Marci tampak menepuk keningnya sendiri saat melihat kemampuan para siswa kelas B yang ternyata lebih parah dari dugaannya. Ia dan Loran saling pandang dan menghela napas.     

Siswa-siswa lain menggunakan kekuatan mereka, mulai dari cryomancy, hydromancy, herbomancy, dan aeromancy untuk menyerang papan sasaran sebaik mungkin. Hanya tiga orang yang mampu menunjukkan kemampuan di atas rata-rata.     

Marci memperhatikan papan statistik di dinding setiap kali seorang siswa menunjukkan kemampuannya. Hampir semua siswa ada di Lvl-1, hanya tiga orang yang sudah ada di Lvl-2, dan satu orang di Lvl-3, yaitu Emma, menurut pengakuannya tadi.     

"Sekarang giliranmu," kata Marci sambil memandang Emma.     

Gadis itu mengangguk. Ia berjalan ke tengah ruangan dan bersiap untuk melancarkan serangan ke arah papan sasaran di tengah ruangan. Saat mengerling ke samping, ia mendapati Marci dan Loran berkacak pinggang sambil memperhatikannya.     

Ah.. entah kenapa hal ini mengingatkannya pada saat Xion melatihnya di kapal Coralia dulu. Ia juga disuruh untuk menyerang papan sasaran sebanyak mungkin. Kalau ia berhasil mengenai sasaran sebanyak 200 kali dalam 2 jam, barulah Xion bersedia mengajarinya.     

Setelah cukup lama, barulah Emma dapat melakukannya. Kini, malahan ia dapat mengenai sasaran dengan tepat sebanyak 200 kali dalam waktu satu jam saja. Kemampuannya sudah jauh di atas dulu.     

Sedari tadi, Emma memperhatikan bahwa paling bagus, teman sekelasnya hanya dapat mengenai sasaran sebanyak dua kali dalam waktu lima menit yang disediakan. Dari ini saja, ia dapat menilai bahwa kemampuan mereka semua jauh berada di bawahnya.     

Hmm... sebaiknya, ia juga tidak usah menonjolkan diri di depan mereka? Bukankah ia ke sini untuk belajar? Ia hanya akan menunjukkan kemampuannya yang sebenarnya di depan guru. Kalau di depan teman-temannya, ia tidak usah menarik perhatian.     

"MULAI!" seru Marci.     

Emma mengangguk. Ia mengangkat tangannya dan mengerahkan energi ke telapak tangan kanannya. Setelah memusatkan perhatian kepada sasaran di depannya ia lalu menghantamkan serangan herbomancy ke arah papan sasaran.     

KENA!     

Teman-teman Emma bertepuk tangan karena Emma berhasil mengenai sasaran dalam upaya pertama. Hal ini hampir tidak pernah terjadi sebelumnya. Ia lalu mengerahkan tenaga lagi dan kembali menyerang sasaran.     

MELESET.     

Terdengar suara gumaman di antara murid-murid kelas B. Mereka mulai meragukan kemampuan Emma yang kemarin sempat menyombongkan dirinya sebagai mage Lvl-3. Benarkah ia memang sudah ada di level setinggi itu?     

Mengapa sekarang serangannya tidak tepat sasaran?     

Emma dapat membaca pikiran mereka dan mengerti bahwa sebagian di antara mereka kini mengira ia sengaja berbohong tentang levelnya dan kini menerima akibatnya karena terbukti kemampuannya sama saja dengan mereka.     

Ah, biarlah. Emma tidak terlalu peduli dengan anggapan mereka. Ia tadi sengaja meleset agar skornya tidak terlalu tinggi. Seperti yang sudah ia putuskan, ia akan menyembunyikan kekuatannya yang sesungguhnya agar orang-orang tidak tahu siapa ia sebenarnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.