Putri Dari Akkadia: Cinta Setinggi Langit Dan Bintang

Marci Sang Mentor



Marci Sang Mentor

0Barulah Marci tersenyum.     

"Bagus. Kalau bersamaku, kalian harus bersemangat dan rajin. Aku tidak akan memaafkan kalian kalau kalian gagal memenangkan tantangan itu," kata Marci.     

Emma mengangkat tangannya.     

"Boleh aku bertanya?" tanya gadis itu.     

Marci mengangguk. "Apa yang ingin kau tanyakan?"     

Emma menyilangkan tangan di depan dada dan menatap Marci dengan pandangan menyelidik. "Apa yang membuatmu menawarkan diri untuk menjadi mentor kelas kami? Apakah ada alasan khusus? Apa yang kau peroleh dari ini?"     

"Hahaha... kenapa kau mesti menanyakan itu?" Marci balik bertanya. "Kau curiga kepadaku?"     

"Aku hanya penasaran. Rasanya ini bukan hal yang wajar, seorang senior yang demikian terpandang sepertimu menawarkan diri seperti itu. Jadi, kalau ada maksud tersembunyi di dalamnya, aku ingin tahu agar kami dapat bersiap-siap," kata Emma dengan tenang.     

Ia sudah curiga ketika melihat beberapa kali Marci mengerling ke arah Ylsa sambil tersenyum. Ia menduga Marci sengaja memilih kelasnya untuk membuat Ylsa kesal. Tetapi... kenapa?     

"Oh... kau benar. Aku memang sengaja memilih kalian, bukan karena aku baik hati atau karena aku terkesan dengan kelas kalian," kata Marci. "Aku hanya ingin membuat Ylsa kesal kalau aku bisa membuat kelasmu menang tantangan orientasi."     

"Oh.. kenapa Ylsa akan kesal kalau kami menang tantangan itu?" tanya Emma lagi. "Aku belum melihat apa hubungannya."     

"Nanti kau juga akan tahu," tukas Marci. "Kalau nanti kau tidak juga menyadarinya, maka itu berarti kau bodoh. Kebodohanmu bukan salahku."     

'Memang, orang ini mirip sekali dengan Marlowe,' pikir Emma dalam hati.     

Cara Marci bicara sama ketusnya dengan Marlowe. Ia jadi ingin tahu bagaimana jadinya kalau kedua orang itu bertemu. Apakah mereka akan saling menghina, atau justru akan bersama-sama menghina orang lain?     

Emma mendeham. "Baiklah. Itu cukup adil."     

"Bagus kalau kau mengerti." Marci bertepuk tangan dan menyuruh semua siswa kelas B untuk mendekat. "Sekarang aku ingin kalian semua menyebutkan apa saja kekuatan yang kalian miliki dan di level berapa? Kita perlu memetakan kekuatan kita."     

Haria mengangkat tangannya. "Aku pernah dites sebelum ke sini. Aku seorang cryomancer, tetapi aku tidak tahu ada di level berapa."     

"Hmm... begitu ya? Bagaimana dengan yang lainnya? Apakah kalian tahu ada di level berapa?" Marci melayangkan pandangannya kepada murid -murid yang lain.     

Sebagian besar menggeleng.     

"Kurasa tidak semua orang tahu dengan pasti mereka ada di level berapa," kata Emma. "Bukankah di akademi ada inisiasi siswa baru sebelum kelas dimulai untuk menentukan level kekuatan mereka? Nanti di semester kedua, kelas akan dibagi berdasarkan level kekuatan."     

"Itu benar," kata Marci. Ia menaruh tangannya di pinggang dan mengamati Emma lekat-lekat. "Sepertinya kau tahu banyak."     

"Oh.. aku kebetulan pernah mendengar tentang itu," kata Emma.     

Miri menyikut Emma dan menambahkan. "Apakah kekasihmu juga dulu bersekolah di akademi?"     

Emma memutar matanya mendengar kata-kata Miri. Entah kenapa Miri harus menyinggung tentang kekasihnya segala. Itu tidak ada hubungannya dengan mereka, kan?     

"Aku tidak mau menjawab, karena itu bukan urusan kalian," kata Emma tak acuh.     

Marci tertawa kecil melihat sikap tidak peduli Emma. "Baiklah. Kau pacaran dengan siapa, bukan urusan kami. Kalau begitu apakah kau tahu jenis kekuatanmu dan levelmu sekarang?"     

Emma mengangguk. "Aku adalah seorang herbomancer, level tiga."     

Marci tampak terkesan. "Boleh juga. Walaupun hanya seorang herbomancer, tetapi untuk siswa tahun pertama, levelmu sangat tinggi. Kapan kekuatanmu bangkit?"     

Emma tahu bahwa rata-rata mage di Akkadia menyadari mereka adalah manusia istimewa saat mereka masih kecil, bahkan ada yang masih bayi. Ia juga menduga kekuatannya bangkit saat ia masih kecil.     

Emma ingat sewaktu ia masih kecil dulu, ia sering terbang ke atas pohon apel untuk memetik buahnya, dan membuat ayahnya kuatir setengah mati. Namun, karena Arreya mengunci ingatannya selama belasan tahun, Emma tidak pernah menggunakan kekuatannya hingga ia berumur 17 tahun.     

Lalu.. angka berapa yang harus ia berikan?     

"Aku tidak ingat dengan pasti. Kurasa saat umurku tiga tahun. Tetapi aku hampir tidak menggunakannya. Aku baru aktif menggunakan kekuatanku dan melatihnya setahun yang lalu," kata Emma akhirnya.     

Sejak bertemu dengan Xion dan Therius, barulah Emma mendapat kesempatan untuk berlatih. Sejak ia tiba di Akkadia dan kemudian menikah dengan Therius, Emma selalu rajin berlatih di istana. Tentu saja dengan bimbingan dari guru yang sangat perhatian, kemampuan Emma melesat tajam.     

Teman-teman sekelasnya saling pandang. Memang benar apa kata Marci. Bagi seorang siswa tahun pertama, memiliki level di atas satu sudah dianggap luar biasa karena itu artinya kekuatan mereka sudah dilatih, padahal biasanya mage yang terlahir di antara orang biasa tidak akan mengerti bagaimana cara mengendalikan kekuatannya, apalagi melatihnya.     

Di akademilah mereka akan belajar itu semua. Untuk siswa yang berbakat, level mereka akan naik dengan pesat selama tiga tahun mereka belajar di akademi.     

Seperti halnya Marci. Ia akan lulus sebagai mage Lvl-6 dan ini termasuk sangat langka. Teman-teman seangkatannya banyak yang memulai di Lvl 1 atau 2 dan akan lulus di level 3 atau 4 saja.     

"Wow.. kau tidak bilang bahwa kau sudah di Lvl 3," komentar Miri kepada Emma. "Hebat sekali! Sayangnya kekuatanmu bukan kekuatan offensive yang bernilai tinggi."     

Emma batuk-batuk mendengar perkataan teman sekelasnya ini. Ia tidak mengerti kenapa orang-orang begitu memandang rendah herbomancer. Bukankah semua kekuatan akan menjadi sama berharganya jika digunakan sesuai dengan fungsinya?     

"Baiklah, sudah cukup," kata Marci sambil mengangkat tangannya. Ia lalu menunjuk Miri. "Kalau kau sendiri, siapa namamu dan apa kekuatanmu?"     

Miri tersenyum lebar. "Namaku Miri Callister. Aku adalah seorang necromancer. Levelku... masih satu."     

"Hmm.. begitu ya?" Marci mengangguk. Ia lalu mengarahkan pandangannya kepada yang lain dan satu persatu mereka menyebutkan jenis kekuatan yang mereka miliki dan levelnya. Sebagian besar tidak tahu mereka ada di level berapa.     

"Baiklah. Ternyata di sini dominan pengendali elemen tanah dan air," kata Marci. Ia menggeleng-geleng. "Dan levelnya rata-rata hanya di level 1. Kurasa kalau aku tidak dapat menawarkan diri untuk membimbing kalian, kalian pasti akan menjadi kelompok pertama yang gagal di tantangan ini."     

Di benak Marci, para siswa kelas B lebih cocok menjadi petani. Mereka rata-rata memiliki kekuatan untuk mengolah tanah, bercocok tanam, dan menyiraminya.     

"Baiklah, aku akan memikirkan cara bagaimana bisa memanfaatkan sumberdaya yang ada untuk memenangkan tantangan orientasi minggu ini," kata Marci akhirnya.     

Emma membaca pikiran Ulla untuk mengetahui peta kekuatan kelas A. Ahh.. ternyata di sana lebih banyak siswa yang memiliki kekuatan offensive seperti api dan angin. Mereka tampak sangat percaya diri akan memenangkan tantangan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.