Putri Dari Akkadia: Cinta Setinggi Langit Dan Bintang

Lamaran Therius (1)



Lamaran Therius (1)

0Setelah kuda itu melayang anggun sambil mengepakkan sayapnya beberapa lama di udara, Emma akhirnya menoleh ke belakang dan bertanya, "Kita mau kemana?"     

Tadinya ia mengira Therius hendak mengajaknya bicara di sekitar istananya saja, ternyata pemuda itu membawanya ke tempat lain.     

"Kejutan," kata Therius dengan nada misterius.     

"Apakah tempatnya jauh dari sini?" tanya Emma. "Ingat, kita ada janji dengan Xion jam sembilan malam."     

"Tidak jauh. Tapi sebelum kita ke sana, aku ingin memperlihatkan kotaraja kepadamu," kata Therius. "Bukankah kau ingin keluar istanaku dan menjelajah sekelilingmu? Sekarang aku membawamu berkeliling. Kau bisa melihat-lihat sepuasnya dari atas. Nanti malam kita akan menjelajahinya di darat."     

"Oh..." Emma mengangguk. "Terima kasih."     

Dari sejak ia tiba di Akkadia, Emma memang telah berkali-kali meminta kepada Therius agar diperbolehkan keluar untuk menjelajah sekelilingnya, tetapi sang pangeran selalu melarangnya, dengan alasan situasinya terlalu berbahaya buat Emma. Ia adalah putri seorang pemberontak yang baru dihukum mati, kalau orang-orang tahu siapa dirinya, mungkin mereka akan memburunya untuk dijadikan sandera.     

Emma dapat menerima alasan itu. Tetapi bukan berarti ia menyukai situasinya. Sampai kemarin, tujuan Emma ingin menjelajah keluar adalah agar ia dapat mencari cara untuk melarikan diri bersama Haoran.     

Kini, Haoran telah tiada. Emma sama sekali tidak memiliki alasan lagi untuk pergi dari Akkadia. Langit telah berganti warna menjadi jingga dan pelan-pelan berbagai lampu di ibukota menyala.     

Namun demikian, Emma masih dapat melihat jelas semua bangunan indah yang membentang dari ibukota. Bentuk ibukota Akkadia itu seperti sebuah lingkaran yang sangat besar dan megah.     

Di tengahnya ada kompleks istana raja yang sangat megah, dan di dekatnya ada istana pangeran putra mahkota. Dari batas tembok tinggi berwarna putih, mulai berdiri berbagai bangunan tinggi dan gagah hingga ke ujung kota.     

Di tengah-tengah kota mengalir dua buah sungai cantik. Di dekat istana raja ada sebuah danau kecil. Ia juga melihat berbagai taman besar dan kecil di seluruh penjuru kota.     

Ibukota Akkadia adalah kota terindah yang pernah dilihat Emma. Kekagumannya membuat gadis itu tanpa sadar menahan napasnya.     

Therius dapat merasakan tubuh Emma menjadi relaks dalam pelukannya saat gadis itu mengamati ke sekeliling mereka. Ah, pemandangan ini memang sangat indah. Langit di atas ibukota Akkadia tetap terjaga keindahannya karena yang boleh memiliki pegasus untuk terbang bepergian dibatasi hanya untuk bangsawan dan orang-orang tertentu yang memiliki izin.     

Kendaraan terbang seperti travs pun diatur alur lalu lintasnya, hanya untuk bangsawan dan pegawai penting pemerintah, sehingga tidak banyak kendaraan terbang yang melayang di atas ibukota Akkadia.     

Mereka dapat menikmati pemandangan tanpa hambatan, karena malam ini Therius telah memerintahkan Avato untuk melarang siapa pun terbang di atas ibukota. Malam ini, langit hanya miliknya dan Emma Stardust.     

"Kau suka pemandangannya?" bisik Therius saat mereka telah mengitari beberapa taman, lalu melayang di atas istana raja. Di atas danau cantik yang terletak di samping istana Raja Cassius ada ratusan burung amfibi seperti angsa berwarna perak yang berenang-renang dengan gembira. Mereka masih dapat melihatnya dengan pencahayaan dari lampu-lampu di sekitar istana dan lembayung senja.     

"Ini bagus sekali," Emma mengaku. "Aku belum pernah melihat tempat secantik ini..."     

"Hmm..." Therius mengangguk puas. "Aku sudah membicarakan kepada kakekku tentang rencana pernikahan kita dan ia setuju untuk memberikan restunya sekaligus hadir menjadi saksi. Lalu... aku berencana membunuhnya setelah pernikahan selesai. Bagaimana pendapatmu?"     

Emma mengerutkan keningnya. Ia menoleh ke belakang dan tak sengaja wajahya bertemu wajah Therius yang dekat sekali dari telinganya, karena tadi berbisik kepadanya.     

Untuk sesaat kedua pasang mata mereka bertatapan.     

"Kenapa tiba-tiba kau ingin segera membunuh kakekmu? Tadinya kupikir kau akan melakukannya setelah kita pulang dari Thaesi?" tanya Emma.     

"Kakekku sudah hampir sembuh dari penyakitnya. Kalau sampai ia sembuh total, orang-orang akan curiga kalau ia tiba-tiba mati. Kurasa aku tidak boleh membuang waktu," kata Therius, berbohong.     

Ia sama sekali tidak mau membahas tentang wanita lain saat ia sedang bersama Emma. Ia tak mau gadis itu mengetahui bahwa kakek dan neneknya memaksa Therius untuk memiliki dua istri.     

Kalau sampai Emma mendengarnya, Therius yakin gadis itu akan sangat marah, dan hilanglah sudah semua kesempatan Therius untuk bisa menjadikan Emma sebagai istrinya. Ia tidak boleh mengambil risiko.     

"Hm.. begitu, ya? Kalau kau dapat melakukannya tanpa menimbulkan kecurigaan... maka aku akan mendukungmu," kata Emma.     

"Terima kasih. Aku hanya ingin memberitahumu, agar besok kau tidak kaget," kata Therius.     

"Hmm..." Emma mengangguk.     

"Satu hal lagi," kata Therius. "Karena aku akan segera menjadi raja. Aku ingin kau menentukan apakah nanti setelah kita menikah dan aku menjadi raja, kau ingin kita tinggal di istanaku, atau kita pindah ke istana raja sekarang? Kau sudah melihat-lihat keduanya, kan? Mana yang kau sukai?"     

Emma tertegun mendengar pertanyaan ini. Entah kenapa dadanya berdebar-debar karena lelaki di belakangnya memeluk pinggangnya dengan erat. Therius bersikap seperti calon suami pada umumnya yang menanyakan kepada calon istri mereka, di mana mereka ingin tinggal.     

Dalam hal ini Emma menghargai sikap Therius yang memutuskan untuk bertanya dulu kepadanya dan meminta pendapatnya, alih-alih memutuskan sendiri.     

Emma telah melihat kedua kompleks istana itu dengan sepintas lalu. Ia telah hampir dua minggu tinggal di istana Therius, dan ia telah mendatangi istana raja Cassius untuk makan malam. Ia juga telah melihatnya dari udara dan mengetahui sebesar dan semegah apakah kompleks istana raja tersebut.     

Kalau ia harus memilih?     

"Aku tidak mau tinggal di tempat musuh orang tuaku. Sampai kapan pun aku tidak mau tinggal di istana raja dan ratu Akkadia yang telah membunuh ayahku..." kata Emma tegas.     

Therius mengangguk. "Sudah kuduga."     

"Kau sudah menduganya?" tanya Emma keheranan.     

"Benar. Karena itu aku sudah memerintahkan ajudanku, Avato untuk mencarikan arsitek untuk merenovasi istanaku agar layak menjadi istana raja. Istana kakekku akan kualihfungsikan untuk menjadi tempat kerjaku. Kurasa itu lebih baik. Bagaimana pendapatmu?" tanya Therius sambil tersenyum.     

"Aku suka itu," kata Emma. Ia merasa bersyukur karena Therius bersikap sangat baik kepadanya. Emma sendiri tidak mengerti kenapa sang putra mahkota begitu mencintainya. Terlihat dari cara ia memperlakukan Emma selama ini.     

Emma memang tidak atau belum mencintai Therius, tetapi ia telah menganggap pemuda ini sebagai temannya, ditambah lagi mereka memiliki hubungan yang saling menguntungkan.     

"Aku senang kalau kau menyukainya," jawab Therius.     

Keduanya tidak berkata apa-apa lagi. Baik Therius, maupun Emma, bukanlah orang ekstrovert yang banyak bicara atau merasa harus mengisi kesunyian dengan kata-kata, seperti Xion.     

Kalau sampai suasana menjadi hening, Xion akan merasa seolah ada yang salah dan ia akan seperti cacing kepanasan yang harus mencairkan suasana. Tetapi Therius dan Emma terlalu mirip. Bagi mereka, kesunyian itu tidak selalu buruk. Kalau memang tidak ada yang perlu diucapkan, maka mereka akan merasa baik-baik saja duduk diam tanpa bicara.     

"Lihat... bulannya sudah muncul," cetus Emma tiba-tiba. Senja telah menghilang berganti malam, dan di langit mereka telah melihat satu demi satu bulan Akkadia muncul menghias angkasa malam.     

Emma menahan napas saat melihat tiga buah bulan berwarna merah, kuning dan oranye di angkasa malam. Ketiga bulan itu memiliki ukuran berbeda-beda, tetapi karena massanya hampir sama, dan jaraknya berbeda-beda dari planet Akkadia, tidak ada yang dapat memiliki kekuatan gravitasi lebih besar dan memengaruhi yang lain.     

Sungguh pemandangan yang menggetarkan hati.     

"Hmm.. aku mau membawamu ke sebuah tempat yang sangat bagus untuk memandang bulan," kata Therius. "Tempat favoritku untuk merayakan festival Tiga Bulan Api."     

"Oh..." Emma mengangguk. ia memang sudah ingin mendarat dan duduk di suatu tempat untuk mengagumi ketiga bulan Akkadia itu. Therius menyentuh leher Phalia dan tidak lama kemudian, pegasus itu mengepak-kepakkan sayapnya dengan lebih kuat dan melaju ke arah barat.     

Tidak lama kemudian ia mendarat anggun di puncak sebuah bukit kecil yang dipenuhi rumput tinggi dan sebuah pohon besar dengan dahan-dahan rindang. Di bawah pohon itu terdapat sebuah bangku taman yang seolah disediakan untuk mengamati pemandangan kotaraja di bawahnya.     

Therius melompat turun dari Phalia lalu membantu Emma turun. Ia lalu menarik tangan gadis itu untuk duduk di bangku taman.     

"Tempat ini bagus sekali," kata Emma. "Kita bisa melihat seluruh kotaraja dari bukit ini."     

"Ini adalah tempat favoritku untuk melarikan diri dari guru-guruku saat aku masih kecil," kata Therius sambil tersenyum. "Nenek sangat keras dengan pendidikanku. Ia mempekerjakan guru-guru terbaik dan mereka sering membuatku stress. Untuk menenangkan diri, aku dulu sering kemari. Karena mereka tidak bisa terbang, biasanya mereka tidak bisa mencariku sampai ke sini."     

"Oh.. begitu ya?" Emma menatap Therius dengan penuh perhatian. Sepertinya, pelan-pelan Therius mulai membagikan hidup kepadanya. Emma sudah menyadari bahwa Therius tidak memiliki kehidupan yang mudah walaupun ia adalah seorang pangeran, bahkan putra mahkota.     

Sejak kecil ia telah kehilangan orang tuanya, ia juga harus menghadapi berbagai intrik dalam istana. Dan sepertinya... sejak dulu, Therius adalah orang yang kesepian. Temannya hanyalah Xion itu saja.     

Pelan-pelan Emma mulai merasa simpati kepada pemuda itu. Ia mengangkat tangannya dan menyentuh pipi pemuda itu. Therius menyentuh tangan Emma yang mengusap pipinya dan memejamkan mata.     

Setelah ia membuka matanya, ia menarik tangan Emma dari pipinya lalu bersimpuh di depan gadis itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.