Putri Dari Akkadia: Cinta Setinggi Langit Dan Bintang

Mengucap Selamat Tinggal (2)



Mengucap Selamat Tinggal (2)

0"Tempat ini indah sekali," bisik Emma. Matanya menatap kagum ke bawah mereka dan melihat berbagai tanaman besar dan kecil yang sangat menarik perhatiannya.     

Therius mengerti bahwa Emma memiliki ketertarikan khusus terhadap tanaman karena ia adalah seorang herbomancer. Dan ia menduga Emma juga mewarisi kecintaan Kaoshin terhadap tanaman.     

Mereka tiba di tempat yang dimaksud Therius saat matahari Akkadia sudah tinggi di angkasa. Travs yang membawa Emma dan Therius berhenti di depan sebuah bangunan besar dengan taman cantik serba hijau di sekelilingnya.     

"Kalian semua tinggal di sini," kata Therius kepada semua pengawalnya. Mereka segera membungkuk hormat. Sebagian berjaga di depan bangunan itu. Sebagian lagi berpencar ke sisi lain untuk mengamankan situasi.     

Therius menggandeng Emma dan berjalan masuk ke dalam. Emma dapat segera menduga bahwa tempat ini bukanlah rumah sakit biasa, melainkan tempat perawatan khusus untuk pasien jangka panjang. Mirip sanatorium kalau di bumi.     

Entah kenapa, saat ia melangkah masuk ke dalam, kakinya tiba-tiba terasa begitu lemah. Emma merasa seolah kekuatannya menghilang dan ia tidak sanggup lagi melangkah.     

"Kau tidak apa-apa?" tanya Therius dengan nada kuatir. Ia dapat merasakan tubuh Emma gemetar dan kakinya mulai berjalan terhuyung. "Kau mau kugendong?"     

Ia sudah bersiap hendak membopong Emma, tetapi gadis itu mengangkat tangannya, memberi tanda agar Therius tidak melakukan niatnya. Emma menggeleng pelan. Ia lalu memejamkan matanya dan berusaha menguatkan diri.     

Setelah ia berhasil menenangkan diri, Emma kembali berjalan.     

Semakin dekat mereka dengan ruangan yang dituju, semakin besar kesedihan yang melingkupi hati Emma. Therius mengerti apa yang dirasakan gadis itu dan ia sama sekali tidak berkata apa-apa. Tidak ada satu pun kalimat penghiburan yang akan dapat membuat Emma merasa lebih baik. Ia tahu itu.     

"Selamat datang, Yang Mulia." Natan muncul dari ujung lorong dan menyambut mereka. Wajahnya tampak berseri-seri. "Kebetulan sekali Anda datang..."     

Emma keheranan melihat ekspresi Natan yang menurutnya tidak wajar ini. Mengapa ia terlihat gembira? Ia tampak seperti dokter yang hendak menyampaikan kabar gembira.     

Emma merasakan dadanya seketika menjadi berdebar-debar.     

Apakah Natan memiliki kabar gembira tentang Haoran? Tidak mungkin!     

"Aku ingin menjenguk Haoran," kata Emma pelan. "Di mana ia dirawat?"     

"Silakan ikut saya. Kami menempatkan teman Anda di ruangan khusus yang menghadap ke lembah. Pemandangannya cantik sekali. Perawat juga memberinya fisioterapi setiap hari untuk memastikan ia tidak mengalami kaku otot. Anda pasti akan sangat senang mendengar berita ini..." kata Natan. Suaranya terdengar antusias.     

Therius dan Emma serentak menghentikan langkah mereka. Keduanya tampak sangat terkejut. Rupanya benar dugaan mereka... ekspresi gembira Natan ini ada hubungannya dengan Haoran!     

Apakah.. apakah kondisi Haoran membaik? Benarkah itu?     

Emma tak berani berharap. Kepalanya terasa pusing seketika.     

"Berita apa?" tanya Emma dengan suara tercekat. Dadanya menjadi sangat sesak.     

"Setelah dirawat di sanatorium ini seminggu, kami barusan menemukan ada peningkatan aktivitas otak. Saya baru saja hendak melaporkannya kepada Yang Mulia," kata Natan dengan gembira. "Seperti yang pernah saya katakan dulu, alat-alat kita bisa mendorong terjadinya neurogenesis pada otak teman Anda. Tadinya kami mengira prosesnya akan terjadi lama sekali, mungkin perlu waktu bertahun-tahun baru kita bisa melihat hasilnya. Tapi ternyata ini lebih cepat dari dugaan saya. Mungkin kondisi planet kita yang jauh lebih baik dari planet asalnya dan memiliki kadar oksigen yang lebih kaya telah memberi kontribusi pada penyembuhannya."     

Tanpa sadar, Emma telah berjalan sangat cepat menyusuri lorong. Otaknya menolak bekerja. Kakinya telah melangkah dengan sendirinya menyusuri lorong sanatorium. Ia bahkan tidak menunggu hingga Natan selesai bicara. Di kepalanya hanya terngiang kata-kata bahwa kondisi Haoran mengalami kemajuan.     

Suara gadis itu terdengar serak saat ia bertanya kepada Natan,"Di mana ruangan Haoran?"     

Natan berjalan cepat menjajari langkah Emma yang tampak panik. Ia segera menunjukkan jalannya.     

Sementara itu, Therius berdiri di tempatnya, membeku bagaikan patung es. Ia sama sekali tidak menduga, ketika Emma telah menerimanya dan bersedia menikah dengannya, kondisi Haoran tiba-tiba mengalami kemajuan.     

Mengapa ini bisa terjadi? Ia sangat mengetahui kondisi kesehatan pemuda itu di saat pertama mereka bertemu. Ia tahu Haoran akan mengalami pecah pembuluh darah di otak yang akan membahayakan jiwanya. Therius tahu, hidup Haoran hanya tinggal menunggu waktu.     

Karena Therius menginginkan Emma untuk dirinya sendiri, maka ia sengaja mendiamkan informasi itu.     

Ia menjadi seorang penonton yang menunggu saatnya Haoran meninggalkan dunia ini. Namun, ternyata hal itu tidak semudah yang ia bayangkan. Haoran mengalami kerusakan otak parah dan masuk dalam keadaan koma, tetapi Emma tetap menolak melepaskannya.     

Gadis terus berusaha mencari segala macam cara untuk memulihkan Haoran, hingga akhirnya mereka berdua terdampar bersama di Akkadia. Emma bersikeras menolak pulang ke Akkadia kecuali Haoran ikut.     

Itulah sebabnya Therius terpaksa memutuskan untuk membawa Haoran bersama mereka. Ia berharap suatu hari nanti Emma akan dapat menerima kenyataan dan merelakan Haoran pergi.     

Bagaimanapun, dengan kondisinya separah sekarang.. Haoran sudah tidak dapat disebut hidup. Sudah seharusnya Emma mengucapkan selamat tinggal dan merelakan Haoran.     

Namun... mengapa tiba-tiba Natan harus menemukan peningkatan aktivitas otak? Kenapa ia harus kembali memberi Emma harapan? Mau sampai kapan Emma diombang-ambingkan ketidakpastian seperti ini? Therius tidak dapat membiarkan Emma menderita karena selalu diberi harapan-harapan palsu.     

Sang pangeran memejamkan mata dan menarik napas panjang. Setelah ia berhasil menguasai diri, ia lalu berjalan menuju ke ruang perawatan tempat tadi Emma dan Natan masuk.     

Di dalam ruangan besar itu ia melihat ada sebuah tempat tidur kapsul dengan seorang pemuda tampan terbaring di dalamnya. Seluruh tubuh pemuda itu tampak tersambung ke berbagai mesin pendukung kehidupan.     

Kalau tidak ada mesin-mesin itu, orang akan mengira sang pemuda di dalam kapsul sedang tertidur belaka. Tubuhnya tampak sehat, kulitnya pun terlihat segar, dan wajahnya seolah sedang tersenyum.     

Therius harus mengakui bahwa Haoran tampak seperti pangeran tidur. Ia sangat tampan. Setelah terbaring koma selama hampir tujuh bulan, kini rambutnya pun telah tumbuh panjang hingga ke bahu. Haoran kini terlihat seperti orang Akkadia.     

"Emma..." Therius berjalan mendekati Emma yang berdiri membeku di samping kapsul tersebut. Wajah gadis itu tampak dirembesi air mata yang mengalir tidak henti-hentinya. Kedua tangannya gemetar.     

Natan pun ternyata berdiri kaku dengan tubuh seolah beku. Di wajahnya tampak gabungan ekspresi shock dan kecewa sekaligus. Sepasang matanya membulat besar, terarah pada mesin di samping kapsul yang memiliki sebuah layar. Di layar tersebut tampak sebuah garis lurus yang bergerak konsisten.     

"Pasien... pasien sudah meninggal," bisik Natan dengan suara tercekat. "Maafkan saya, Yang Mulia. Seharusnya saya tidak memberikan harapan seperti tadi."     

Emma sudah tidak sanggup meraung dan menangis seperti yang seharusnya. Selama seminggu terakhir ia telah menangis banyak sekali hingga matanya menjadi sakit dan bekas air mata di pipinya tidak dapat hilang.     

Gadis itu hanya terdiam membeku seperti patung es. Semua indranya tidak lagi bekerja. Ia tak dapat mendengar apa-apa. Pandangannya juga kabur tertutup air mata. Dan ia sama sekali tidak dapat merasakan Therius memeluk pinggangnya.     

"Mungkin... apa yang terjadi barusan... adalah nyala api terakhir sebelum lilin itu padam," kata Natan dengan sedih.     

Sebagai seorang dokter, ia telah terbiasa menyaksikan betapa pasien-pasien yang kondisinya kritis atau terminal akan terlihat membaik untuk sesaat, tetapi kemudian kondisi mereka langsung memburuk dan tiba-tiba meninggal.     

Mungkin ini yang terjadi barusan, pikirnya. Ia sungguh merasa sangat menyesal telah terburu-buru mengatakan tentang kemajuan sang pasien. Emma pasti buru-buru masuk karena mengira temannya memang mengalami kemajuan dan akan dapat sembuh. Tetapi nyatanya... saat mereka masuk ke ruangan ini, hanya garis datar itu yang ia temui.     

Natan merasa sangat menyesal. Seandainya tadi ia menunggu dan menutup mulutnya, mungkin situasinya tidak akan memedihkan seperti sekarang ini.     

"Saya... turut berduka," bisik Natan.     

Emma tidak mendengar suara sang dokter. Ia tidak dapat mendengar apa pun. Pikirannya kosong dan otaknya menolak bekerja. Ia datang ke sanatorium ini untuk mengucap selamat tinggal. Ia mengira ia sudah sanggup merelakan Haoran dan membiarkannya pergi.     

Tapi ternyata... saat garis datar itu terlihat menyambut langkahnya, Emma menyadari ia tidak sekuat yang ia kira. Ia belum serela itu membiarkan Haoran pergi.     

Ia terpaku di tempatnya, menolak bereaksi.     

Di kepalanya terbayang kembali semua yang dialaminya bersama Haoran. Ia tak pernah dapat melupakan ketika pemuda itu terjun dari dahan pohon dan menyapanya. Lalu mengajaknya berkeliling sekolah. Ia lalu membantu Emma pergi ke Paris.     

Di sana ia memberi Emma hadiah ulang tahun berupa lukisan ayah dan ibunya. Emma sangat sedih karena lukisan itu tertinggal di bumi.     

Ia dan Haoran mengalami begitu banyak hal bersama. Ia adalah cinta pertama Emma. Haoran adalah cinta sejati Emma. Emma berjuang keras untuk menyelamatkan Haoran. Tetapi pada akhirnya ia kalah.     

Dan kini... Haoran akhirnya pergi.     

Emma tidak merasakan tubuhnya terhuyung jatuh. Seandainya tidak ada Therius yang menahannya, ia pasti telah membentur lantai dengan sangat keras.     

"Emma..." Therius buru-buru mengangkat tubuh Emma dengan kedua tangannya. Wajahnya tampak dipenuhi kedukaan. Ia membopong tubuh Emma keluar dari kamar perawatan. Sebelum ia mencapai pintu, ia menoleh ke arah Natan yang masih termenung di tempatnya. "Kami akan kembali untuk pemakaman. Tolong persiapkan semuanya."     

Natan tergugah dari lamunannya dan segera mengangguk lemah. Ia hendak mengantar sang pangeran keluar sanatorium, tetapi perasaannya terlalu kacau untuk bahkan dapat memikirkan hal itu.     

Akhirnya ia membiarkan saja Therius pergi sementara ia hanya bisa berdiri di tempatnya sambil memikirkan apa yang sudah terjadi.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.