Putri Dari Akkadia: Cinta Setinggi Langit Dan Bintang

Penantian Dua Puluh Tahun



Penantian Dua Puluh Tahun

0Xion hendak memukul Therius karena ia sangat kesal, tetapi sebelum ia dapat melakukannya, ia mendengar suara Emma mengeluh dan kemudian bulu matanya mengerjap-kerjap, lalu gadis itu pun membuka matanya.     

Tangan Xion yang sudah melayang hendak memukul Therius, terhenti di udara. Ia serentak menghampiri Emma dan berlutut di kaki tempat tidur.     

"Kau sudah bangun?" tanyanya dengan suara cemas. Sikapnya ini membuat Therius menyipitkan matanya. Ia merasa tidak senang karena Xion mendekati Emma. Ia sudah tahu bahwa Xion juga mencintai Emma.     

Namun demikian, ia tidak mau memaksa Xion pergi agar Emma hanya memperhatikan dirinya. Bagaimanapun mereka bertiga adalah teman dan ia tahu Xion pasti sangat menguatirkan Emma.     

Emma membuka matanya dan mengernyitkan keningnya keheranan. Ia menoleh ke arah Xion yang menatapnya dari samping dengan ekspresi sangat cemas. Gadis itu meneteskan air mata, tetapi wajahnya pelan-pelan tersenyum.     

Ia mengangkat tangannya dan mengusap wajah Xion. Ia ingat apa yang telah terjadi. Xion adalah Time Master dan sang pengendali waktu telah membawanya ke masa lalu, untuk memenuhi permintaan Emma yang sangat ingin bertemu kembali dengan orang tuanya.     

Walaupun ia merasa sangat sedih dan terluka akibat kematian ayah dan ibunya, tetapi dengan melihat mereka secara langsung dan berkesempatan memeluk mereka untuk terakhir kalinya, Emma merasa ia memperoleh penghiburan yang dapat membuat luka di hatinya menjadi tidak terlalu sakit seperti sebelumnya.     

Ia merasa sangat berterima kasih kepada Xion. Namun, saat sepasang mata topaznya menatap mata ungu pemuda itu, Emma merasakan dadanya berdebar.     

Ada sesuatu di mata Xion yang membuatnya tidak dapat melepaskan pandangannya. Apakah yang dirasakan Xion saat ini? Mengapa ia menatap Emma dengan ekspresi seperti itu?     

"Xion... terima kasih," bisik Emma dengan suara penuh haru. "Karena kau.. aku dapat bertemu orang tuaku..."     

Xion tersenyum dan mengangguk. Ia mengusap rambut Emma dan tanpa sadar menahan napasnya. Ia tahu Emma sangat cantik, tetapi rasanya, baru kali ini ia mengagumi kecantikan gadis itu secara terbuka.     

Xion menatap Emma lekat-lekat, seolah memetakan wajah gadis itu di benaknya. Ia tahu, sebentar lagi ia harus pergi dan tak dapat melihat Emma lagi. Ia tidak boleh berlama-lama di kotaraja karena hatinya tidak akan sanggup menyaksikan Emma menikah dengan Therius dan membangun keluarga bersamanya.     

"Aku sudah bilang, kan... aku akan mengabulkan satu permintaanmu," bisik Xion dengan suara serak. Ia ingin sekali memeluk Emma, tetapi ia berusaha keras menahan diri.     

Emma mengangguk haru. Ia memegang tangan Xion yang mengusap rambutnya dan menggenggamnya erat. "Kau memenuhi janjimu.. Terima kasih."     

Mendengar itu Xion tersenyum semakin lebar. "Aku memang bisa dipegang janjinya.. tidak seperti kau."     

Emma mengerucutkan bibirnya dan memukul tangan pemuda itu, tidak keras, hanya bergurau.     

"Kau ini...!" tukasnya. Sesaat kemudian, Emma meraba pakaiannya yang berdarah dan kemudian bahu kanannya yang terluka. "Kupikir aku tadi terluka cukup parah, kenapa aku sudah membaik? Apakah aku sudah tidur cukup lama?"     

Xion mengerling ke arah Therius dengan pandangan tajam. Seharusnya Therius membuka saja rahasianya sebagai sanomancer dan menyembuhkan Emma sepenuhnya. Bukankah Therius mencintai Emma? Kenapa ia tega membiarkan Emma menderita sakit akibat lukanya?     

Memikirkan ini kembali membuat Xion kesal. Seandainya saja ialah sang sanomancer, tentu ia akan langsung menyembuhkan Emma.     

Therius buru-buru tersenyum dan menggeleng. "Lukamu tidak parah kok Pisau penjahat itu tidak menusuk terlalu dalam. Sebentar lagi seharusnya kau bisa sembuh."     

Emma mengerutkan keningnya keheranan. Ia mencoba bangkit duduk dan mengamat-amati tubuhnya. Ketika tangannya meraba ke lehernya, tiba-tiba saja gadis itu mendesah kaget.     

"Ada apa?" tanya Therius cemas. "Kau sakit di mana lagi?"     

Emma menggeleng-geleng panik. Ia meraba semua lipatan pakaiannya dan seketika ia menjadi sangat sedih.     

"Cincinku..." Ia menekap bibirnya dan kembali menangis. "Cincinku hilang..."     

Xion mengerling ke leher Therius. Ia mengerti apa yang terjadi. Pasti cincin Emma hilang di masa lalu dan ditemukan Therius yang menyimpannya selama lebih dari dua puluh tahun.     

"Cincinmu kan ada di jarimu?" tanya Xion dengan penuh perhatian. Ia menunjuk jari lentik Emma yang tampak masih mengenakan cincin topaznya.     

Gadis itu menggeleng. "Bukan yang ini... tetapi cincin Haoran."     

Emma kembali meraba lehernya yang polos tanpa hiasan apa pun. Suaranya terdengar sangat sedih ketika ia menjelaskan maksud perkataannya.     

"Aku menaruhnya sebagai gantungan di leherku. Aku tidak mau benda itu hilang," kata Emma dengan sedih. "Kurasa talinya putus ketika mereka menusukku dengan pisau. Sekarang cincin itu hilang..."     

Sejak Therius meminta Emma menyembunyikan cincin pernikahannya dan Haoran agar tidak menimbulkan kecurigaan orang lain, Emma memutuskan untuk menyimpan cincin Haoran sebagai gantungan kalung kulit di lehernya, agar ia dapat selalu memakai cincin itu tanpa terlihat orang lain.     

Tetapi tiba-tiba saja saat ia sadar dari pingsannya barusan, Emma menyadari bahwa benda itu sudah tidak menggantung di lehernya. Ia merasa sangat sedih karena cincin milik Haoran yang menjadi pasangan cincinnya tertinggal di masa lalu dan kemungkinan sekarang sudah hilang.     

Melihat Emma tampak sangat berduka, Therius buru-buru menyentuh tangan gadis itu dan mengusapnya lembut.     

"Sshh... benda itu tidak hilang," katanya sambil tersenyum. Ia menatap Emma lama sekali dan kemudian pelan-pelan ia membuka kancing atas pakaiannya, menunjukkan sebuah kalung bertali kulit yang menyimpan sebuah cincin putih dengan hiasan batu topaz berwarna biru. "Aku... menyimpannya untukmu."     

Emma serentak mendesah tertahan saat ia melihat benda yang menggantung di leher Therius itu. Ia sama sekali tidak tahu Therius menyembunyikan cincinnya selama ini di lehernya. Ia ingat di Daneria ia pernah melihat Therius membuka pakaiannya saat hendak berenang di sungai, tetapi cincin itu tidak ada.     

"Aku sengaja tidak pernah menunjukkannya kepadamu. Aku takut kau kaget," kata Therius seolah dapat membaca pikiran Emma. "Aku sudah menyimpannya selama 21 tahun."     

Ia membuka pengait kalungnya dan melepaskan talinya untuk mengambil cincin itu. Therius lalu menyerahkannya ke tangan Emma. Gadis itu terbelalak melihat bahwa cincin yang ditaruh Therius di tangannya memang benar-benar cincin Haoran yang selama ini ia kalungkan di lehernya.     

Ia menatap Therius dengan pandangan tidak percaya.     

"Ba-bagaimana bisa?" tanya gadis itu bingung. "Aku tidak mengerti..."     

Ia lalu menatap Xion dengan pandangan kebingungan. Bagaimana bisa??     

Therius tersenyum geli melihat wajah bingung Emma yang menurutnya menggemaskan. "Sshh... ini sebenarnya sangat sederhana. Setelah kau pergi, aku menemukan cincinmu terselip di pakaianku. Kurasa benda itu jatuh saat kau memelukku setelah penjahat-penjahat itu melukaimu. Aku langsung menduga itu adalah milikmu karena aku ingat kau memiliki cincin yang sama di jarimu."     

"Kau.. menyimpannya begitu lama?" tanya Emma dengan nada tidak percaya. "Kenapa?"     

"Karena kau adalah penyelamatku..." jawab Therius lembut. "Karena kau... aku menjadi orang yang lebih tabah, dan aku tumbuh menjadi orang yang kuat, seperti apa yang kau nasihatkan."     

Emma menekap bibirnya dan menggeleng-geleng. Mengapa jadi begini? Apakah ia mengubah sesuatu di masa lalu sehingga Therius menjadi berubah?     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.