Putri Dari Akkadia: Cinta Setinggi Langit Dan Bintang

Keadaan Yang Sangat Gawat



Keadaan Yang Sangat Gawat

"Apa perlunya kau menanyakan siapa aku?" tanya Emma berusaha mengulur waktu. "Lepaskan anak itu. Kita bisa menyelesaikan ini di antara kita saja."     

"Cih.. kau pikir aku bodoh?" ejek lelaki itu. "Aku akan menghitung hingga tiga. Kalau kau tidak menjawab, maka anak ini akan mati."     

"Kakak.. jangan perdulikan aku." Tiba-tiba terdengar suara Therius kecil mengagetkan Emma. Anak lelaki itu menatapnya dengan sungguh-sungguh dan berusaha tersenyum. "Aku sudah tidak punya siapa-siapa di dunia ini... kalau.. kalau aku mati... aku akan senang. Kau.. tahu itu kan?"     

"Therius..." Emma merasakan dadanya sesak ketika melihat Therius kecil yang tampak pasrah dan siap mati. Ia tidak mengira masa lalu Therius sangat menyedihkan. Dengan membaca pikiran anak itu, Emma dapat segera mengetahui apa yang terjadi kepadanya selama ini.     

Anak laki-laki itu sama sekali tidak punya keinginan hidup lagi setelah ia mengetahui ibunya meninggal bunuh diri karena patah hati akibat kematian ayahnya. Sejak ia dibawa tinggal di istana, ia tidak memiliki teman dan selalu menjadi sasaran penindasan sepupu-sepupunya yang iri kepadanya.     

Therius mengalami duka yang berkepanjangan setelah kematian orang tuanya. Orang-orang yang melihatnya diam dan menutup diri tidak mengira ia menyimpan sendiri semua rasa duka dan kesepiannya.     

Mereka hanya mengira ia adalah anak yang pemalu dan pendiam yang senang menyendiri, padahal yang sebenarnya ia sama sekali tidak memiliki keinginan untuk hidup dan bahkan mencoba bunuh diri beberapa kali.     

"Therius... mati itu mudah," kata Emma kemudian dengan sungguh-sungguh sambil menatap Therius kecil dengan wajah dipenuhi kesedihan. "Tetap hidup... itu sangat sulit."     

Tanpa sadar air mata yang telah kering kembali mengambang di pelupuk mata Emma. Ia sendiri ingat betapa hancur hatinya saat mengetahui ibunya meninggal beberapa jam yang lalu. Rasanya... ia tidak ingin hidup lagi.     

Setelah Haoran meninggal, mengikuti ayahnya.. lalu kemudian ibunya... Semua itu terasa begitu berat baginya. Emma mengerti rasanya tidak ingin hidup lagi. Sehingga ia mengerti apa yang dirasakan anak ini.     

Namun, ia harus dapat membuat Therius kecil berubah. Kalau anak itu terus memikirkan kematian.. maka masa depan akan berubah. Ia tidak boleh mati. Kalau ia mati sekarang.. ia tidak akan tumbuh dewasa, ia juga tidak akan bertemu Xion di akademi dan kemudian pergi ke bumi untuk menjemput Emma pulang.     

Jika Emma kembali ke masa depan, semuanya akan berubah. Ia bahkan tidak tahu apakah ada masa depan yang dikenalnya.     

"Kesedihan yang kau rasakan ini hanya sementara... Sama seperti kebahagian tidak berlangsung selamanya, kesedihan juga akan berlalu. Suatu hari nanti, kau akan dapat merelakan kepergian orang tuamu.. dan kau akan bahagia," kata Emma dengan suara bergetar. "Kau harus menjadi kuat, agar tidak ada yang dapat mengganggumu. Kau harus menjadi kuat.. agar kau dapat melindungi yang lemah... Kau harus menjadi kuat, agar kau dapat menegakkan keadilan."     

Therius kecil tampak terpesona mendengar kata-kata yang diucapkan Emma dengan sangat bersungguh-sungguh. Ia menggigit bibirnya dan membuang muka.     

"Sudah selesai berpamitannya?" tanya laki-laki yang mencengkram Therius dengan senyum mengejek. "Sekarang kau rasakan pembalasanku karena tadi kau sudah memukulku!"     

Ia mengangguk ke arah tiga rekannya dan mereka mengangguk balik. Dengan pisau terhunus, mereka kembali berjalan mendekati Emma.     

"Kau sudah mengganggu pekerjaan kami, gadis brengsek. Saat kau menerima akibatnya karena sok ikut campur!"     

Emma mengangkat kedua tangannya bersiap menghadapi serangan ketiga orang penjahat itu, tetapi lelaki yang menangkap Therius segera mengancamnya dengan suara keras.     

"Kalau kau melawan maka anak ini akan mati...!" serunya sambil menggores leher Therius dengan pisaunya.     

Jantung Emma seakan hendak berhenti berdetak ketika mendengar ancaman lelaki itu. Ia memaki dirinya sendiri yang hanya seorang telemancer tingkat tiga. Ia tidak dapat mengendalikan pikiran para penyerangnya untuk mengalah karena dua di antara mereka adalah mage tingkat dua. Ia tidak cukup kuat untuk mengontrol mereka.     

Seandainya ia sekuat Therius dewasa, tentu menghadapi ancaman seperti ini ia tidak perlu kuatir sama sekali. Therius akan dapat dengan mudah menghadapi mereka tanpa harus bertarung.     

Emma menggigit bibirnya hingga berdarah. Ia terpaksa menyerah. Apa pun yang terjadi... ia tidak boleh membiarkan mereka menyakiti Therius. Ia harus mengulur waktu.     

'Tolong aku. Xion.. kau di mana? Apakah kau dapat mendengarku? Tolong kami...'     

Emma berusaha memanggil Xion dengan telemancy. Ia berharap Xion tidak terlalu jauh dan dapat mendengarnya. Kalai Xion ada di sini, begundal-begundal itu tidak punya kesempatan sama sekali..     

Ia pelan-pelan menurunkan tangannya dan mengangguk. "Baiklah... aku tidak akan melawan. Tapi lepaskan anak itu! Kalau kau tidak melepaskannya, aku tidak punya jaminan bahwa kalian tidak akan membunuhnya."     

Emma tahu penjahat itu tidak berniat melepaskan Therius karena mereka dendam kepada ayahnya. Baik ia melawan atau tidak, mereka akan tetap membunuh Therius.     

Karena itu, ia harus memastikan pengorbanannya tidak sia-sia. Apa pun yang terjadi, Therius tidak boleh mati. Kalaupun mereka tidak melepaskan Therius, ia akan mengulur waktu dan mencari cara untuk melepaskan anak itu, sambil berharap ada yang mendengarnya dan datang menolong.     

"Heh... kau tidak punya hak untuk mengatur kami di sini ya," kata penjahat yang menangkap Therius. "Kalau tidak mau melihat anak ini mati sekarang, kau jangan melawan!"     

'Pangeran... aku akan melepaskanmu. Ini akan sakit sedikit, tetapi kuharap kau dapat bertahan. Sesudah tali ikatanmu putus, kau harus berlari sekuat tenaga keluar dari gudang ini.'     

Therius mengangkat wajahnya dan menatap Emma dengan ekspresi keheranan. Ia tidak tahu bagaimana Emma akan dapat membebaskannya. Gadis itu sedang dikelilingi tiga orang lelaki kasar yang siap menghajarnya dan mengancam agar ia tidak melawan.     

'Aku mengerti...' Anak itu menjawab dengan ragu. Ia merasa terharu karena gadis yang tidak dikenalnya ini berusaha keras menyelamatkannya. Pelan-pelan hatinya yang selama ini dipenuhi kesedihan dan rasa putus perlahan-lahan mulai diisi perasaan hangat.     

Ia terus menatap Emma hampir tanpa berkedip.     

Lelaki kedua mengangkat tangannya dan memukul bahu Emma yang terluka dengan wajah marah. Emma secara refleks mengangkat tangannya untuk menangkis.     

"JANGAN MELAWAN!" bentak lelaki yang menahan Therius sambil menusukkan pisaunya ke leher Therius. Darah yang menetes dari luka di leher anak itu membuat Emma hampir tidak dapat bernapas.     

Ia kembali menurunkan tangannya.     

'Xion.. tolong aku..'     

BRAK!     

Karena Emma sekarang benar-benar sudah mengalah, lelaki ketiga memukul dadanya, lalu diikuti lelaki keempat yang menyerang dengan tendangan. Mereka benar-benar sangat marah karena tadi telah menjadi bulan-bulanan Emma dan kini ingin membalas rasa malu yang mereka derita karena berhasil dikalahkan seorang perempuan.     

"Aaahh..." Emma terjatuh ke lanti sambil menekap perutnya yang barusan ditendang.     

"Kakak...!!! Jangan pikirkan aku...! Pergilah... PERGILAH DARI SINI!!" jerit Therius berkali-kali dengan suara serak.     

Ia berusaha memberontak dan mengalihkan perhatian penawannya. Ia merasa lebih baik ia memancing kemarahan lelaki itu agar membunuhnya. Jika ia mati, maka mereka tidak punya sandera lagi. Emma akan bebas dan dapat menghajar mereka.     

.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.