Putri Dari Akkadia: Cinta Setinggi Langit Dan Bintang

Mengucap Selamat Tinggal (1)



Mengucap Selamat Tinggal (1)

0Xion mengangguk-angguk mendengar kata-kata Therius. "Hmm.. kurasa, kau harus menjaga Emma. Kalau aku melihat begitu besarnya dendam nenekmu kepada orang tua Emma, bisa jadi berikutnya ia akan menjadikan Emma sebagai sasaran pembalasan dendamnya," kata Xion prihatin.     

"Kau benar," kata Therius. "Aku akan selalu menjaganya. Aku juga sudah menyiapkan tim pengawal terbaik untuk mengawasinya di mana pun ia berada."     

"Bagus," kata Xion.     

"Lalu, apa yang akan terjadi selanjutnya?"     

"Besok, aku dan Emma akan membicarakannya. Yang jelas kami sudah berhasil memperoleh izin untuk berangkat ke Thaesi untuk bertemu Putri Arreya dan keluarga Emma yang lain. Kurasa kami masih bisa menghadiri pemakaman ayahnya."     

Xion mengangguk-angguk. "Aku senang Emma akhirnya akan dapat bertemu ibunya. Akhirnya ia akan bahagia."     

Ia menepuk bahu Therius dengan gembira. Sahabatnya itu hanya menarik napas panjang. Ia tadi mencegah Emma menyebutkan kata 'tapinya'. Sekarang pikirannya kembali menjadi resah memikirkan apa kira-kira syarat yang diajukan gadis itu sebelum menikah dengannya.     

Semoga saja Emma tidak mengajukan syarat yang sulit untuk ia penuhi.     

Keesokan harinya, Therius bangun pagi sekali. Ia sudah menunggu di depan pintu ketika Emma membuka pintunya untuk keluar kamar. Gadis itu telah meminta agar dayang-dayangnya tidak menungguinya tidur di depan ruangannya, karena ia tidak terbiasa diperlakukan seperti itu.     

Mereka hanya perlu datang jika ia memanggil. Karena itu, ia merasa kaget saat menemukan pemuda tampan itu berdiri di depannya ketika Emma melangkah keluar kamar.     

Wajahnya tampak penuh senyum dan sepasang mata topaznya berkilauan. Hari ini, Therius benar-benar tampak seperti seorang malaikat. Ia hanya perlu menumbuhkan sayap di punggungnya dan sempurnalah ia terlihat seperti malaikat.     

"Mau apa kau di sini?" tanya Emma keheranan. Ia tidak tahu jam berapa pria itu bangun. Sepagi ini ia sudah tampak rapi dan tampan. Entah kenapa, dada Emma terasa sedikit berdebar-debar.     

"Aku mau menjemputmu untuk sarapan bersama," kata pemuda tampan itu sambil memamerkan senyum malaikatnya.     

"Uhm... aku tahu di mana ruang makan, dan aku juga sudah dewasa, tidak perlu dijemput-jemput segala..." komentar Emma.     

"Aku tahu," kata Therius. "tetapi aku tetap ingin melakukannya."     

"Ish..." Emma memutar matanya. Ia tidak tahu Therius dapat bersikap seperti laki-laki gombal begini. Mereka berjalan santai melintasi berbagai ruangan besar dan kemudian taman kecil lalu menuju ke ruang makan.     

"Xion di mana?" tanya Emma keheranan. Ia tidak melihat Xion di ruang makan. Biasanya pemuda itu paling dulu tiba di sana untuk makan dan bersantai-santai.     

"Tadi malam kami minum-minum untuk merayakan, uhm... sesuatu. Ia sudah bilang tidak akan turun untuk sarapan," Therius menjelaskan. Ia membukakan kursi untuk Emma lalu setelah gadis itu duduk, ia pun duduk di sampingnya.     

Para pelayan dengan sigap segera menyajikan berbagai hidangan mewah untuk Therius dan Emma sarapan.     

"Aneh sekali," komentar Emma. Ia tahu Xion sangat kuat minum. Biasanya walaupun mau minum berapa banyak pun, Xion tidak akan mabuk. Tetapi mengapa ia tiba-tiba sengaja beralasan bahwa ia akan hangover dan tidak bisa ikut sarapan?     

Ahh...     

Gadis itu akhirnya mengangguk sendiri. Ia dapat menduga Xion sengaja tidak turun sarapan demi memberikan waktu privasi bagi Therius dan Emma untuk bicara. Pasti tadi malam Therius telah mengatakan kepadanya bahwa Emma bersedia menikah dengan Therius dan akan membicarakan tentang semua persyaratannya pagi ini.     

Ah, Xion memang seorang sahabat yang sangat pengertian, pikir Emma. Ia menganggap Therius sangat beruntung memiliki sahabat seperti Xion.     

"Makanlah, jangan melamun saja," kata Therius sambil menaruh beberapa potong makanan ke piring Emma. Sikapnya benar-benar seperti kekasih yang penuh perhatian, membuat Emma tertegun.     

Ah, ya.. ia sudah menerima lamaran Therius, rasanya ia sudah dapat menerima perlakuan pria ini kepadanya.     

"Hmm... terima kasih," kata Emma. Ia makan dengan sikap agak canggung. Rasanya ia masih harus membiasakan diri dengan perhatian-perhatian dari lelaki ini.     

Ia melihat wajah para pelayan yang ada di sekitar mereka tampak tersenyum-senyum menyaksikan sikap mesra junjungan mereka kepada calon istrinya. Mereka pasti sudah mengetahui siapa Emma dan memperlakukannya seperti nyonya rumah.     

"Makan yang banyak. Setelah ini aku ingin mengajakmu ke suatu tempat," kata Therius.     

"Kemana?" tanya Emma penasaran.     

"Kau akan tahu sendiri nanti."     

Emma tidak suka memaksa. Ia hanya mengangguk dan kemudian melanjutkan sarapannya. Setelah mereka selesai makan ia menyentuh tangan Therius. Ia hendak membahas tentang syarat-syaratnya sebelum menikah dengan pemuda itu.     

Tadi malam Therius mencegahnya untuk membahas hal itu karena ia tidak ingin merusak suasana syahdu di antara mereka setelah Emma menyatakan bersedia menikah dengannya.     

"Therius, aku mau bicara," kata gadis itu dengan suara tenang.     

"Bisakah kita membicarakannya nanti siang?" tanya Therius. "Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat."     

"Kemana?" Emma bertanya lagi. Ia tidak tahu mengapa Therius bersikap penuh rahasia seperti ini. "Aku tidak akan menjawab setuju sebelum kau memberitahuku kemana kau ingin membawaku."     

Therius menatap Emma agak lama dan akhirnya mengalah. "Aku ingin... membawamu melihat Haoran. Agar kau dapat mengucapkan selamat tinggal."     

Emma tertegun mendengar kata-kata Therius. Ia tidak mengira pemuda itu dapat menebak isi hatinya. Sebenarnya salah satu syarat yang ingin diajukan Emma sebelum menikah dengan Therius adalah untuk mengunjungi Haoran dan kemudian mengucapkan selamat tinggal.     

Emma akan merelakan Haoran pergi dengan tenang dan kemudian berkabung, baik untuk kepergian ayahnya dan juga suaminya. Ia merasa sangat egois karena telah terlalu lama menahan Haoran hanya karena ia tidak sanggup kehilangan pemuda itu.     

Kini, saat mendengar dari Therius bahwa pemuda itu hendak membawanya melihat Haoran untuk terakhir kalinya dan mengucapkan selamat tinggal, Emma merasa sangat terharu. Therius selalu tahu apa yang ia butuhkan, dan pemuda itu sangat serius dalam memperhatikan kebutuhan Emma.     

Ia tahu, saat ini Emma perlu berpamitan dan kemudian mengambil waktu untuk berduka.     

"Terima kasih..." bisik Emma. Ia tak dapat menahan haru dan bangkit dari kursinya untuk memeluk Therius.     

"Aku akan melakukan apa pun untukmu," kata pria itu dengan lembut. Ia mengusap-usap punggung Emma dan balas memeluk gadis itu dengan erat.     

***     

Kira dan Ola membantu Emma bersiap-siap. Tidak lama kemudian ia sudah keluar kamarnya menemui Therius yang menunggu di depan. Pemuda itu tampak mengenakan pakaian berwarna ungu tua, sama seperti Emma yang sedang berduka. Seolah pemuda itu ingin menyatakan kepada seisi dunia bahwa ia turut berduka bersama calon istrinya.     

"Tempatnya agak jauh dari sini," Therius menjelaskan. "Aku sengaja menaruhnya di sanatorium yang terletak di desa terpencil untuk menghindarkannya dari intaian orang-orang jahat yang ingin mengancammu."     

"Terima kasih," kata Emma. Ia senang karena Therius sangat perhatian kepadanya. Ia bahkan memikirkan bahwa Haoran perlu disembunyikan di tempat yang jauh dari kotaraja agar tidak ada yang dapat menggunakannya sebagai sandera untuk menekan Emma.     

Di depan istana pangeran putra mahkota telah menunggu beberapa travs berukuran besar dan berwarna serba hitam. Emma menduga mereka akan pergi dengan rombongan pengawalan.     

"Kita akan pergi ke desa kecil tempat orang tuaku dulu bertemu. Mereka masih memiliki rumah di sana. Aku kadang-kadang ke sana untuk menenangkan pikiran," Therius menjelaskan setelah mereka masuk ke dalam travs dan duduk dengan nyaman. "Kalau kita pergi ke sana sekarang, tidak akan ada yang curiga. Orang-orang akan mengira aku mengajakmu pergi ke rumah peristirahatan orang tuaku untuk membuatmu lebih mengenalku."     

Emma mengangguk paham. Ia senang karena Therius berpikir panjang dan memperhitungkan segala sesuatunya. Sebenarnya dalam hal begini, Therius mengingatkannya akan Haoran yang selalu penuh perencanaan dan berpikir ke depan.     

Setelah putra mahkota dan calon istrinya siap, rombongan lima travs itu bergerak mengangkasa dan segera melaju ke arah timur. Di atas menara di sayap timur, Xion yang berdiri di balkon kamarnya sambil meneguk teh panas hanya mengangguk-angguk ketika pandangannya tertumbuk pada rombongan yang baru berangkat itu.     

Ia merenung sendiri. Sepertinya ia sudah tidak perlu berlama-lama tinggal di ibukota. Setelah pernikahan antara Therius dan Emma berlangsung, ia akan segera pulang ke gunung dan kembali menjalani hidup tenang sebagai pertapa.     

Tapi ia tidak tahu kapan pasangan itu akan menikah. Semoga saja tidak terlalu lama. Ia sudah tidak tahan tinggal di kota berlama-lama, apalagi saat mengingat betapa ia dikelilingi oleh politik kotor dan perang yang akan segera berkecamuk.     

***     

Perjalanan berlangsung selama dua jam. Emma tidak menyangka tempat yang mereka tuju jauh sekali. Saat Therius mengatakan ia menempatkan Haoran di sebuah desa kecil di luar ibukota, ia mengira desa itu paling-paling terletak di pinggiran, tidak terlalu jauh. Namun ternyata ia salah.     

Jaraknya berada hampir 1000 kilometer dari ibukota dan mereka bahkan melintasi sebuah gunung sebelum akhirnya tiba di sebuah lembah hijau yang terbentang sangat luas di bawah kaki gunung.     

Entah kenapa, lembah cantik yang dipenuhi ratusan jenis bunga warna-warni ini mengingatkannya akan lembah di Planet Daneria yang pernah dikunjunginya bersama Therius dan Xion. Ahh.. seketika dada gadis itu dipenuhi perasaan hangat.     

Kebersamaannya dengan Therius dan Xion di Daneria adalah pengalaman yang seumur hidupnya tidak akan pernah ia lupakan.     

"Tempat ini indah sekali," bisik Emma. Matanya menatap kagum ke bawah mereka dan melihat berbagai tanaman besar dan kecil yang sangat menarik perhatiannya.     

Therius mengerti bahwa Emma memiliki ketertarikan khusus terhadap tanaman karena ia adalah seorang herbomancer. Dan ia menduga Emma mewarisi kecintaan Kaoshin terhadap tanaman.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.