Putri Dari Akkadia: Cinta Setinggi Langit Dan Bintang

Tekad Emma



Tekad Emma

0Emma mandi di bathtub lebih lama dari yang direncanakan. Ia tidak mengira pikirannya yang tadi terasa sangat tertekan bisa menjadi lebih ringan setelah ia berendam di air hangat yang wangi ini. Aroma di sekitarnya terasa sangat menenangkan dan ia sungguh menikmati mandinya untuk pertama kali.     

Emma bertanya-tanya dalam hati apakah kedua pelayannya menaruh ramuan khusus ke dalam air mandinya yang memberikan efek seperti itu. Rasanya bahkan kesedihannya menjadi sedikit berkurang dan kini seolah ia dapat berpikir lebih jernih.     

"Apa yang kalian taruh di air mandiku barusan?" tanya Emma saat Kira membantunya berpakaian.     

"Kami menaruh minyak penenang pikiran yang sangat terkenal. Ini sangat ampuh untuk merelakskan pikiran dan memberi ketenangan," jawab Kira sambil tersenyum. "Apakah Yang Mulia menyukainya?"     

Emma mengangguk. "Aku merasa sedikit lebih baik."     

"Kami akan menaruh botolnya di meja samping tempat tidur Yang Mulia, supaya Anda dapat menggunakannya kapan saja."     

"Terima kasih, Kira."     

Emma mematut dirinya di depan cermin setelah Kira dan Ola selesai membantunya berpakaian. Ia mengagumi gaun yang ia kenakan dan merasa begitu nyaman di dalamnya. Gaun ini indah sekali.     

Ia merasa seolah-olah masuk ke dalam buku dan menjadi putri sebuah kerajaan dalam dalam dongeng. Ia tak tahu siapa yang memilihkan gaun itu untuknya. Apakah Atila? Di mana Atila sekarang?     

Ah, sebaiknya ia menanyakan semua detail yang ingin diketahuinya kepada Xion. Ada begitu banyak hal yang ingin ia tanyakan kepada pemuda itu.     

"Tuan Xion menunggu Yang Mulia di ruang makan," kata Ola sambil menyisir rambut Emma yang panjang tergerai hingga ke pinggang. "Apakah Yang Mulia sudah dapat berjalan?"     

Emma mengangguk. Setelah mandi tadi, ia merasa secara emosional keadaannya menjadi lebih baik, dan hal itu mempengaruhi kondisi tubuhnya. Ia pun merasa dapat berpikir lebih jernih menghadapi situasi yang tidak menguntungkan ini.     

Emma berjalan menuju ke ruang makan dengan mengikuti Kira, sementara Ola membereskan bekas mandinya dan merapikan kamar tidurnya. Di sepanjang perjalanan menuju ke ruang makan, Emma terkagum-kagum melihat berbagai ruangan yang ia lintasi. Istana ini benar-benar megah, jauh lebih megah dari apa yang ia bayangkan tentang istana para raja.     

Ukurannya sangat besar, segala sesuatunya seolah sengaja dibuat untuk menarik decak kagum. Langit-langitnya berjarak minimal enam meter dari lantai dan memiliki berbagai ukiran karya seni yang tampak sangat indah.     

Lantai yang dipijaknya tampak seperti dibuat dari batu pualam yang tidak dipotong, entah bagaimana caranya. Tiang-tiang penopang istana ini sangat besar dan mengintimidasi.     

Lagi-lagi Emma merasa seolah ia adalah Jack yang memanjat tanaman kacang dan masuk ke istana raksasa. Ia merasa sangat kecil berada di istana ini. Ia bertanya-tanya apakah semua istana di Akkadia berbentuk seperti ini, ataukah ini merupakan selera pribadi Therius.     

Ketika ia tiba di ruang makan, Emma melihat Xion sudah menunggunya sambil merenung. Wajahnya tampak kusut. Emma belum pernah melihat Xion seperti ini selama enam bulan mengenal pria itu dan berhubungan dekat dengannya.     

Selama ini, ia selalu menganggap Xion adalah seorang pribadi yang santai dan periang. Pemuda itu tidak pernah bersikap serius dalam menghadapi segala sesuatu. Namun, kini, untuk pertama kalinya Emma melihat Xion seperti bersedih.     

Wajahnya kusut dan matanya cekung, seolah ia telah beberapa hari tidak tidur. Kenapa Xion bersedih? Apa yang sedang ia pikirkan? Emma bertanya-tanya dalam hati.     

Sialnya, walaupun ia adalah seorang telemancer yang dapat membaca pikiran orang lain, ia tidak dapat membaca pikiran Xion karena pemuda itu lebih kuat darinya. Emma merasa kekuatannya tidak berguna terhadap Xion dan Therius.     

Entah kapan ia akan dapat menjadi sama kuat atau lebih kuat dari mereka, agar ia dapat menggunakan kekuatannya secara maksimal.     

"Maaf, kau menunggu lama," kata Emma sambil berjalan menghampiri Xion. Pemuda itu yang tadi merenung dengan wajah menghadap ke luar jendela segera menoleh ke arah Emma dan mengembangkan seulas senyum.     

Ia berdiri dan membukakan kursi untuk gadis itu di sebelahnya. "Aku tidak menunggu lama. Ada banyak hal yang harus kukerjakan. Bagaimana keadaanmu sekarang? Apakah kau merasa lebih baik?"     

Emma mengangguk pelan dan mengucapkan terima kasih karena Xion membukakan kursi untuknya lalu duduk dengan anggun. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling mereka dan mengagumi ruang makan tempat mereka berada.     

Ruang makan ini seolah disiapkan untuk menjamu paling tidak 30 orang. Karena hanya ada dirinya dan Xion di sini, ia merasa tempat itu menjadi terlalu sepi. Apakah Therius sering menjamu tamu-tamunya untuk makan malam di sini?     

Emma tidak menduga Therius adalah lelaki yang senang menyambut tamu. Menurut penilaiannya, Therius mirip dengan dirinya sendiri yang kurang suka bersosialisasi dengan kelompok besar dan hanya memiliki sedikit teman dekat. Sehingga ia berasumsi pemuda itu tidak suka menjamu tamu di rumahnya.     

"Ruang makannya besar sekali, ya?" komentar Xion seolah dapat membaca pikiran Emma. "Dia harus menjamu tamu setidaknya sebulan sekali untuk menyenangkan pada pendukungnya. Kurasa dia sendiri sebenarnya tidak menyukai hal-hal semacam itu, tetapi kalau terpaksa ia akan dapat melakukannya dengan baik. Aku sendiri tidak tahu bagaimana dia melakukannya. Therius memang serba bisa. Dia cocok sekali bermain politik."     

Pemuda itu tampak mengerutkan hidungnya saat mengucapkan kata 'politik' membuat Emma dapat merasakan dengan jelas ketidaksukaan pemuda itu pada politik. Ah, ya.. Emma ingat bahwa Xion memang sangat tidak menyukai ibukota dan segala intrik pemerintahan.     

Walaupun secara resmi ia adalah warga negara Akkadia, namun ia tinggal di gunung dan sama sekali tidak ingin terlibat dalam politik Akkadia.     

"Sampai kapan kau akan ada di Akkadia?" tanya Emma kepada Xion saat hidangan pembuka mulai disajikan oleh dua orang pelayan yang sigap menata meja makan untuk mereka.     

"Sampai situasinya menjadi baik," jawab Xion.     

"Menurutmu, apa yang akan terjadi?" tanya Emma, sambil menatap pria itu lekat-lekat. "Apakah perang akan pecah?"     

"Perang SUDAH pecah," kata Xion mengoreksi. "Aku sebenarnya sangat menguatirkan orang-orang di perbatasan. Mereka sudah pasti akan menjadi korban yang paling merasakan akibatnya. Orang-orang yang malang..."     

Emma sudah mempelajari tentang sejarah Akkadia dan mengetahui bahwa dalam perang, tidak ada negara yang akan menggunakan senjata pemusnah massal karena mereka tidak ingin menghancurkan planet mereka.     

Senjata yang setara senjata nuklir telah dilarang sejak lima ratus tahun yang lalu di seluruh Planet Akkadia dan dimusnahkan sehingga manusia di sini tidak perlu kuatir akan adanya efek radiasi dan kehancuran massal yang diakibatkan oleh senjata pemusnah massal tersebut.     

Perang antara negara akan dilakukan seperti perang konvensional berupa pertempuran terbuka di medan perang antara pasukan dan kendaraan tempur masing-masing.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.