Putri Dari Akkadia: Cinta Setinggi Langit Dan Bintang

Teman-Teman Baru (1)



Teman-Teman Baru (1)

0Ketika Emma memutuskan hubungan, ia merasa agak menyesal tidak membalas kata-kata cinta suaminya. Bukankah tadi ia sudah mulai merasakan kehilangan saat Therius pergi meninggalkannya?     

Bukankah itu tanda bahwa ia sudah mulai mencintai suaminya? Ia yakin Therius akan sangat senang mendengarnya dari Emma.     

Ahh... sekarang sudah terlambat, pikir Emma sedikit menyesal.     

Ia memutuskan untuk menghubungi Therius besok dan bicara lebih lama setelah suaminya tiba kembali di istana dan tidak sibuk.     

Ia akhirnya memutuskan untuk mengatur barang barangnya pribadinya di kamar asrama. Emma lalu membersihkan diri di kamar mandi dan berganti pakaian agar ia siap untuk acara makan malam penyambutan siswa baru.     

Karena memang ia terbiasa tidak memiliki banyak barang, maka kegiatan merapikan kamarnya berlangsung dengan sangat cepat. Emma senang melihat barang-barang yang disiapkan oleh para pelayannya terlihat sangat sederhana. Sangat sesuai dengan seleranya.     

Sebenarnya, Emma dapat mengenakan pakaian mewah, perhiasan, dan berbagai barang-barang mahal lainnya yang diberikan oleh Terios kepadanya di istana. Namun, ia sama sekali tidak terikat kepada barang-barang itu.     

Baginya, pakaian adalah pakaian baik itu berbahan mahal ataupun murah. Apalagi sekarang dengan statusnya sekarang yang sedang dalam penyamaran sebagai gadis dari kalangan biasa, tentu ia tidak dapat mengenakan pakaian yang mahal atau mewah.     

Setelah Emma selesai membersihkan diri dan mengenakan pakaian sederhana berwarna hitam, ia lalu menyeduh teh dan memutuskan duduk untuk di balkonnya dan menikmati pemandangan keluar.     

Acara makan malam penyambutan murid baru yang tadi disampaikan oleh Bastian masih satu jam lagi. Ia merasa perlu untuk mencari kesibukan sambil menunggu.     

Cit cit cit!     

Emma menoleh ke belakang ketika mendengar suara mencicit nyaring. Ia menemukan seekor burung berwarna keemasan yang sangat cantik hinggap di dahan tanaman yang barusan ia tumbuhkan.     

Burung itu berukuran sebesar kepalan tangan dengan ekor yang panjang dengan bulu-bulu yang mengingatkan Emma pada ekor merak.     

"Heii... kau cantik sekali," kata Emma sambil mengangkat tangannya hendak membelai burung itu. Ia tidak mengira burung cantik itu tidak kabur dan malah menggosok-gosokkan kepalanya ke tangan Emma.     

"Astaga... kau jinak sekali," komentar Emma. Ia mengagumi burung cantik itu selama beberapa saat dan kemudian berpikir apakah ia memiliki sedikit roti atau makanan lainnya untuk diberikan kepada burung itu. "Tunggu sebentar. Rasanya aku punya sedikit roti."     

Ia masuk ke kamarnya dan mengambil sebuah kotak makanan berisi beberapa potong roti dan mencuilnya kecil-kecil sebelum kemudian diberikan kepada burung cantik itu.     

Emma merasa sangat terhibur melihat burung itu mematuk-matuk makanan dengan santai. Ahh... ia baru melihat betapa bebasnya hewan-hewan di sini, dan sepertinya mereka juga tidak takut kepada manusia.     

"Apakah kau punya nama?" tanya Emma kepada burung itu. "Ahh... bicara apa aku ini? Burung mana bisa bicara?"     

Ia memijat keningnya. Kemampuan telemancynya hanya bisa digunakan untuk membaca pikiran manusia, bukan binatang. Yang bisa bicara dengan binatang dan mengendalikan mereka adalah Beast Master, seperti Marlowe.     

Hmm.. ngomong-ngomong, Emma berharap Marlowe tidak akan menjadi guru yang menyebalkan. Ia adalah satu-satunya orang di akademi selain Dekan Anrankin yang mengetahui bahwa ia adalah 'kekasih' Therius. Emma tidak suka membuat perhatian orang-orang tertuju kepadanya.     

"Baiklah, kau akan kupanggil Alex," kata Emma sambil tertawa kecil. Burung kecil ini mengingatkannya akan sahabatnya di bumi, Alex Chu yang baik hati, agak feminin dan senang bicara.     

Emma melanjutkan minum teh di balkonnya ditemani Alex yang menikmati remah-remah roti di meja. Suasana sore itu terasa sangat damai. Emma merasa betah di akademi.     

Ia hanya berharap teman-teman sekolahnya tidak ada yang menyebalkan.     

***     

Ketika Emma keluar dari kamarnya untuk menuju ke ruang makan besar di Menara Biru, kebetulan Ulla juga baru keluar dari kamarnya. Dengan wajah cerah gadis berambut biru itu segera menghampiri Emma dan menggandeng tangannya untuk berjalan bersama menuju lift.     

"Kau suka kamarmu?" tanya Ulla dengan nada suara riang gembira seperti biasanya.     

Emma mengangguk, "Lumayan. Bagaimana menurutmu?"     

Namun, ekspresi Ulla tiba-tiba tampak sangat tertekan. "Ah kamar di asrama ini KECIL SEKALI. Lebih besar ruangan penyimpanan sapu di rumahku."     

Emma tertegun mendengar reaksi gadis itu. "Terlalu kecil? Kita memperoleh tempat tidur, ruang belajar, kamar mandi pribadi, bahkan balkon untuk bersantai."     

Menurut Emma kamarnya sangat menyenangkan dan memenuhi semua kebutuhannya. Ini mengingatkannya akan unit apartemen mini studio di bumi. Kamar asramanya di panti asuhan dulu jauh lebih kecil dari itu dan ia harus membaginya dengan seoarang anak lain.     

Ulla menggeleng-geleng frustrasi. "Aku bisa terkena agorafobia. Fobia tempat sempit. Kamar itu kecilnya keterlaluan sekali. Kamarku di rumah jauh lebih besar dari ini."     

Emma dapat menebak bahwa Ulla pasti anak orang kaya, sehingga ia memiliki kamar yang sangat besar.     

"Sayangnya kita hanya bisa pindah ke kamar lebih besar kalau kita sudah ada di tingkat akhir," kata Ulla melanjutkan. "Akademi ini dibiayai pemerintah, dan dibuat gratis untuk siswanya, karena itulah fasilitasnya terbatas. Padahal sebenarnya keluargaku tidak keberatan kalau harus membayar biaya yang tinggi agar mendapatkan kamar yang lebih bagus."     

"Membayar untuk apa?" tanya Emma. "Bukankah sekolah ini gratis?"     

"Iya, justru karena sekolah ini gratis, fasilitasnya seadanya. Ini karena keluarga raja tidak ada yang pernah ke sini, jadi mereka tidak tahu yang kita rasakan. Mereka terbiasa hidup enak," omel Ulla.     

"Seharusnya mereka membuat sekolah ini menjadi sekolah yang menerima bayaran untuk meemperbaiki berbagai fasilitas yang sudah ada. Siswa yang mampu dapat membayar uang sekolah yang mahal akan mendapatkan fasilitas yang lebih bagus. Biarkan siswa-siswa yang tidak mampu mendapatkan beasiswa aku yakin mereka akan puas dengan kamar yang kecil seperti ini."     

Emma mengerutkan kening keheranan. "Kenapa kau tidak puas dengan akademi ini? Bukankah pemerintah sangat baik sudah menyediakan sekolah gratis untuk para mage? Kenapa harus mengeluh tanya?"     

Ulla menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tidak berkata apa-apa lagi melihat sikap Emma. Emma menjadi penasaran apa yang sebenarnya ada di pikiran Ulla. Ia akhirnya membaca pikiran gadis itu untuk tahu apa sih yang dipikirkan oleh teman barunya itu.     

'Wah.... sepertinya, Emma berasal dari keluarga miskin. Makanya, untuk dia, kamar di asrama seperti ini dianggap cukup baik. Ya sudahlah, sebaiknya aku tidak usah banyak bicara tentang kekayaan keluargaku. Nanti dia akan merasa rendah diri,' kata Ulla dalam hati.     

Emma memutar matanya dan menarik nafas panjang. Ulla ini sebenarnya tidak bermaksud buruk tapi dia terlalu ignorant dan tidak mengerti kesulitan yang dihadapi oleh orang-orang lain, tipikal anak orang kaya yang dibesarkan dengan segala kemudahan.     

Kalau dipikir-pikir, Ulla ini sebenarnya salah besar. Emma bukan berasal dari keluarga miskin. Ibunya adalah seorang putri dan ayahnya adalah seorang jenderal besar. Malahan, sekarang ia menikah dengan raja Akkadia.     

Namun, semua kemewahan itu tidak membuat Emma menjadi terikat. Ia tidak peduli dengan harta dan kemewahan, karena baginya baik barang mahal atau murah, selama mereka dapat memenuhi fungsinya, maka itu sudah cukup.     

Walaupun begitu, Emma mengerti bahwa pandangan yang ia miliki ini tidak dimiliki oleh semua orang. Karenanya ia berusaha tidak mempedulikan keluhan-keluhan Ulla dan menebalkan telinga.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.