Putri Dari Akkadia: Cinta Setinggi Langit Dan Bintang

Terpuruk



Terpuruk

0Natan tergugah dari lamunannya dan segera mengangguk lemah. Ia hendak mengantar sang pangeran keluar sanatorium, tetapi perasaannya terlalu kacau untuk bahkan dapat memikirkan hal itu.     

Akhirnya ia membiarkan saja Therius pergi sementara ia hanya bisa berdiri di tempatnya sambil memikirkan apa yang sudah terjadi.     

***     

Akhirnya Emma tersadar dari pingsannya. Ketika ia membuka mata, secara refleks ia segera bangun dari posisi berbaring. Perlu waktu beberapa detik baginya untuk mengingat apa yang terjadi.     

"Haoran!" serunya dengan suara serak. Rupanya ia telah menangis cukup lama sampai ia kelelahan dan suaranya habis. Air matanya pun sudah habis. Ia tak dapat lagi meneteskan air mata. Bekas-bekas aliran air bening masih terlihat di wajahnya.     

"Emma."     

Terdengar suara Therius dari ujung tempat tidur. Gadis itu mengangkat wajahnya dan melihat sang pangeran duduk di tepi ranjangnya dengan wajah keruh. Ia mengenakan pakaian berwarna ungu tua yang seketika mengingatkan Emma bahwa ungu adalah warna berkabung di Akkadia.     

Ia menunduk dan melihat pakaiannya sendiri. Ia telah mengenakan pakaian berkabung sejak seminggu hari yang lalu setelah mengetahui ayahnya meninggal dunia. Dan kini.. ia juga harus berkabung untuk Haoran.     

Kalau ternyata akhirnya akan seperti ini, mengapa ia nekat memaksa membawa Haoran ke Akkadia? Emma merasa sangat egois.     

Seharusnya sekarang Haoran dapat dikelilingi oleh orang-orang yang mengasihinya. Ada ibu kandungnya, kakek dan neneknya, serta teman-temannya sejak masa kecil. Ia ingat teman-teman masa kecilnya itu sangat menyayangi Haoran. Mereka tentu merasa sangat kehilangan dirinya.     

Kini Haoran menghembuskan napasnya yang terakhir di sebuah planet asing yang tidak pernah dikenalnya. Ia hanya pernah mendengar namanya, Planet Akkadia. Haoran bahkan tidak sempat membuka matanya dan melihat seperti apa Akkadia ini.     

"Kau.. sudah bangun?" tanya Therius dengan suara pelan. Ia tidak dapat berkata-kata yang lain karena ia tahu, apa pun yang diucapkannya tidak akan dapat membuat perasaan Emma menjadi lebih baik.     

Emma mengangguk. Ia menggigit bibirnya dan membuang muka. Melihat Therius saat ini rasanya seolah membuat luka di hatinya menjadi semakin besar.     

Emma datang ke desa ini untuk berpamitan dan melepaskan Haoran pergi. Tetapi, alih-alih ia dapat berpamitan dan melepaskan kepergian Haoran, justru ia mendapatkan kejutan bahwa Haoran akhirnya pergi meninggalkannya.     

Ia bahkan tidak sempat berpamitan. Ia tak sempat mengucap selamat tinggal kepada pemuda yang sangat dicintainya itu.     

Apakah ini hukuman karena ia menerima Therius? Apakah ini tandanya Haoran pun melepaskan Emma dan membiarkannya pergi?     

Oh.. hatinya terasa begitu pedih. Emma tidak tahu bahwa ternyata rasanya demikian menyakitkan. Kesedihannya akibat kematian ayahnya bahkan tidak dapat dibandingkan dengan kesedihannya ketika ia menyadari ia telah ditinggalkan oleh Haoran untuk selama-lamanya.     

"Kau belum makan sejak kemarin. Aku akan membawakan makanan ke sini. Kau harus makan sedikit dan mengumpulkan tenaga," kata Therius. Ia berdiri dan menyentuh pipi Emma dengan lembut, lalu berjalan ke luar kamar.     

Setelah pemuda itu pergi keluar, Emma melihat ke sekelilingnya. Ia berada di sebuah kamar yang anggun dengan desain yang hangat. Semua pilihan warna dan perabotannya dibuat untuk membuat penghuninya merasa relaks dan damai.     

Di sebelah tempat tidurnya ada sebuah jendela besar dengan tirai yang dibuka ke samping berwarna biru tua, membingkai pemandangan yang terlihat indah bak lukisan dari luar jendela.     

Emma menyadari bahwa rumah tempatnya berada terletak di puncak bukit dan dari jendela ini ia dapat melihat pemandangan lembah hijau di bawahnya. Sungguh tempat yang memberikan perasaan damai, pikir Emma.     

Untuk sesaat ia terpaku di tempatnya.     

"Kau suka pemandangannya?" tanya Therius.     

Emma menoleh ke arah suara tersebut dan menemukan Therius datang membawa nampan berisi semangkuk sup dan secangkir minuman hangat. Pemuda itu menaruh nampan di meja samping tempat tidur dan kemudian mengangkat mangkuk berisi makanan sup dan sendoknya lalu duduk di tepi tempat tidur.     

"Aku tidak lapar," kata gadis itu dengan suara yang hampir tidak terdengar. "Aku tidak suka pemandangannya."     

Therius menghela napas. "Kau harus makan. Aku memaksa."     

Emma hendak mengangkat tangannya untuk mendorong mangkuk sup itu menjauh, tetapi entah kenapa tubuhnya terasa sama sekali tidak bertenaga. Ia bahkan hampir tidak sanggup menggerakkan tangannya.     

"Kau stress dan merasa terpukul," kata Therius. "Kau harus memaksa dirimu untuk makan sesuatu. Kalau kau terus membiarkan dirimu seperti itu, kau bisa mati. Aku tidak rela melihatmu mati..."     

"Sudah berapa lama aku pingsan?" tanya Emma sambil menatap Therius lekat-lekat. Ia menduga ia telah tidak sadarkan diri untuk waktu yang cukup lama.     

"Sudah lebih dari 20 jam," kata Therius. "Kau menangis lama sekali dan pingsan. Kemarin kau melewatkan makan siang, makan malam, dan hari ini kau sudah melewatkan sarapan. Tubuhmu sudah menjadi sangat lemah."     

"Lama sekali," keluh Emma. Ia merutuki dirinya yang begitu terpukul dan tidak dapat bertahan tetap kuat saat menyaksikan kematian Haoran. Bukankah seharusnya ia telah siap menghadapi kemungkinan ini selama tujuh bulan belakangan?     

Mengapa ia lemah sekali? Seharusnya ia dapat mengeraskan hati, melepaskan kepergian Haoran, lalu membicarakan semua persyaratannya kepada Therius dan pergi ke Thaesi untuk bertemu ibu dan adiknya...     

Kini, karena kelemahannya, Emma telah menunda peristiwa penting itu selama lebih dari 20 jam. Ia telah kehilangan waktu berharga.     

"Haoran..." bisik Emma sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan.     

Therius membiarkan Emma menangis lagi, walaupun air matanya sama sekali tidak keluar karena ia telah mencurahkan semuanya kemarin hingga tidak ada lagi air bening yang bersisa.     

Setelah Emma tak sanggup lagi menangis, pemuda itu menurunkan tangan Emma dari wajahnya dan menahannya di tempat tidur.     

"Sekarang kau makan dulu," kata pemuda itu dengan tenang. "Ada banyak hal yang harus kita lakukan. Kau harus tetap kuat."     

Ia lalu menyendokkan sup dan menaruhnya di depan bibir Emma. Gadis itu mengangkat wajahnya dengan lemah dan akhirnya dengan patuh membuka mulutnya dan menerima suapan sup itu.     

"Bagus," puji Therius. "Setelah kau menghabiskan sup ini, Natan akan memeriksa keadaanmu dan memberimu obat. Setelah kau lebih kuat, kita akan membahas apa yang harus kita lakukan."     

"Ibuku..." bisik Emma lemah. "Kita harus ke Thaesi. Aku telah sangat banyak membuang waktu."     

"Jangan kau pikirkan itu. Ibumu masih ada di sana, dia tidak kemana-mana."     

"Tetapi aku ingin melihat ayahku dimakamkan," kata Emma. "Aku ingin... huk.. melihatnya untuk yang terakhir kali."     

Therius mengangguk. "Kau akan melihatnya. Sekarang makanlah."     

"Kau berjanji?" tanya Emma sambil menatap Therius lekat-lekat.     

"Aku berjanji."     

Pemuda itu menyuapkan sup lagi dan kali ini Emma menerimanya tanpa protes. Tidak lama kemudian sup itu pun habis. Ia lalu membantu Emma untuk meminum teh hangat di cangkirnya hingga habis.     

Setelah Emma menghabiskan sup dan tehnya, Therius memencet sebuah tombol dan masuklah Natan ke dalam ruangan. Ia membawa peralatan kedokteran dan memeriksa kondisi Emma. Ia sama sekali tidak membahas tentang Haoran karena tak ingin membuat luka gadis ini menjadi semakin dalam.     

Ia bahkan hampir tidak berbicara kepada Emma. Hanya mengangguk beberapa kali, kemudian memberikan sebutir obat agar gadis itu telan.     

"Nona harus beristirahat selama satu hari agar obat ini dapat bekerja dan besok Anda akan dapat sehat kembali," katanya dengan suara pelan. Ia lalu menoleh ke arah Therius. Ia telah menyiapkan proses pemakaman untuk Haoran dan hendak menanyakan apa yang harus dilakukannya sekarang.     

Ia tak mau membicarakannya di depan Emma. Therius mengangguk dan memberi tanda agar Natan keluar.     

"Nanti kita akan membicarakannya," kata Therius. Ia jelas dapat membaca isi hati Natan dan mengerti apa yang ingin disampaikan sang dokter walaupun ia tidak mengucapkannya dengan kata-kata.     

Emma sedang berduka dan sama sekali tidak berusaha untuk mencari tahu apa yang sedang dipikirkan Natan. Ia segera menelan obat yang diberikan Natan kepadanya dan kembali berbaring di tempat tidur, lalu memejamkan mata.     

"Kau mau beristirahat lagi? Tidurlah. Nanti sore aku akan datang membawakan makan malam," kata Therius lembut. Ia menepuk pipi Emma pelan lalu menutupkan tirai di jendelanya agar suasana kamar menjadi temaram, supaya gadis itu dapat beristirahat lagi.     

Ia lalu berjalan mengikuti Natan keluar kamar dan menutupkan pintu di belakangnya. Ia akan membiarkan Emma beristirahat dan menenangkan diri. Ia mengerti betapa gadis itu sedang sangat terpuruk. Ia baru kehilangan ayahnya dan kini harus kehilangan Haoran juga.     

***     

Therius kembali ke kamar tempat Emma beristirahat saat hari menjelang sore. Lagi-lagi ia membawa nampan berisi makanan dan membantu Emma untuk makan. Dengan sabar ia menyuapi Emma dan menungguinya mengunyah pelan-pelan.     

"Kau tidak makan?" tanya Emma.     

Therius tersenyum. "Ah.. aku senang mendengar kau memperhatikanku juga. Aku akan makan setelah kau selesai makan. Saat ini, prioritasku adalah dirimu. Kalau kau sudah makan dan beristirahat, aku baru bisa tenang."     

Emma tidak berkata apa-apa lagi. Di saat seperti ini, ia benar-benar merasa sendirian. Ia bersyukur ada Therius di sampingnya yang bersedia membantunya dan memperhatikannya, sehingga ia tidak terpuruk sendirian.     

"Sebaiknya kau makan sekarang," kata Emma. Ia mengambil sendok dari tangan Therius. "Aku sudah bisa makan sendiri."     

Emma bertekad untuk menguatkan hatinya. Setelah semua yang terjadi, tidak akan ada lagi yang sanggup membuatnya jatuh. Ia harus bisa membalas dendam kepada Ratu Ygrit. Ialah sumber semua penderitaan keluarga Emma.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.