Putri Dari Akkadia: Cinta Setinggi Langit Dan Bintang

Merindukan Therius



Merindukan Therius

0"Aku senang mendengarnya," kata Therius sambil meletakkan gelas winenya dan berjalan mendekati Emma. Ia mengangkat tangan, hendak mengusap wajah gadis itu, tetapi sayangnya ia tidak bisa. Mereka berada di ruangan berbeda.     

Ahh... saat ini rasanya ia ingin sekali menjadi seorang space master. Orang yang memiliki kemampuan mengendalikan ruang dapat dengan mudah berpindah tempat. Emma menarik napas panjang.     

Mungkin benar apa yang orang-orang katakan, biasanya kita baru dapat menghargai apa yang kita miliki setelah kita tidak memilikinya. Selama ini ia mengangap biasa kehadiran Therius di sisinya.     

Pria itu selalu ada bersamanya, bahkan di saat ia berduka dan menenangkan diri selama berbulan-bulan di luar kota, Therius memilih untuk bolak-balik antara kota raja dan rumah orang tuanya agar ia dapat tetap bekerja di istana dan terus pulang untuk bersama Emma.     

Kini, menyadari bahwa malam ini ia akan tidur sendiri di kamar asramanya karena Therius berada jauh di ibukota, hati Emma terasa sangat sepi.     

"Bagaimana jamuan makan malam untuk menyambut mahasiswa baru tadi?" tanya Therius. Ia menatap Emma dengan penuh perhatian.     

"Sangat menyenangkan," Emma membalas, "Kami bertemu semua penghuni akademi. Tadi merupakan ajang untuk dapat mengenal guru-guru, pengurus sekolah serta pengurus dewan siswa. Semuanya terlihat baik dan ramah. Apakah acara itu rutin diadakan setiap tahun?"     

"Benar," kata Therius. "Ini acara tahunan untuk menyambut siswa baru."     

"Oh... bagus sekali. Aku baru pertama masuk ke sekolah seperti ini," komentar Emma.     

"Aku senang kau menyukainya," kata Therius sambil kembali mengambil gelas berisi wine-nya dari meja dan duduk di dekat Emma.     

Ahhh.. seandainya tidak ada masalah jarak. Ia sangat ingin menarik gadis itu ke pangkuannya dan memeluk pinggangnya, lalu mencium tengkuknya... dan ah...     

Untuk mengalihkan pikirannya dari hal itu, Therius lalu menanyakan kabar beberapa guru yang masih diingatnya. Ia ingin tahu apakah mereka masih mengajar atau tidak.     

Emma menjawab bahwa sebagian besar masih ada dan beberapa orang sudah pensiun, meninggal, atau pindah ke sekolah lain. Ia juga membahas tentang Marlowe yang sangat populer di antara para murid dan guru wanita.     

Mendengar hal itu, Therius hanya geleng-geleng kepala.     

"Dari dulu memang sudah seperti itu. Marlowe tidak pernah peduli dengan perempuan, jadi usaha mereka untuk mendekatinya akan sia-sia saja. Marlowe lebih menyukai hewan daripada manusia," komentarnya.     

Emma tertawa mendengar kata-kata Therius. "Kurasa kau benar. Bahkan saat acara makan malam, ia sempat-sempatnya memberi makan burung peliharaannya."     

"Seperti itulah Marlowe. Ahh, aku jadi terkanang pengalaman sewaktu aku masih bersekolah di sana," komentar Therius. "Aku mengalami masa-masa menyenangkan di sana."     

Emma menahan diri untuk tidak menanyakan apakah Therius teringat pada pengalamannya dan persahabatannya dengan Xion di akademi, karena ia tidak ingin mengungkit luka di hati suaminya.     

Namun, rupanya, Therius sendiri yang mengangkat topik itu. Suaranya terdengar dipenuhi nostalgia ketika ia membicarakan pengalamannya saat bertemu Xion untuk pertama kalinya dan kemudian saat ia dan pemuda itu sama-sama dihukum oleh Pak Olten karena dianggap mengacau di kelas.     

"Ahhh.. masa kecilku di istana sangat tidak menyenangkan, karena nenekku cukup keras," kenang Therius. "Aku selalu menantikan masa-masa aku kembali ke akademi."     

"Hmmm.. aku senang kau menyukai pengalamanmu di sini," kata Emma.     

"Yahh.. kalau aku tidak beruntung memiliki kekuatan istimewa sebagai mage, aku rasa aku tidak akan pernah keluar istana. Aku akan dididik guru-guru suruhan nenekku hingga aku dewasa, dan tidak akan pernah melihat dunia," komentar Therius.     

"Hmm... " Emma terdiam sesaat. Ia menatap Therius agak lama, namun tidak juga berkata-kata, sehingga membuat Therius keheranan.     

"Apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Therius yang memperhatikan sikap Emma yang menurutnya berbeda dari biasanya. "Apakah ada yang salah? Ada yang menyakitimu?"     

Emma menggeleng ketika mendengar pertanyaan Therius yang diucapkan dengan nada kuatir.     

"Ahaha.. bukan itu. Aku hanya merasa bersyukur karena kau sangat mendukungku dan membiarkanku melakukan apa yang kuinginkan," kata Emma. Ia menarik napas panjang. "Terima kasih karena telah memberiku kepercayaan untuk melihat dunia luar, bertemu orang banyak, dan berteman. Terima kasih karena tidak menuntutku macam-macam..."     

Ahhh.. Emma tidak tahu betapa sulitnya bagi Therius melepas gadis itu keluar ibukota dan menjalani hidup sebagai mahasiswa. Kalau ia boleh mengikuti keinginannya sendiri, ia lebih memilih agar Emma selalu bersamanya, setiap saat, setiap waktu...     

Tetapi, ia telah belajar untuk tidak egois saat Emma berada dalam ancaman maut. Ia sadar bahwa ia telah banyak berbuat egois di masa lalu dan ia ingin menebus itu semua. Lagipula, ia percaya bahwa Emma akan setia. Bagaimanapun Emma telah memilihnya dan bukan yang lain...     

Emma bahkan tidak memilih Xion, sahabatnya, yang menurut Therius adalah laki-laki yang jauh lebih baik daripada dirinya. Karena itulah, Therius merasa ia tidak perlu takut istrinya akan bertemu dan menyukai lelaki lain.     

Ia telah melihat sendiri betapa setianya Putri Arreya kepada Jenderal Kaoshin Stardust selama belasan tahun mereka terpisah. Ia yakin... Emma sama seperti ibunya.     

"Heii... tidak usah mengucapkan terima kasih," kata Therius dengan lembut. "Aku hanya ingin kau bahagia."     

Emma mengangguk, tetapi wajahnya tetap terlihat dipenuhi rasa terima kasih. "Aku bahagia. Aku rasa pengalamanku di sekolah kali ini akan menyenangkan."     

"Aku bertemu beberapa gadis sebayaku dan kurasa aku bisa berteman dengan mereka...."     

Ia menghentikan ucapannya. Therius mengerti, pasti ada sesuatu yang membuat Emma tidak melanjutkan ucapannya.     

"Tapi...?" tanya Therius. "Apakah ada yang mengganggu pikiranmu?"     

"Hmmm..." Emma memutar matanya saat mengingat kembali obrolan gadis-gadis di mejanya. Dengan agak kesal ia lalu menceritakan apa yang terjadi di acara makan malam bersama. Therius hanya mendengarkan dan kemudian tersenyum.     

Ahh.. seingatnya, memang rata-rata gadis seumuran Emma seperti itu. Ia ingat teman-teman sekolahnya dulu juga begitu. Bukan mereka yang salah. Emma saja yang berbeda dari gadis sebayanya. Hal itu juga yang membuatnya semakin bertambah-tambah cinta kepada istrinya ini.     

Emma adalah gadis yang istimewa, dan berbeda dari yang lainnya.     

"Mereka tidak bermaksud buruk. Itu karena mereka masih muda. Nanti seiring dengan mereka semakin dewasa, pemikiran mereka juga akan berubah," kata Therius akhirnya. "Kurasa nanti kau akan cocok berteman dengan orang yang lebih tua darimu atau yang sama-sama berjiwa dewasa sepertimu."     

"Hmm.. kau benar. Mereka tidak buruk. Hanya saja aku kurang suka menghabiskan banyak waktu dengan mereka."     

"Kalau kau tidak suka, kau tidak harus menghabiskan waktu dengan siapa pun. Ada banyak kegiatan yang bisa kau lakukan sendiri untuk mengisi waktu. Aku akan memberi tahu beberapa tempat menarik yang bisa kau kunjungi saat ada di akademi," kata Therius.     

"Baiklah. Aku suka itu," kata Emma akhirnya. Ia kemudian teringat bahwa tadi ia bertemu seorang telemancer lain yang dapat membaca pikirannya. Ia memutuskan untuk meminta bantuan suaminya agar ia merasa lebih aman.     

"Ngomong-ngomong, tadi di akademi aku bertemu seorang telemancer, kakak kelasku," kata Emma kemudian. "Dia dapat membaca pikiranku dan tahu bahwa aku adalah ratu Akkadia. Aku sudah menyuruhnya untuk merahasiakan identitasku... tapi..."     

"Tapi apa, sayang?" tanya Therius dengan penuh perhatian.     

"Apakah ada cara untuk menghindarinya? tanya Emma. "Aku tidak ingin merasa telanjang secara mental di depan orang lain. Aku tidak suka jika orang lain membaca pikiranku."     

"Telemancer?" Therius mengerutkan keningnya.     

Telemancer termasuk sangat langka dibandingkan jenis mage yang lainnya seperti aeromancer, herbomancer dan pyromancer. Karena itu, ia kaget saat mendengar Emma mengatakan bahwa ada kakak kelasnya yang merupakan seoarang telemancer.     

Emma lalu menceritakan tentang Bastian dan meminta pendapat suaminya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.