Putri Dari Akkadia: Cinta Setinggi Langit Dan Bintang

Rumahku, Istanaku



Rumahku, Istanaku

0Emma sama sekali tidak berkedip saat ditatap Bastian seperti itu. Baginya pemuda itu seperti angin lalu. Sepertinya, Bastian baru pertama kali bertemu dengan gadis yang sama sekali tidak mempedulikan kehadirannya.     

Ia menjadi keheranan dan tanpa sadar menghentikan langkahnya di samping kursi Emma. Menatap gadis itu dengan keheranan, mengerutkan keningnya, dan kemudian melangkah pergi.     

Tindak-tanduk sang ketua murid tidak lepas dari pengamatan para siswa yang ada di aula. Banyak gadis yang memiringkan kepala berusaha mencari tahu siapa gadis yang menarik perhatian Bastian dan berhasil menemukan sosok Emma yang duduk tenang di kursinya.     

Setelah Bastian pergi, pandangan gadis-gadis itu menjadi terfokus kepada Emma semua orang ingin tahu siapa ia sebenarnya dan apakah ia memiliki hubungan Bastian.     

Saat itu Emma tidak perlu membaca pikiran orang-orang dengan menggunakan telemancy untuk mengetahui bahwa fokus banyak orang di aula sekarang tertuju kepada dirinya. Ugh... ia sungguh tidak menyukai situasi ini.     

Dulu pun sewaktu ia masih di bumi, Emma selalu berusaha untuk tidak menarik perhatian. Namun, sayangnya dengan penampilan Emma yang sangat cantik dan berbeda dari manusia kebanyakan ia pasti akan selalu menarik perhatian orang-orang di manapun ia berada.     

Wajahnya yang cantik dan sikapnya yang dingin serta misterius membuat orang-orang tidak dapat mengalihkan pandangan mereka darinya. Terlebih lagi Emma juga sangat pandai. Ketika ia harus berinteraksi dengan teman-teman sekolahnya dan juga guru, mereka akan langsung mengetahui kelebihan gadis itu.     

Percuma saja Emma berusaha menyingkir ke sudut dan menutup diri, ia akan tetap menjadi pusat perhatian.     

Ia dapat membayangkan, kalau ia datang dengan menggunakan identitas aslinya, perhatian yang ia terima dari orang-orang di sekelilingnya tentu akan lebih mengganggu.     

Kini, hal itu terjadi lagi. Rupanya di hari pertama ia sekolah tanpa sadar Emma telah menjadikan dirinya musuh bersama bagi kebanyakan siswa perempuan yang sepertinya menyukai Bastian.     

Dasar Bastian brengsek, omel Emma dalam hati. Untungkah Bu Atena segera mengalihkan perhatian orang-orang kepada dirinya. Dengan wajah yang ceria, ia menyapa mereka semua dan memanggil nama para siswa baru satu persatu dan mengumpulkan mereka sesuai dengan asrama mereka.     

Emma dan Ulla kebetulan berada di bagian asrama yang sama, dengan kamar mereka letaknya berdekatan. Menara Merah dikhususkan untuk siswa laki-laki dan Menara Biru untuk siswa perempuan.     

Emma dan Ulla mendapatkan kamar di lantai 6 yang terdiri dari 20 kamar. Pengaruh telemancy Emma terhadap gadis itu sudah hilang ketika mereka berdua naik lift menuju lantai 6 dan Ulla kembali berceloteh tentang gedung tempat tinggal mereka, barang-barang apa saja yang ia bawa dari rumah dan macam-macam hal lainnya.     

Sebenarnya Emma menganggap Ulla manis dan menyenangkan, tetapi ia tidak tahan mendengar betapa banyaknya gadis itu bicara. Ketika ia berhasil masuk ke kamarnya dan menutup pintu, Emma merasa lega sekali.     

Ia menghempaskan tubuhnya di tempat tidur dan memejamkan mata.     

Ahh.. dulu ibunya pasti tinggal di Menara Biru juga, dan ayahnya di Menara Merah. Di manakah pertemuan pertama mereka? Apakah di aula tempat penyambutan siswa baru seperti tadi?     

Setelah puas membayangkan wajah kedua orang tuanya, Emma lalu membuka mata dan memperhatikan sekelilingnya. Kamarnya berukuran sedang. Mengingatkannya akan kamarnya di apartemen Oma Lin dulu saat ia masih tinggal di Singapura.     

Di dalam kamar itu ada tempat tidur yang berukuran tunggal, lemari untuk menyimpan barang-barang pribadi, perangkat hiburan, dan kursi meja untuk belajar. Di balkonnya ada sebuah meja dengan dua kursi untuk menerima tamu dan menikmati teh sore, jika ia ingin.     

Ahh... ada satu hal yang kurang, pikir Emma.     

Ia menggerakkan tangannya dan sekejap kemudian tumbuh beberapa tanaman hias yang sangat cantik di dua buah pot yang ada di balkonnya, membuat suasana menjadi hijau dan terlihat segar.     

"Ahh... rumahku, istanaku," gumam Emma sambil tersenyum.     

Ia menarik napas dalam-dalam dan menikmati rumah barunya. Ini akan menjadi rumah bagi Emma selama tiga tahun mendatang. Entah bagaimana ia merasa sangat mudah untuk beradaptasi dengan kamar barunya di akademi sini.     

Mungkin ini karena Emma menghabiskan sebagian besar hidupnya di panti asuhan dengan kamar yang sangat sederhana.     

Kamar tidurnya yang mewah yang ia tempati bersama suaminya sungguh indah, tetapi Emma membutuhkan waktu untuk terbiasa dengan semua keindahan dan kemegahan yang ada di istana.     

Ah ... Emma menjadi teringat bahwa ia perlu berbicara dengan suaminya dan menanyakan bagaimana kabarnya.     

Emma menekan tombol di tabletnya dan menghubungi Therius.     

"Hei, Sayang ... kau sekarang di mana?"     

Therius sangat senang karena istrinya berinisiatif meneleponnya. Suara pria itu dipenuhi dengan kehangatan saat dia menjawab sapaan Emma.     

"Aku baru meninggalkan hotel dan sekarang sedang dalam perjalanan ke bandara. Aku akan segera kembali ke Winstand."     

"Baiklah. Hati-hati di jalan. Kabari aku kalau kau sudah tiba di Kotaraja."     

"Baiklah. Aku mencintaimu!" kata Therius. Suaranya terdengar sangat bahagia.     

"Hati hati."     

Ketika Emma memutuskan hubungan, ia merasa agak menyesal tidak membalas kata-kata cinta suaminya. Bukankah tadi ia sudah mulai merasakan kehilangan saat Therius pergi meninggalkannya?     

Bukankah itu tanda bahwa ia sudah mulai mencintai suaminya? Ia yakin Therius akan sangat senang mendengarnya dari Emma.     

Ahh... sekarang sudah terlambat, pikir Emma sedikit menyesal.     

Ia memutuskan untuk menghubungi Therius besok dan bicara lebih lama setelah suaminya tiba kembali di istana dan tidak sibuk.     

Ia akhirnya memutuskan untuk mengatur barang barangnya pribadinya di kamar asrama. Emma lalu membersihkan diri di kamar mandi dan berganti pakaian agar ia siap untuk acara makan malam penyambutan siswa baru.     

Karena memang ia terbiasa tidak memiliki banyak barang, maka kegiatan merapikan kamarnya berlangsung dengan sangat cepat. Emma senang melihat barang-barang yang disiapkan oleh para pelayannya terlihat sangat sederhana. Sangat sesuai dengan seleranya.     

Sebenarnya, Emma dapat mengenakan pakaian mewah, perhiasan, dan berbagai barang-barang mahal lainnya yang diberikan oleh Therius kepadanya di istana. Namun, ia sama sekali tidak terikat kepada barang-barang itu.     

Baginya, pakaian adalah pakaian baik itu berbahan mahal ataupun murah. Apalagi sekarang dengan statusnya sekarang yang sedang dalam penyamaran sebagai gadis dari kalangan biasa, tentu ia tidak dapat mengenakan pakaian yang mahal atau mewah.     

Setelah Emma selesai membersihkan diri dan mengenakan pakaian sederhana berwarna hitam, ia lalu menyeduh teh dan memutuskan duduk untuk di balkonnya dan menikmati pemandangan keluar.     

Acara makan malam penyambutan murid baru yang tadi disampaikan oleh Bastian masih satu jam lagi. Ia merasa perlu untuk mencari kesibukan sambil menunggu.     

Cit cit cit!     

Emma menoleh ke belakang ketika mendengar suara mencicit nyaring. Ia menemukan seekor burung berwarna keemasan yang sangat cantik hinggap di dahan tanaman yang barusan ia tumbuhkan.     

Burung itu berukuran sebesar kepalan tangan dengan ekor yang panjang dengan bulu-bulu yang mengingatkan Emma pada ekor merak.     

"Heii... kau cantik sekali," kata Emma sambil mengangkat tangannya hendak membelai burung itu. Ia tidak mengira burung cantik itu tidak kabur dan malah menggosok-gosokkan kepalanya ke tangan Emma.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.