Putri Dari Akkadia: Cinta Setinggi Langit Dan Bintang

Bastian Moshe



Bastian Moshe

0Tidak sekalipun Emma pernah memandang rendah kepada Haoran. Ia tahu bahwa walaupun Haoran bukan seorang yang memiliki kekuatan ajaib, pemuda itu memiliki begitu banyak kelebihan yang dapat membuat Emma kagum dan jatuh cinta kepadanya.     

Sehingga, saat Emma mendengar kata-kata Ulla bahwa orang biasa seharusnya tidak menjalin hubungan kasih dengan seorang mage, Emma merasa tersinggung.     

Ia merasa bahwa kekuatan yang mereka miliki ini bukanlah hal istimewa karena upaya mereka sendiri. Orang-orang yang terlahir sebagai mage hanyalah orang yang memperoleh keberuntungan.     

Mereka dapat mengendalikan elemen dari lahir, bukan karena mereka bekerja keras memperolehnya. Jadi.. sebenarnya, tidak ada yang perlu dibanggakan.     

Ia lalu memutuskan untuk menegur teman sekolah barunya itu.     

"Ulla, kekuatan yang kita miliki ini tidak boleh membuat kita menyombongkan diri. Kita memperolehnya secara kebetulan, bukan karena kita istimwa. Kita hanya BERUNTUNG dipilih oleh semesta untuk menjadi utusan para dewa yang dapat mengendalikan elemen," kata Ema dengan nada suara datar.     

Ulla mengerutkan keningnya mendengar ucapan Emma. Ia masih berusaha membantah. "Aku tidak menyombongkan diri. Tapi kurasa, kita memang orang yang istimewa. Kalau kekuatan kita ini tidak istimewa, maka semua orang akan memilikinya."     

"Kurasa tidak begitu. Siapa pun orangnya, kalau dia beruntung dia bisa menjadi mage. Ini bukan suatu hal yang harus dibanggakan," kata Emma lagi. Nada suaranya mulai terdengar dingin.     

Ulla menatap Ema dengan ekspresi heran. "Kenapa kau merendahkan mage? Kita Justru harus bangga dengan kemampuan yang kita miliki."     

Emma menggeleng tidak sabar. "Aku merasa tidak ada yang perlu dibanggakan dan kemampuan yang kita miliki tidak menjadi alasan untuk kita merendahkan orang lain. Aku mengenal orang-orang yang membuatku sangat kagum walaupun mereka tidak memiliki kemampuan untuk mengendalikan elemen. Kekasihku yang pertama adalah seorang manusia biasa. Ia selalu membuatku merasa aman dan dilindungi."     

Ulla tampak sangat kebingungan. "Aku tidak mengerti. Bagaimana bisa kau kagum pada orang yang tidak memiliki kemampuan mengendalikan elemen? Memangnya dia bisa apa?"     

"Ada banyak hal yang dia bisa lakukan," kata Emma. "Saat aku bersamanya, aku merasa aman. Aku merasa terlindungi. Aku merasa semua yang ia lakukan sangat cerdas dan aku sangat kagum kepadanya."     

Senyum lebar merekah di wajah Ulla saat ia menyentuh bawa Ema dan menepuk-nepuknya seolah memberikan pengertiannya. Ia bicara dengan suara penuh semangat. "Aku mengerti, ini yang dinamakan cinta itu buta. Karena dia kekasihmu, maka walaupun bukan seorang mage, kau membelanya mati-matian."     

"..."     

"Yah, aku mengerti sih. Ini karena kau seorang herbomancer. Apalagi gadis yang lembut dan manis sepertimu mungkin tidak terlalu dapat menghargai kekuatan ajaib seperti pyromancy. Apalagi kekuatan offensive (menyerang) lainnya. Aku mengerti kalau kau menyukai seorang manusia biasa."     

Emma akhirnya tidak melanjutkan pembicaraan. Ia menarik napas panjang, memutar matanya dan mengalihkan pandangan ke depan untuk mendengarkan kata-kata Dekan Anrankin.     

"Sekarang, mari kita sambut ketua dewan murid kita untuk tahun ini, Bastian Moshe." Dekan Anrankin menutup pidatonya yang disambut dengan tepuk tangan meriah para siswa baru. Kemudian, naiklah seorang pemuda tampan berambut rapi berwarna kemerahan ke atas podium.     

Suara desahan tertahan para siswa perempuan segera memenuhi aula. Emma menyipitkan matanya dan mengamati lelaki yang ada di panggung, untuk mengetahui kepada gadis-gadis menjadi ribut.     

"Itu Bastian," bisik Ulla dengan suara berbisik. Emma dapat merasakan nada bangga dalam suaranya.     

Namun lagi-lagi ekspresi Ema datar saja dan hal ini membuat Ulla kecewa. Tadinya ia mengira Emma akan sama seperti gadis-gadis lainnya di sekitar mereka yang mendesah tertahan dan menatap ke arah panggung dengan mata penuh kagum.     

Ulla lalu mengerutkan keningnya dan menatap Emma keheranan. "Kau ini perempuan normal atau tidak sih?"     

Sikap Ulla yang terus-menerus membanggakan sepupunya dan menjadi kecewa karena Emma tidak juga terlihat kagum saat Bastian mau muncul di atas panggung, akhirnya membuat Emma terganggu.     

Gadis cantik itu menyentuh pundak Ulla dan menatap matanya sambil menggeleng pelan, seolah mengatakan, 'berhentilah, Ulla.'     

Tidak lama kemudian, gadis berambut biru itu pun diam. Ia mengerjap-kerjapkan matanya dan kemudian memfokuskan perhatiannya ke arah panggung. Akhirnya suasana menjadi tenang, pikir Emma.     

Ia juga mengarahkan pandangannya kepada Bastian yang sedang menyapa para murid baru dan membahas tentang dewan siswa serta berbagai acara sekolah yang akan diselenggarakan oleh dewan siswa selama setahun ke depan.     

Karena Ulla yang cerewet tidak lagi berbicara, Emma dapat mendengarkan dengan tenang. Sebenarnya Emma tahu ia seharusnya tidak mengendalikan pikiran teman sekolahnya. Ini hanyalah jalan pintas karena ia sedang tidak ingin diganggu oleh celotehan Ulla yang tidak ada habis-habisnya.     

Dalam hati Emma sempat berpikir kenapa ia bisa merasa sangat terganggu dengan celotehan Ulla yang tidak hentinya. Kalau dipikir-pikir, Xion juga sangat banyak bicara tapi Emma tidak pernah merasa terganggu.     

Ahh.. mungkin ini karena Xion tidak pernah bicara kosong dan kata-katanya sebenarnya selalu menyenangkan. Sementara Ulla.. dari tadi hanya bergosip saja, pikir Emma.     

Mengingat Xion, perasaan Emma menjadi sedih. Ia dapat membayangkan tentu perasaan Therius saat ia datang ke akademi ini diliputi kesedihan. Ia pasti akan teringat akan masa lalu ketika ia masih bersahabat dengan Xion.     

Mungkin itu yang menyebabkan tadi wajahnya sebelum pergi tampak sedih, pikir Emma. Therius dan Xion bertemu di akademi dan menghabiskan begitu banyak waktu bersama.     

Emma memutuskan untuk segera menghubungi Therius dan menanyakan kabarnya begitu Ia mendapatkan kamar asrama untuk ia tempati.     

Ia lalu kembali memusatkan perhatian ke panggung dan mengamati sang ketua murid. Bastian terlihat seperti seorang pemuda yang sangat cerdas.     

Kata-katanya teratur dan berartikulasi dengan baik. Ia juga bersikap sangat tenang dan dewasa, walaupun semua orang dapat melihat betapa gadis-gadis di aula itu semua mengidolakannya.     

Yah, ia tidak terlihat seperti lelaki sombong yang tahu bahwa semua gadis ingin menjadi kekasihnya. Sikapnya sangat mengesankan.     

"Baiklah. Sekali lagi, selamat datang di Mage Academy. Aku harap kalian akan menikmati masa-masa kalian belajar di sini selama 3 tahun ke depan. Kita akan mengadakan beberapa kegiatan gabungan antara murid-murid tahun pertama, kedua, dan ketiga. Ada juga berbagai perayaan yang kurasa pasti akan membuat kalian senang."     

Ia lalu menutup sambutannya. "Setelah kalian merapikan barang-barang kalian di kamar asrama masing-masing, silakan berkumpul di ruang makan. Kami akan mengadakan perjamuan untuk menyambut kehadiran adik-adik kelas malam ini."     

Setelah Bastian mengakhiri pidatonya semua orang bertepuk tangan dengan meriah. Ketika ia turun dari panggung dan berjalan ke belakang, langkahnya melewati barisan kursi tempat Ulla dan Emma duduk.     

Ia mungkin mengenali Ulla dan hendak menyapanya, tetapi tanpa sengaja pandangannya tersapu pada gadis cantik yang duduk di sebelah Ulla.     

Bastian menatap Emma tanpa berkedip.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.