Putri Dari Akkadia: Cinta Setinggi Langit Dan Bintang

Ibu (2)



Ibu (2)

0'Maafkan aku, Xion... aku tidak tahan lagi... Aku sangat merindukan ibuku. Maafkan aku....'     

Pertahanan Emma runtuh, saat ia bergerak menghambur memeluk ibunya, Putri Arreya dengan air mata berderai. Ia sangat merindukan ibunya seumur hidupnya.     

Wajah Arreya tampak sangat terkejut ketika melihat gadis asing itu menangis dengan begitu pedihnya dan berjalan menghampirinya. Sepasang matanya membulat ketika ia melihat betapa wajah gadis itu tampak begitu mirip dengannya.     

Tiba-tiba saja, dari sudut matanya ia melihat kelebat seorang laki-laki melayang masuk. Belum sempat ia bereaksi, tiba-tiba semua membeku.     

Langkah Emma seketika terhenti ketika ia merasakan sekelilingnya seolah berubah menjadi lukisan diam. Tidak ada yang bergerak dan tak ada suara sama sekali.     

Tanpa sadar ia menahan napas. Arreya tampak membeku di depannya dengan ekspresi kaget dan sepasang mata membulat, sementara di sebelah kanannya ada Kaoshin yang berdiri tegap dan memperhatikan Emma dengan penuh selidik. Emma juga melihat Therius kecil tidak bergerak di tempatnya.     

Apa yang terjadi sebenarnya? Emma merasa sangat keheranan. Rasanya ia seperti berada di dalam lukisan... atau film diam.     

"Aku mengerti kau tidak dapat menahannya lagi... Pasti rasanya sangat berat." Emma kemudian mendengar suara yang dikenalnya bicara dengan nada lembut. "Kau jangan merasa bersalah."     

Barulah Emma menoleh dan melihat kehadiran Xion. Rupanya di detik terakhir, pemuda itu datang tepat waktu untuk menghentikan Emma.     

Waktu berhenti dan semuanya menjadi diam. Hanya mereka berdua yang dapat bergerak. Emma menggigit bibirnya dan membenamkan wajahnya di kedua tangannya. Ia lalu menangis tersedu-sedu.     

"Maafkan aku... maafkan aku, Xion... aku sangat merindukan ibuku..." Tangisnya terdengar sangat pedih.     

Emma hanya ingin bertemu kembali dengan kedua orang tuanya. Seharusnya ia berterima kasih kepada Xion yang telah membawanya kembali ke masa lalu, demi agar ia dapat melihat mereka kembali untuk terakhir kalinya...     

Tetapi Emma menjadi serakah dan ingin memeluk ayah dan ibunya. Ia hampir saja mengacaukan alur waktu. Hal ini membuatnya merasa sangat bersalah.     

Xion berjalan menghampiri Emma dengan ekspresi sedih. Entah kenapa, saat melihat Emma berduka, hatinya ikut merasa pedih, seolah-olah kesedihan gadis itu adalah kesedihannya sendiri.     

"Emma..." Suara pemuda itu terdengar lembut dan penuh perhatian. "Kau boleh memeluk ayah dan ibumu sepuasnya. Aku menghentikan waktu untukmu, agar kau dapat memeluk mereka."     

Emma tertegun mendengar kata-kata Xion. Ia menurunkan tangannya yang menutupi wajahnya dan menatap pemuda itu dengan ekspresi tidak percaya. Wajahnya dan pakaiannya bagian atas telah basah oleh air mata.     

"Be-benarkah?" tanyanya dengan suara serak. Xion mengangguk. Ia tersenyum dan mengunjukkan dagunya ke arah Arreya yang membeku di tempatnya.     

"Setelah kau puas memeluk orang tuamu, kita akan pulang. Mereka tidak akan sempat menanyai kita," kata Xion tenang.     

"Tapi, mereka telah melihatku..." bisik Emma cemas. "Bagaimana kalau mereka curiga? Ini semua salahku. Seharusnya aku dapat lebih menahan diri."     

"Tidak apa-apa, Emma," bujuk Xion. "Ini kesempatan terakhirmu untuk melihat mereka. Ucapkan selamat tinggal."     

Setelah Xion meyakinkannya, akhirnya Emma mengangguk. Ia mengusap matanya yang basah dan menghampiri Arreya. Dengan penuh kerinduan, ia lalu memeluk ibunya lama sekali.     

Tubuh Arreya yang hangat membuat hati Emma yang sudah membeku cukup lama akibat kesedihan demi kesedihan yang ia alami, perlahan terasa menghangat. Ia akhirnya merasakan kelegaan di dalam hatinya, serta kerinduan yang terlepas.     

"Ibu... aku sangat mencintaimu... Aku sangat merindukanmu.." bisik Emma berkali-kali. Setelah beberapa menit, akhirnya ia memaksa diri melepaskan pelukannya. Ia tahu mereka tidak boleh berlama-lama. Ia lalu mencium pipi Arreya dengan penuh kasih sayang dan membelai pipinya, berusaha berhenti menangis. "Selamat tinggal."     

Ia lalu berjalan menghampiri ayahnya dan berdiri di depan jenderal tampan itu. Emma menggigit bibir dan menatap wajah ayahnya yang sangat ia rindukan itu. Air matanya tak dapat ditahan lagi, kembali membanjir.     

"Ayah.. aku sangat merindukan ayah.. aku sangat ingin bisa kembali melihat ayah menghidupkan tanaman di bumi.. aku sangat ingin tinggal bersama ayah kembali. Aku sangat mencintaimu, Ayah.. kau adalah orang terbaik yang pernah aku kenal. Aku merasa sangat bangga dan beruntung terlahir sebagai anak perempuanmu..." Emma lalu memeluk Kaoshin dengan emosional. "Kumohon jaga ibu baik-baik. Aku bahagia karena akhirnya kalian berdua dapat bersatu."     

Rasanya, bagi Emma, melepaskan pelukannya dari Kaoshin sangatlah berat. Kalau tidak mengingat betapa Xion pasti mengeluarkan energi sangat besar untuk melakukan semua ini bagi dirinya, Emma pasti akan terus berlama-lama memeluk orang tuanya.     

"Selamat tinggal, Ayah..." Emma lalu mencium pipi Kaoshin dan mengusap wajah ayahnya dengan sedih, sebelum kemudian melangkah mundur dan mengamati Kaoshin dan Arreya yang membeku. "Selamat tinggal, Ibu."     

Xion menggenggam tangan Emma untuk menenangkannya, lalu menarik gadis itu berjalan pergi meninggalkan gudang.     

"Ayo kita pergi dari sini," bisik pemuda itu lembut. "Kau terluka dan harus segera diobati."     

Emma mengangguk dan berjalan mengikuti Xion, tetapi sesaat kemudian langkahnya menjadi limbung dan ia pun terjatuh. Tubuhnya yang terluka akibat menerima serangan-serangan para penjahat tadi akhirnya terasa sakit, ditambah dengan keadaan emosional yang ia alami saat melihat kedua orang tuanya, akhirnya membuat Emma tumbang.     

"Emma!" Untunglah Xion cepat bergerak. Ia telah menahan tubuh Emma dan segera menggendongnya dengan kedua tangannya.     

Ketika ia hendak memejamkan mata dan kembali ke masa depan, tiba-tiba saja Xion tertegun. Ia menarik napas panjang menatap wajah Emma yang sedang pingsan dalam dekapannya.     

Setelah mereka kembali ke masa depan, ia akan meninggalkan Emma bersama Therius dan pulang ke gunung. Ia tidak akan pernah menemui mereka lagi. Hatinya terlalu sakit melihat Emma menikah dengan Therius.     

Tapi di masa lalu... ia dapat melihat Emma, memeluknya, dan menggendongnya seperti ini.     

Xion merasakan dadanya sesak. Betapa besarnya godaan untuk tetap tinggal di masa lalu atau membawa Emma ke masa yang lain, agar mereka dapat hidup berdua, tanpa Therius dalam hidup Emma.     

Setelah menahan diri dengan susah payah, akhirnya Xion menyerah. Ia mencium kening Emma dan menangis terisak-isak. Pelukannya pada tubuh Emma semakin erat. Betapa ia sangat mencintai gadis ini dan ingin bersama dengannya...     

Namun ia tidak mau menjadi bermusuhan dengan Therius karena memperebutkan Emma. Ia juga tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi kalau ia membawa lari Emma dari Therius. bisa jadi Therius akan menjadi sangat marah dan entah apa yang akan ia lakukan untuk melampiaskan kemarahannya.     

Setelah menguatkan dirinya dan menghentikan air matanya, Xion memejamkan mata dan berkonsentrasi. Saatnya ia dan Emma pulang.     

Seketika suasana di sekitar mereka kembali berubah menjadi seperti video time lapse. Arreya, Kaoshin, Therius kecil menghilang, dan suasana di sekitar mereka juga berubah. Perlahan-lahan mereka kembali ke masa depan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.