THE RICHMAN

The Richman - Red Thread



The Richman - Red Thread

0Saat tersadar, Christabell sudah duduk di sebuah kursi, sementara tangannya di ikat di kedua sisi kursi. Matanya tertutup dengan kain hitam yang tersimpul di belakang kepalanya. Dia menjadi gusar dan kebingungan. Jangungnya berdegup kencang, dia merasakan ketakutan seketika.     

Sementara hal terakhir yang dia ingat adalah pertemuannya dengan Ms. Parish. Christabell merasakan bayinya menendang-nendang, tapi dia tak bisa menyentuh perutnya untuk menenangkan bayi dalam kandungannya itu.     

Tiba-tiba terdengar suara ketukan langkah mendekat ke arahnya, diiringi dengan suara yang terdengar familiar. "Mrs. Anthony..." Rupanya itu adalah Ms. Parish yang berjalan mendekati Christabell dan membuka ikatan yang menutup mata Christabell, hingga membuat wanita itu bisa melihat tempat dirinya disekap.     

"Apa yang kau inginkan?" Tanya Christabell dengan suara gemetar.     

Ms. Parish menatap perut buncitnya dengan tatapan penuh kebencian. Andai saja bisa, Christabell benar-benar ingin menyembunyikan bayinya di tempat lain yang aman. Apalagi wanita di hadapannya itu menatap perutnya dengan pistol yang terarah ke perutnya. "Jangan sakiti bayiku." Christabell memohon.     

"Arrrrgggghhhhh!!!" Ms. Parish berteriak kesal, dia menendang kursi lain yang ada di dekat tempat Christabell duduk dengan sangat marah hingga kursi itu jatuh ke lantai dengan keras. Christabell menutup matanya, dia semakin ketakutan menghadapi wanita itu. Meski begitu, dia masih berusaha bernegosiasi semampunya, jika saja yang diingikan wanita itu hanya uang, Christabell bisa memberikannya dan pergi dari tempat itu, "Apa yang sebenarnya kau inginkan?" Tanyanya sekali lagi.     

Ms. Parish mendekatinya dan dengan ujung senjatanya dia menangkat dagu Christabell hingga mereka saling menatap. "Melenyapkanmu." Jawab Parish dengan suara tertahan. "Melenyapkanmu dan bayimu." Tegas Ms. Parish.     

Christabell menelan ludah, dia benar-benar ketakutan, namun gerakan bayi di dalam perutnya menyadarkannya, bahwa yang harus dia lakukan hanya berpikir jernih, berusaha untuk menyelamatkan dirinya dan sang bayi. Dia benar-benar ingin hidup demi bayinya, apapun caranya.     

"Jika kau membunuhku, kau tidak akan mendapatkan apapun." Ujarnya berusaha menyembunyikan rasa takutnya, "Jika kau menghubungi suamiku, kau mungkin bisa mendapatkan uang tebusan." Christabell berusaha memberikan pilihan pada Ms. Parish, mungkin saja yang diinginkan wanita itu hanya uang suaminya.     

Ms. Parish memutar matanya, dia tertawa terbahak. "Kau pikir aku menginginkan uang suamimu?" Tanyanya dengan tatapan membunuh pada Christabell. "Oh, kau sudah sangat menyusahkanku Christabell. Kau melemparkan kotoran diwajahku, sementara aku memeperlakukanmu bagaikan berlian." Kesalnya.     

Bell menghela nafas dalam. "Jadi ini soal agency?"     

Mrs. Parish menarik bangku lalu duduk di sebelah Bell. "Kau pikir apa? Aku membangun karirku di tempat itu bertahun - tahun lalu kau datang dan mengacaukannya dalam hitungan kurang dari sebulan." Paris menodongkan pistolnya di pelipis Bell, membuat wanita itu memejamkan matanya. Dalam hatinya terus bicara pada sang bayi.     

"Mommy will save you." Batinnya.     

"Suamiku kaya raya, dan kau pasti tahu betul itu. Kau bisa minta tebusan padanya dan memulai hidup baru di tempat lain." Bell menawarkan solusi, berusaha menyembunyikan getaran ketakutan dalam hatinya demi sang buah hati.     

"Oh... ide yang bagus." Paris menarik revolver dari pelipis Bell dan memainkannya. "Sayangnya dendamku padamu tak cukup dibayar dengan uang." Kalimat Ms. Parish di tutup dengan tawa yang keji. Entah apa yang merasuki wanita ini, tapi dia benar-benar terlihat seperti psikopat saat ini, lengkap dengan senjata api di tangannya.     

Dada Christabell terasa sesak, tubuhnya bergetar, wajahnya memanas dan air matanya mulai berjatuhan. "Mss. Parish." Bell menelan ludah, "Kumohon jangan bunuh aku, biarkan aku pergi. Kau lihat aku sedang mengandung, please... please..."     

Mrs. Parish menatap Bell dengan tatapan tajam. "Bayi....hah?!" wanita gila itu mendekat ke arah Bell kemudian mengusap perutnya.     

"Aku kehilangan bayiku karenamu Bell...!!!" Wanita itu mendadak berteriak histeris, bangkit berdiri dan menendang kursi Bell hingga membuat kursi itu terpelanting ke lantai dan menimbulkan debam keras. Bell yang duduk terikat di sana ikut terjatuh ke samping.     

"Aku di siksa di tempat gelap itu berhari-hari hingga hampir mati, tanpa ada yang membantuku. Show tetap berlangsung sementara aku kesakitan karena tubuhku remuk dan aku kehilangan bayiku." Parish bertutur dengan cucuran air mata untuk seketika dia benar-benar terlihat sangat hancur. "Dan itu semua karena dirimu!!!" Teriaknya keras.     

"Maafkan aku, aku benar-benar tak tahu situasimu. Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan, dan mengapa kau mempersalahkanku atas apa yang terjadi padamu? Tapi jika itu benar-benar karenaku, maafkan aku. Tapi tolong jangan sakiti bayiku. " Bell terus merintih, menahan nyeri di perutnya juga tubuhnya yang terikat dengan posisi yang sangat tidak nyaman.     

"Sorry?!" Paris meringis dengan tawa kejamnya, beberapa detik setelah dia terlihat sangat sedih. "Nyawa dibayar dengan nyawa, Christabell. Kau harus tahu itu!" Paris mengarahkan pistol itu di perut Bell.     

"No... no... no..." Bell memohon, air matanya terus berderai.     

Sementara di tengah rintihan Bell, tangan Parish mulai bergetar. Dia tampak kebingungan, gusar, dan sangat kacau, dia tampak tak bisa mengendalikan emosinya.     

"Kau sangat beruntung memiliki Richman yang menerimamu, menerima bayimu. Sementara aku, Jack menolak bayiku, aku di siksa di Agency tanpa ada yang menolongku. Ironis bukan..." Parish berjalan ke arah jendela, satu-satunya tempat yang dilewati cahaya di ruangan penuh barang-barang rongsokan itu.     

Bell menelan ludah. "Itu bukan salahmu Parish, kau berhak bahagia."     

"Oh ya?" Wanita itu menatap Bell.     

"Ya." Bell berusaha meyakinkan.     

"Tapi aku tidak akan pernah bahagia sebelum menghancurkan hidupmu."     

"Oh.... Parish, aku tahu kau wanita yang baik. Kau sangat baik, dan kau tidak bisa mengotori tanganmu dengan membunuhku. Kau terlalu baik." Bell berusaha mengulur waktu.     

"STOP!!! Aku tidak ingin mendengar bualanmu lagi Christabell."     

"Parish, kau boleh menghukumku apa saja, kumohon biarkan bayiku selemat."     

"Oh, kau baru saja memberiku ide." Parish mengambil ponselnya.     

Bell berusaha bangun, posisinya terjatuh sungguh tidak nyaman.     

"Kau akan pergi dengan identitas orang lain. Jangan pernah hubungi suamimu. Karena jika aku tahu kau bertemu dengan Rich, maka teman baikmu mungkin akan kehilangan nyawanya, dengan cara yang tragis di dalam agency."     

Christabell menelan ludahnya. Bagaikan buah simalakama, antara bayinya dan Richard, tentu saja bukan pilihan. Tapi saat ini Bell tidak bisa membiarkan wanita itu berubah pikiran. Dia hanya harus pergi dari tempat ini dalam keadaan selamat bersama bayinya. Setelah berada di tempat aman, dia akan mencari jalan untuk bisa bertemu dengan Richard.     

"Ok... ok... kemanapun kau mengirimku, aku akan pergi. Tapi biarkan aku pergi dengan bayiku."     

Parish. "Kau baru saja kehilangan duniamu, dunia yang kau renggut dariku." Wanita itu membantu menegakkan kursi Bell yang terguling. Entah mengapa dibalik tubuh langsingnya dia tampak begitu kuat.     

"Apa maksudmu?" Tanya Bell.     

Parish melepas softlensenya dan menarik rambut yang ternyata adalah rambut palsu, kemudian melepas sebuah tahilalat di dagu kirinya. Rambut coklat terang bergelombang dia kibas-kibaskan tepat di hadapan Christabell.     

"Bukankah selama ini kau penasaran dengan Gabriel Zein?" Tanya Parish.     

Mata Bell terbelalak. "Are you...?"     

"Yes... I'm Gabriel Zein." Wanita itu tersenyum lebar. "Kembalikan Richard Anthony padaku." Bisiknya di telinga Bell, membuat Christabell benar-benar jijik padanya.     

"Bayi atau Richard, dan kau memilih bayi sialan itu." Parish yang adalah Gabriel Zein tertawa keras sambil meninggalkan ruangan itu, sementara Chrstabell berusaha memberontak, tapi tampaknya sia-sia. Wanita gila itu benar-benar hidup di bawah identitas orang lain selama ini. Dia terus mengawasi Bell dalam kehidupannya termasuk berbagai kejadian dalam rumahtangganya dengan Richard. Dengan putus asa Bell terduduk di kursi itu, masih dengan tangan yang terikat. Dalam hatinya dia menjerit histeris, Rich dan bayinya bukanlah sebuah pilihan, karena Bell berhak memiliki keduanya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.