THE RICHMAN

The Richman - VVIP Room



The Richman - VVIP Room

0Aku melangkahkan kaki dan berhenti didepan sebuah pintu bertuliskan VVIP Room. Kami bahkan belum pernah dibawa ke ruangan ini, karena menurut para mentor kami, ruangan ini disakralkan bagi semua warga agensi karena akan menjadi semacam surprise bagi yang mendapatkan previlege bisa menikmati fasilitas di kamar ini. Tapi bagiku, aku seperti baru saja di giring pada ambang kematianku sendiri.     

Jika tidak ditembak mati oleh pelanggan yang tidak puas pada pelayananku mungkin aku akan mati karena ketakutan yang kuciptakan sendiri didalam kepalaku.     

Aku menarik nafas dalam kemudian menghembuskannya, mengumpulkan semua keberanianku untuk melangkah masuk kedalam kamar itu. Dan setelah aku merasa cukup tenang dan percaya diri, aku mengetuk pintu itu. Sopan santun pertama yang tidak boleh kulupakan.     

Setelah mengetuk pintu, aku menarik gagang pintu dan melangkah masuk. Seluruh ruangan gelap, dan aku mengingat pesan mentorku, bahwa saklar lampu seluruh ruangan di design sama, disebelah kiri dekat dengan pintu. Aku meraba ke sebelah kiri dan menemukan saklarnya, saat aku sentuh saklar itu lampu menyala tapi redup, kulihat bayangan seorang pria duduk di sudut ruangan di sebuah sofa.     

Aku melangkah masuk dan mengucapkan salam yang diajarkan.     

"Bonjour." sapaku.     

"Bonjour senorita." jawabnya. Dan mendengar timbre suara itu membuat seluruh tubuhku meremang. Aku berdiri mematung, sementara bayangan itu bangkit dari sofa dan menghampiriku. Aku masih belum bisa melihat wajahnya dengan jelas sampai pria itu berdiri di hadapanku dan aku hampir pingsan dibuatnya. Kurasa tekanaan darahku sempat turun hingga sangat rendah kemudian kembali ke normal dalam hitungan detik hingga aku sempat merasa melayang untuk sepersekian detik.     

Aku bahkan tidak yakin jika pria yang berdiri di hadapanku adalah seorang manusia. Kupikir dia malaikat dengan rahang dan seluruh tulang wajahnya terpahat sempurna lengkap dengan kulit pucat dan bibir merah.     

"Anda tampak seperti vampire." Entah mengapa kalimat itu keluar dari bibirku begitu saja, bahkan saat aku menutup mulutku dengan kedua tanganku rasanya sia-sia karena semua sudah keluar dari mulutku. Kupikir dia akan menamparku atau apapun yang mungkin menyakitiku karena tidak terima dikatakan seperti itu, tapi ternyata dia justru tersenyum.     

Kulihat dia tersenyum ke arahku. "Bagaimana kau bisa mengatakan hal sekonyol itu?" ujarnya dengan suara berat.     

"Maaf." Aku bergidik penuh sesal, tidak seharusnya aku banyak bicara. Itu yang selalu diajarkan sebelum debut pertamaku. "Maaf jika membuatmu tersinggung Sir." Ujarku kemudian.     

Dia menarik daguku ke atas hingga aku bisa menatap matanya yang dalam, sorot matanya tak berdasar seolah baru saja menenggelamkanku.     

Sekali lagi suaranya memecah keheningan diantara kami, "Kau terlihat begitu lugu, berapa usiamu?"     

Aku menelan ludah, ini kali pertama jemari seorang pria menyentuhku, dadaku berkembang kempis menahan gejolak dalam diriku. "Aku...", Aku kembali menelan ludah, mencoba mengingat apakah aku boleh mengatakan berapa umurku yang sebenarnya atau tidak.     

"Say it." bisiknya, timbre suaranya benar-benar terdengar seperti mantra-mantra yang melumpuhkan seluruh sel otakku seketika.     

Aku tak berani menatapnya, kuputuskan menatap ke sisi wajahnya. "Twenty." ucapku     

"Oh..." erangnya, dia melepaskan tangannya dari daguku dan berjalan menjauh. "Aku tidak bisa melakukannya, you're not ready for this." Ujarnya sembari menatap keluar dinding lebar di sisi ruangan. Sementara tirainya masih terbuka, menyuguhkan kerlap-kerlip kehidupan kota New York di malam hari.     

"No no no.... I'm ready." Aku bersikeras, aku berjalan mendekatinya dan menatapnya dengan tatapan setengah memohon. Aku benar-benar tidak bisa gagal di debut pertamaku, itu yang aku tahu. Jika aku gagal maka seumur hidup aku akan ditempatkan di kelas kedua. Beberapa memberitahuku bahwa kelas kedua benar-benar neraka bagi kaum seperti kami, karena kami mungkin akan di kirim ke Las Vegas atau bahkan lintas negara, semacam diperjualbelikan, human traficking, dan itu menyedihkan. Aku bahkan tak sanggup membayangkannya.     

Apalagi mengingat komisi yang akan kuterima dari hasil penjualanku malam ini, satu juta dollar, dan aku akan menerima sepuluh persen dari komisi itu. Nilai yang begitu besar yang bisa kugunakan untuk membantu panti tempatku di besarkan.     

"Kumohon, aku sudah dilatih sedemikian rupa. Aku berjanji akan memberikan apa yang anda inginkan Sir." Ujarku memohon belas kasihannya, aku benar-benar berharap dia bisa melunak.     

Dia menghela nafas dalam, menatapku sekali lagi. "Aku tidak bisa menyentuhmu malam ini, tapi aku juga tidak bisa meninggalkanmu di tempat ini dan membiarkan orang lain melakukannya." Gumamnya, sorot matanya tampak meredup.     

"Harus kuapakan kau?" Sekali lagi dia mengangkat daguku dengan telunjuknya. Bibirnya mengerucut sekilas, kemudian disusul dengan rahang yang mengeras. Apa dia benar-benar serius dengan perkataannya barusan? Dia benar-benar peduli padaku?     

Dia menatapku lekat. "Jika aku membawamu pergi dari tempat ini, apa kau bersedia?" tanyanya lembut dan aku mengangguk. Benar-benar seperti tersihir oleh pesonanya.     

"Tapi mengapa?" tanyaku polos, aku benar-benar tidak mengerti, mengapa dia ingin membawaku pergi dari tempat ini.     

Dia menggeleng putus asa. "Aku tidak bisa membayangkan tangan pria lain menyentuhmu."     

"Bagaimana anda seyakin itu Sir?" tanyaku lagi, aku menemukan sebuah keberanian yang entah dari mana datangnya, aku bahkan berani mempertanyakaan keputusannya.     

"Aku melihat kemurnian dari matamu. Kau begitu lugu dan mudah di bodohi."     

Aku tertunduk, semua yang dia katakan benar. Aku mudah di bodohi, aku bahkan meyakinkan ibu pantiku bahwa pekerjaan ini akan cocok untukku, aku membual padanya untuk memberikan penghasilan pertamaku ke panti asuhan sebagai rasa terimakasih karena aku sudah diterima dan dibesarkan di tempat itu. Tapi sekarang apa? Tamu pertamaku bahkan enggan menyentuhku.     

"Bisakah kita tidak menghabiskan waktu untuk bicara?" Aku kembali tersadar, yang harus kulakukan adalah meyakinkan pria ini untuk menyentuhku. Dengan spontan aku berjinjit untuk meraih bibirnya dengan milikku. Dan saat aku menyentuh bibir lembutnya nan hangat jantungku berhenti berdetak, waktu seolah ikut berhenti. Kuberanikan diri untuk membuka mata karena saat aku mengecupnya aku jelas menutup kedua mataku.     

Batinku bergemuruh, perutku seperti diaduk-aduk, darahku berdesir kencang, tapi diantara semua kegaduhan dalam tubuhku aku menemukan kepalaku kosong.     

Dia menyentuh bibirnya dengan telunjuknya, kemudian menyentuh bibirku dengan ibu jarinya, seperti menghapus atau justru meraba.     

"Beraninya kau." desisnya, suaranya masih terdengar seperti mantra bagiku.     

"Maaf..." Aku tertunduk tak berani menatapnya.     

"Aku tidak bisa membiarkanmu begitu saja untuk kenakalanmu barusan." Ujarnya, itu seperti ucapan seorang pria karena harga dirinya sudah terlukai.     

"Anda ingin membalasku?" tanyaku penuh harap.     

Dia tersenyum lebar. "Tidak di tempat ini, dan tidak malam ini." Ujarnya sembari berjalan menuju sofa, dia menyandarkan tubuhnya di sofa, setengah tertidur.     

"Kemarilah." Pintanya, dan aku berjalan mendekat dengan ragu. Dia menepuk tempat di sisinya persis[WU1] dan aku membaringkan tubuhku, kepalaku bersandar di pundaknya. Aku menemukan kenyamanan yang luar biasa di sana. Sebuah kehangatan, kenyamanan, dan cinta, entahlah seperti pelukan seorang ayah mungkin? Sayangnya aku tak pernah merasakan itu, aku bahkan tak tahu siapa ayah biologisku.     

"Mengapa kau berada ditempat seperti ini? Dimana orangtuamu?" tanyanya dalam. Sebuah pertanyaan yang langsung menyentuh egoku. Apakah aku harus mengatakan kejujuran pahit yang akan membuatnya semakin mengasihaniku atau justru berbohong?     

Namun, selain polos, jujur mungkin tepat dipilih sebagai nama tengahku. "Aku tidak memiliki orang tua, aku dibesarkan di panti asuhan." ujarku lirih.     

Dia mengecup ujung kepalaku, rasanya aku ingin menangis seketika. Aku tidak tahu dan tidak pernah tahu bahwa perlakuan sesederhana ini, sekecil ini bisa membuatku begitu emosional, mataku berkaca, tenggorokanku rasanya seperti tercekat, aku menelan ludah untuk membasahinya, berusaha menetralkan perasaanku.     

"Aku tidak pernah diperlakukan semanis ini." ujarku lirih.     

Pria itu tampak tersenyum saat aku melirik keatas untuk menatapnya. "Kau harus mulai terbiasa kalau begitu."     

"Apa anda sering pergi ke tempat ini?" tanyaku lagi, rasa keingintahuanku begitu besar pada pria ini. Apakah dia manusia atau malaikat yang dikirimkan Tuhan untuk melindungi dan menghiburku malam ini?     

Dia mengerucutkan bibirnya. "Hanya jika aku ingin."     

"Seberapa sering anda ingin?"     

"Apa pentingnya bagimu?" tanyanya sembari menatapku. "Apa yang sebenarnya ingin kau ketahui?"     

Aku menghela nafas dalam. "Aku hanya berpikir, bagaimana mungkin seorang pria meninggalkan pasangannya, menghamburkan begitu banyak uang demi kenikmatan sesaat?" ujarku.     

Dia tersenyum sekali lagi. "Aku tidak pernah meninggalkan pasanganku untuk sebuah kenikmatan lain. Aku menikmati ketidakterikatanku pada siapapun, dan kebebasanku untuk memenuhi hasrat sebagai seorang pria. Soal harga yang harus di bayar, bagiku itu tidak menjadi masalah." jawabnya, bukannya berpikir buruk tentang pria ini aku justru semakin jatuh hati padanya. Dia tampak penuh dengan wibawa saat mengatakan semua itu. Apa yang dia lakukan sekarang ini adalah sesuatu yang dia sadari penuh, tidak terpengaruh oleh emosi sesaat dan dia bisa mempertanggungjawabkan semua itu sebagai pilihan hidupnya.     

"Bagaimana kalau waktunya habis dan anda tidak mendapatkan apa-apa dariku?" tanyaku ragu.     

Dia menatapku. "Kau takut aku akan menuntut uangku kembali?"     

"Mungkin." aku mengigit bibirku.     

Dia terdiam beberapa saat. "Bisakah kau berjanji untuk menyimpan ini sebagai rahasia kita?"     

"Rahasia?" Alisku bertaut bingung.     

"Jika seseorang bertanya tentang malam ini, katakan bahwa kau melayaniku."     

Aku menatapnya. "Mengapa?"     

"Ikuti saja kata-kataku." Perintahnya, ditelingaku itu terdengar seperti sebuah perintah yang jika kulanggar akulah yang akan menderita kerugian, maka aku mengangguk.     

"Yes Sir." Aku benar-benar patuh pada pria asing ini.     

Dia menatapku sekali lagi. "Satu juta dollar yang kubayarkan tidak lantas memberikan waktu semalaman, saat alarm berbunyi kita akan berpisah."     

"Alarm?" Aku bahkan tidak tahu jika hubungan semacam ini dibatasi dengan alarm.     

"Agensi kalian melindungi kalian." Ujarnya menjelaskan. "Tanpa batasan waktu yang jelas, kalian mungkin akan mengalami over exploitation." Imbuhnya.     

"Thanks." Aku benar-benar bisa bernafas lega, di malam pertamaku menjadi wanita penjaja seks komersial di kalangan elite, aku dipertemukan dengan pria sebaik ini.     

Benar saja, ada suara pengumuman soal batas waktu berakhirnya hubungan di setiap kamar. Kami bangkit berdiri dan aku bersiap untuk keluar dari kamar.     

Sebelum keluar dari dalam kamar itu dia meraih tanganku dan membuatku berbalik menatapnya. "I'll take you out of here." Ujarnya dan aku mengangguk.     

"I'll wait Sir."     

Kami berpisah begitu saja, aku meninggalkan kamar itu sementara dia sepertinya menyusul dibelakangku. Dia menuju pintu keluar sementara kami menuju ke lantai tiga untuk mengganti pakaian kami setiap kali show berakhir.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.