THE RICHMAN

Forgiveness



Forgiveness

0Christabell tidak bisa jauh dari Adrianna tapi kali ini dia benar-benar harus menuntaskan masalahnya tanpa membahayakan baby Adrianna. Jadi dia meninggalkan Adrianna dan Zoey di rumah tentu saja dalam pengawasan beberapa pengawal. Sementara tanpa memberitahu Richard, Christabell meninggalkan rumah dan berniat untuk mencari wanita yang mengaku sebagai ibunya itu.     

Meski demikian, Layla tidak meninggalkan alamat atau nomor telepon yang bisa di hubungi. Awalnya Christabell juga tak berniat untuk mencarinya sama sekali. Amarahnya terlalu besar hingga membutakannya, namun setelah dia teringat pada kejadian di Poerto Rico, di usia yang hampir mirip dengan kejadian yang hampir sama pula, rasa empati itu tumbuh.     

Christabell mengemudikan mobilnya berkeliling ke jalan-jalan kecil tak jauh dari rumahnya. Wanita itu pasti tinggal tak jauh dari rumahnya karena tujuannya adalah mencari Bell, itu yang ada di benak Christabell. Satu jam memutari jalanan dan belum sorangpun yang mirip dengan Layla dilihatnya.     

"Where are you?" Desis Bell dari balik kemudi. Seolah doa yang langsung dijawab, Bell melihat wanita dengan coat coklat berjalan berlawanan arah dengannya. Bell langsung memutar kemudinya dan membuat mobilnya menepi.     

"Layla." Panggilnya, wanita itu berhenti dan melongkok ke arah jendela mobil yang ditumpangi Christabell. Wanita berusia setengah baya itu tampak membeku menatap puteri cantiknya yang duduk di belakang kemudi mobil mewah. Hatinya mendadak mengharu biru, pilihannya soal mempertahankan Christabell sepenuhnya benar. Christabell akan memiliki kehidupan yang luar biasa baik, dia tidak akan mengalami nasib buruk seperti dirinya.     

"Masuklah." Ujar Bell ragu-ragu.     

Wanita itu tampak mempertimbangkan beberapa saat sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil Christabell. Tanpa bicara Christabell memutar kembali kemudinya dan menekan pedal gas semampunya, karena jujur saja kakinya bergetar dan mendadak terasa begitu lemas. Namun Christabell tetap berusaha mengendalikan dirinya. Meski sesunggunya berbohong dan menyembunyikan sesuatu bukanlah keahlian bell.     

***     

Kedua wanita itu kini duduk di sebuah restoran dengan makanan yang lengkap dan semua menggoyang lidah. Bukan tanpa sebab, Christabell ingin agar Layla memakan makanan enak yang mungkin seumur hidupnya tak pernah dia cicipi, meski Bell akan membayar semua tagihannya dengan uang suaminya.     

"Makanlah." Ujar Christabell canggung.     

Wanita itu tak banyak bicara, dia mengambil sendok dan garpu kemudian mulai menyantapnya. "Mengapa kau mencariku?" Tanya Layla di sela-sela menikmati makanannya.     

Christabell menyesap kopi late dari cangkirnya dan melipat tangannya di dada setelah meletakkan kembali cangkir kopi itu. "Aku hanya ingin memperbaiki kesalahanku. Aku tidak pantas memperlakukan tamu seperti yang tempo hari kulakukan padamu. Ini hanya soal sopan santun." Jawab Bell.     

Layla tersenyum. "Tak peduli kau percaya padaku atau tidak. Satu hal yang aku tahu, di dalam darahmu mengalir darahku, dan aku tahu betul kau tumbuh mirip sepertiku. Kau bukan orang jahat." Tutup Layla, dia meletakkan alat makannya, mengelap bibirnya dengan tissue dan meminum air mineral dari gelas yang di sediakan di hadapannya.     

"Terimakasih untuk sarapan mewah ini." Layla bangkit berdiri dan berniat meninggalkan tempat itu.     

Tangan Christabell mengepal hingga bergetar, entah emosi macam apa yang coba dia tahan.     

"I HATE YOU MOM!" Ujar Bell dengan mata berkaca. Mendengar itu langkah Layla terhenti, dia menelan ludah. Sebuah kata yang dia tunggu selama puluhan tahun dan begitu ingin dia dengar sebelum dirinya dimasukkan ke liang lahat akhirnya terdengar pagi ini di telinganya. "Mom". Tidak peduli dengan rangkaian kalimat yang mengiringinya, Layla menoleh ke arah Christabell. Bibirnya bergetar menahan tangis.     

"My doughter." Bisiknya cepat. "I love you." Imbuhnya lagi. Sontak hati Chritabell seperti di remukkan dengan sebuah palu besar hingga benteng yang coba dia bangun hancur berkeping-keping. Dia mendorong kursinya ke belakang dan berlari menghambur untuk memeluk wanita itu. Tangisnya menjadi saat tubuhnya bersentuhan dengan tubuh yang puluhan tahun lalu menjadi tempatnya tumbuh menjadi seorang bayi.     

"I love you baby…" Wanita itu megusap punggung Christabell. Mendadak bayangan wanita muda dan bayinya muncul di benak Bell. Wanita muda yang dengan tulus menggendong bayi kecil bermata coklat di pelukannya. Tangis keduanya pecah kala itu, kerinduan yang membuncah, mencoba di sembunyikan di balik dinding-dinding tebal rasa dendam. Meskipun tak tumbuh dan besar di tangannya tapi sifat baik Bell menurun dari ibunya itu. Mereka adalah wanita lembut dan hangat, tidak banyak menuntut dan bisa menerima keadaan.     

***     

Christabell dan Layla duduk berhadapan di sebuah apartment kecil yang di sewa Layla beberapa bulan terakhir.     

"Jadi kau tahu di mana aku tinggal?" Tanya Bell.     

"Ya." Angguk Layla. "Aku datang di hari penikahanmu." Kalimat Layla itu membuat Christabell membatu. Wanita setengah baya itu menyodorkan sebuah foto dari ponsel tua miliknya.     

"Aku mengambil beberapa fotomu." Ujarnya. Christabell dengan tangan gemetar mengambil alih ponsel itu dan melihat begitu banyak foto yang diambil oleh Layla, lebih dari enam foto.     

"Dimana kau duduk?" Tanya Christabell.     

"Aku tidak duduk karena aku bukan tamu undangan." Ujarnya.     

"Lalu?"     

Layla tersenyum lebar diantara bibirnya yang mulai mengeriput. "Aku tahu bahwa gereja itu akan jadi tempatmu mengikat janji. Jadi seminggu sebelumnya aku datang ke gereja dan mengatakan pada pastor bahwa aku adalah gelandangan dan butuh makan." Layla tersenyum mengenang kegigihannya. "Pastor mengatakan di belakang gereja ada asrama biarawati, mungkin aku bisa menumpang tinggal beberapa hari dan aku setuju. Disana aku membantu biarawati mengerjakan semua tugas domestic, mencuci pakaian, memasak dan lain sebagainya. Sampai di hari pernikahanmu aku meminta pada suter Irene untuk mengajakku hadir di pernikahanmu." Terang Layla panjang lebar.     

���Dan kau bisa masuk?"     

"Tidak, aku melihat dari sisi lain gereja." Ujar Layla dengan mata berkaca. "Dua orang pengawal melarangku masuk karena ku bukan tamu undangan."     

"Suster Irene masuk dan membawa ponselku bersamanya. Dia mengambilkan gambar itu untukku." Jawab Layla dengan mata berkaca.     

Air mata Christabell berjatuhan tanpa aba-aba. "Mengapa kau tidak datang sebelumnya?" Tanya Bell.     

Layla tersenyum, meski matanya menangis. "Aku melihatmu tinggal di rumah besar itu, bersama pria yang baik. Kehadiranku hanya akan mengacaukan segalanya. Sejak awal aku sudah menylitkan hidupmu. Aku tidak ingin memperburuknya."     

"Lalu mengapa sekarang kau mencariku? Mengapa baru sekarang?" Christabell berusaha menata emosinya.     

Layla Stone tersenyum. "Aku baru menemukan keberanian, maaf…" Bisiknya penuh sesal.     

"Bagaimana kau membiarkanku sendiri di panti asuhan itu sementara kau menjalani hidupmu sendiri?" Dalam batin Christabell masih belum bisa menerima keadaan ini sepenuhnya. Banyak hal yang ingin dia pertanyakan dan kini bisa dia ungkapkan dihadapan ibu kandungnya langsung.     

Layla Stone terdiam sekilas. "Aku tidak akan membela diriku sedikitpun. Kau berhak membenciku untuk apa yang terjadi padamu."     

"Jawab aku." Tuntut Christabell.     

Layla Stone mengenang dalam kepiluannya. "Aku hidup dalam pelarian, dan saat itu usiaku masih sangat muda. Aku kebingungan karena tidak memiliki pegangan. Tidak ada orang yang yang bisa menjadi tempatku bergantung saat itu. Jika aku membawamu, aku bahkan tak bisa memastikan apa aku bisa memberimu makan atau tidak." Layla mengusap wajah Christabell dengan tangan keriputnya.     

"Lihatlah dirimu sayang, kau tumbuh dengan sangat cantik. Memiliki kehidupan yang baik, kau benar-benar menjadi wanita terhormat, seperti yang selalu aku doakan." Layla tersenyum dalam kepiluannya.     

"Sulit bagiku menerima masa lalu dimana aku merindukan pelukan seorang ibu, setiap kali aku sakit atau aku gagal dalam sekolahku. Aku tidak punya tempat untuk mengadu, andai kau tahu…" Kedua wanita itu masih terus menangisi masa lalu yang kelam.     

"Aku minta maaf…" Kalimat itu yang selalu Layla ucapkan. Christabell menangis sesenggukkan, pertanda bahwa luka batin yang dia derita di masa kecil benar-benar menyisakan jejak terlalu dalam. Layla merengkuhnya dan memeluknya. "Aku tidak pantas meminta apapun darimu, tapi jika kau mengijinkanku, katakana bagaimana caraku menebus semua kesalahanku dimasalalu." Ujarnya sembari terus megusap punggung puterinya itu.     

Christabell justru beringsut dan meringkuk di pangkuannya. Sementara Layla mengusap-usap rambutnya dengan lembut. Keduanya masih terus berderai air mata menikmati moment itu.     

***     

Setelah lebih dari satu jam, Christabell teringat pada bayinya.     

"Kemasi barangmu dan ikut aku." Ujar Bell setelah dia sadar dan berniat untuk pulang. Tapi Layla menggeleng.     

"Tidak sayang." Tolaknya.     

Alis Christabell bertaut. "What?"     

"Kau tidak ingin merusak apa yang kau miliki sekarang. Biarkan ini menjadi rahasiaku dan dirimu. Jangan biarkan suamimu tahu soal keberadaanku."     

"Kau tidak ingin mengenal keluargaku?" Tanya Christabell.     

Layla tersenyum. "Aku menemuimu bukan untuk ikut dalam kehidupanmu yang sekarang." Jujurnya. "Aku hanya tidak ingin, saat waktuku habis tidak lagi ada penyesalan."     

"Aku akan menemuimu lagi besok." Christabell mengeluarkan beberapa lembar uang pecahan seratus dollar dan meninggalkannya di atas meja. "Akan kuberikan lagi besok."     

Christabell meninggalkan ibunya dan bergegas masuk kedalam mobil, berniat pulang kerumah. Dia tidak ingin Richard mencurigainya jika pergi terlalu lama. Christabell berusaha menyembunyikan semua ini dari suaminya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.