THE RICHMAN

The Richman - Truth About Layla Stone



The Richman - Truth About Layla Stone

0Christabell semula menghubungi suaminya sambil berdiri di balkon kamarnya. Pandangannya terganggu dengan keributan yang terjadi di pagar pintu masuk utama rumah mereka, hingga Bell memutuskan untuk mengakhiri panggilannya dan menyambangi keributan yang terjadi di pintu masuk utama rumah.. Keributan itu mengundang perhatian Christabell karena wanita yang sedang beradu mulut dengan para penjaga adalah wanita yang ada di dalam rekaman cctv.     

"Apa yang anda inginkan?" Tanya Christabell, sontak menghentikan adu mulut diantara penjaga dan wanita setengah baya dengan rambut coklat sebahu itu.     

"Aku hanya ingin bertemu dengan anda." Jawab wanita itu, entah mengapa matanya berkaca menatap Christabell. Untuk beberapa saat Christabell terdiam, dia mempertimbangkan dalam hati apakah akan menerima atau menolak wanita itu.     

Dalam benaknya, jika wanita itu berani datang dan menemuinya langsung akan lebih baik, karena ada potensi untuk mempertanyakan perihal maksudnya menguntit dirinya dan bayinya kala berjalan-jalan di taman.     

"Biarkan dia masuk." Ujar Christabell memecah keheningan.     

Bantah salah seorang penjaga bernama Patric. "Tapi Mr. Anthony melarang anda menerima tamu."     

"Kalian bisa memeriksanya jika kalian merasa perlu melakukannya." Jawab Christabell. "Kalian juga bisa berada dekat dengan kami saat kami berbicara untuk memastikan aku baik-baik saja."     

Setelah masuk kedalam rumah, Bell meninggalkan wanita itu di ruang tamu sementara dia masuk ke dalam kamar dan memastikan bahwa Zoey akan tetap diam di dalam kamar bersama Adrianna dan dua orang penjaga, sementara dirinya akan mengobrol dengan wanita asing itu di ruang tamu bersama dua penjaga lainnya.     

"Jangan ada yang menghubungi Richard." Ujar Christabell dan semua penjaga rumah mengangguk.     

"Siapa anda dan apa yang anda inginkan?" Tanya Christabell.     

"Aku Layla Stone." Ujar wanita itu.     

Seketika jantung Cristabell berhenti berdetak. Dia mengingat sebuah surat tua yang tidak sengaja dia temukan di laci ibu panti. Surat itu di tulis oleh seorang wanita bernama Layla Jane. Tapi ibu panti tidak pernah mau mengaku apakah surat itu dari ibu kandung dirinya atau dari ibu bayi lainnya.     

"Are you…?" Jantung Christabell mendadak berdebar-debar setelah dia berhasil menemukan kesadarannya kembali.     

"Yes…" Angguknya. Christabell yang mendengar jawaban itu memengangi dadanya, mendadak dadanya menjadi sesak, entah mengapa moment yang selama ini dia harapkan dan terjadi di depan matanya justru membuatnya sebingung ini.     

"Aku tidak percaya…" Christabell bangkit dari tempatnya duduk dan berjalan menjauh. "Tidak mungkin."     

"Aku datang lagi ke panti dan bertanya tentangmu." Wanita tua itu berbicara dengan gemetar. "Ijinkan aku menceritakan kisah masalalu itu, dan apa alasanku meninggalkanmu di panti asuhan. Bukan untuk membela diriku, hanya agar kau tahu apa alasannya."     

Christabell tak sanggup mendengarkan, tapi wanita itu tak memberinya ruang. Dia mulai bercerita dan menyeret Christabell ke masa itu. Seolah dia hadir di saat itu dan menyaksikan semua yang di kisahkan ibunya.\     

***     

(Flash back)     

Suara pramugari terdengar renyah di pengeras suara saat pesawat yang di tumpangi Layla tinggal landas dari bandara Abu Dhabi International Airport. Penerbangan first class menuju New York pasca liburan bersama temannya. Namun karena sang teman ada urusan lain dan harus tinggal lebih lama, akhirnya Layla pulang lebih dulu.     

Dalam perjalanan, tiga puluh menit pasca tinggal landas, terjadi turbulency di udara hingga mengakibatkan kepanikan yang cukup serius. Entah mengapa, Layla reflek mencengkeram tangan penumpang lain yang duduk di sebelahnya untuk mengurangi ketegangan. Memang turbulensi tidak berlangsung lama, tapi itu cukup untuk membuat tangan sang pria yang duduk di sebelah bangku Layla terluka karena tertancap kuku-kuku panjangan Layla.     

"Sorry…" Layla tampak menyesal. Dia segera mengeluarkan sebuah plaster luka dan menempelkannya. Plaster luka dengan gambar love-love kecil berwarna merah, sungguh aneh menempel di tangan seorang pria dengan penampilan maskulin berbalut blazer rapi dengan tatanan rambut klimis.     

"It's ok." Ujar sang Pria, tapi dia tak tampak ingin melepaskan plaster itu juga. Meski terlihat kontras dengan penampilannya tapi sang pria membiarkan plaster luka itu tetap menempel di sana hingga penerbangan mereka berakhir.     

"Paul Jhonson." Sang pria memperkenalkan diri, karena mereka sempat mampir di lounge untuk berbincang sebelum akhirnya berpisah karena salah satu kerabat Layla datang menjemput.     

Layla menjawab. "Layla Stone."     

Mereka berbincang asik, menceritakan tentang diri mereka masing-masing hingga akhirnya bertukar nomor telepon.     

"Aku akan menghubungimu." Ujar Paul dan itu membuat Layla kegirangan meski berusaha dia sembunyikan di balik senyum yang anggun. Kala itu Layla berusia duapuluh dua tahun dan baru saja menamatkan pendidikan strata satunya. Mengenal pria tampan yang mapan tentu saja membuat Layla jatuh hati pada pandangan pertama, apalagi kematangan yang di tunjukkan Paul kala itu, benar-benar membuat Layla merasa di perlakukan seperti ratu sehari.     

Paul yang bercerita banyak tentang bisnisnya juga tampak menjanjikan untuk hubungan lebih lanjut dengan masadepan yang lebih gemilang. Apalagi keluarga Layla sudah barang tentu akan menyetujui jika dirinya memiliki hubungan dengan pengusaha sukses.     

Pertemuan hari itu berlanjut ke pertemuan-pertemuan selanjutnya. Setiap kali Paul datang untuk menjemput Layla sepulang kerja dan mengajaknya makan malam, atau meminta Layla datang ke apartmentnya dan mereka menghabiskan malam bersama. Layaknya pasangan kekasih yang sedang kasmaran, seks adalah sebuah bumbu penyedap yang wajib di bubuhkan dalam setiap kali pertemuan, apalagi kesibukan Paul membuat mereka harus mengatur jadwal untuk bisa saling bertemu dan menghabiskan waktu bersama.     

Dua tahun perjalanan kisah cinta itu berjalan dengan begitu mulus meski intensitas pertemuan bisa di bilang tak begitu sering terjadi. Hingga suatu hari Layla merasakan ada yang tidak beres dengan dirinya. Setiap kali mencium aroma tajam atau memakan makanan tertentu dia akan langsung memuntahkannya kembali. Sang ibu Maryam yang mengetahui hal itu langsung meminta Layla untuk memeriksanya dengan alat test kehamilan. Dan ternyata positif.     

Harusnya itu menjadi sebuah kabar baik bagi Layla karena dia akan memberikan kejutan pada Paul kekasihnya. Layla bahkan sudah hampir yakin bahwa dengan kehamilannya, Paul akan segera melamar dan menikahinya.     

Namun kejutan itu terpaksa dia tunda karena malam itu ada acara ulang tahun sang direktur yang diadakan di sebuah hall room sebuah hotel berbintang lima di pusat kota. Beberapa karyawan mendapatkan undangan terutama yang sudah bekerja lebih dari lima tahun di perusahaan itu. Layla memang tidak mendapatkan undangan tapi atasannya Eric memintanya datang untuk menemaninya.     

Singkat cerita Layla datang dan terkagum-kagum dengan semua dekorasi dan makanan yang disediakan meskipun dia tak berani menyentuh satupun makanan di acara itu.     

Sang direktur, Anne Marry memberikan pidato ulangtahunnya di depan para hadirin, bahkan ada podium khusus tempatnya berbicara. Ternyata selain ulangtahunnya, malam itu juga diadakan peluncuran salah satu produk fashion terbaru miliknya. Anne Marry, wanita berusia empat puluh tahun itu memang tampak sangant dominan apalagi dengan kesukesannya. Bisa di bilang dia salah satu wanita berpengaruh di bidangnya dengan sederet bisnis dan juga begitu banyak asset yang mentereng.     

Setelah pidatonya, seorang pria naik ke atas panggung dan memberikan ciuman selamat pada Anne Marry. Pria yang tampak lima tahun lebih muda dari Anne Marry. Layla yang menyadari wajah pria itu mendadak kehilangan kemampuannya untuk berdiri tegak. Dia terhuyung dan hampir jatuh seketika, untung Eric ada di sampingnya dan segera menuntun dia untuk mencari tempat duduk.     

"Eric, bisakah kau beri tahu siapa pria yang naik ke atas podium tadi? Apakah itu adik laki-laki bos?" Tanya Layla naïf, sementara Eric justru terlihat tergelak dibuatnya.     

"Are you kidding? He's her husband." Jawabnya.     

Rasanya seperti petir yang menyambar Layla di siang bolong. Bagaimana mungkin pria beristeri itu bisa mengencaninya selama dua tahun terakhir dan dia tak tahu apa-apa soal itu? Bagaimana dengan apartment yang setiap sudutnya sudah pernah mereka pakai untuk bercinta? Bagaiman juga Paul bisa datang pada keluarga Layla dan mengatakan bahwa hubungan mereka serius dan dia benar-benar mencintai Layla sementara dia adalah pria beristeri?     

Untuk beberapa saat Layla teridam, mematung, isi kepalanya berantakan dan tidak terkendali. Yang dia lakukan hanya keluar dari tempat itu tanpa mengatakan apapun bahkan pada Eric. Layla menyeret langkahnya berkilo-kilo hingga dia tiba di rumah.     

"Apa yang terjadi padamu, apa pestanya berjalan lancar?" Tanya Maryam sang ibu. Sebagai seorang single parent, Maryam benar-benar berharap puteri satu-satunya itu bisa memiliki kehidupan yang baik hingga di masa tuanya Maryam tak akan sengsara lagi. Kehidupannya yang berat tanpa suami membuatnya menjadi wanita yang keras. Sejauh ini dia merasa cukup berhasil karena Layla bisa bekerja di sebuah perusahaan fashion di kota itu. Tinggal selangkah lagi dia akan menyempurnakan keberhasilannya saat puterinya menikahi pengusaha muda seperti Paul Jonshon.     

"Apa kau baik-baik saja?" Maryam mulai terlihat panik dan mendekati puterinya itu. "Apa kau baik-baik saja?"     

Layla mencoba menyembunyikan hatinya yang hancur dari sang ibu, tapi ikatan darah antara ibu dan anak tidak bisa di bohongi. Maryam mencium kebohongan di balik senyuman Layla.     

"Apa kau bertengkar dengan Paul?" Desak Maryam. Sontak air mata Layla tumpah ruah di pelukan ibunya. "Dia pria beristeri." Ujar Layla di tengah isakan.     

Maryam langsung melepaskan pelukan puterinya itu dan mengambil jarak dalam keadaan shock. Wajahnya pucat pasi, seperti sebuah lingkarang setan, nasib buruk tak putus ia hadapi. Setelah dia harus berjuang sendiri membesarkan Layla karena ayahnya juga seorang pria beristeri kini dia harus menghadapi puterinya tertimpa kemalangan yang sama. Maryam yang kala itu begitu menyayangi Layla tidak ingin puterinya mengalami penderitaan seumur hidup seperti yang dia alami.     

"Gugurkan bayi itu." Ujar Maryam dengan suara bergetar menahan tangis, dia bahkan tak sudi melihat wajah puterinya itu. Di satu sisi dia begitu menyayangi Layla tapi di sisi lain karena begitu besar rasa cintanya pada sang puteri, Maryam tak sanggup menanggung kekecewaan besar dari apa yang terjadi pada puterinya itu.     

Maryam keluar dari kamar Layla dan malam itu Layla benar-benar berada dalam titik terendah kehidupannya. Dalam hati Layla, apapun yang terjadi dia tetap ingin mempertahankan bayi itu. Pergi jauh dari ibunya adalah satu-satunya pilihan, mengingat ibunya bisa berubah menjadi begitu kejam saat apa yang dia inginkan pada puterinya tidak berjalan sesuai keinginannya.     

Malam itu Layla berkemas, dalam kebingungannya dia membawa sebuah tas dan pergi dari rumah itu berbekal uang tabungan yang dia miliki. Menumpang dari satu rumah ke rumah lain kenalannya, masih menyembunyikan kehamilannya hingga dua bulan lamanya. Terbayang betapa berat bagi seorang perempuan berusia duapuluh tahun harus menanggung kehidupan dirinya sendiri yang tengah hamil tanpa support keluarga dan kekasihnya.     

"Aku mencintaimu lebih dari apapun, jadi aku akan berjuang untukmu sampai titik darahku yang terakhir." Ujar Layla sambil mengusap perutnya yang mulai membuncit. Kala itu dia bekerja sebagai seorang pembantu rumahtangga di salah satu keluarga di pinggiran kota New York. Keluarga Houstin, sepasang kakek dan nenek ekspatriat yang tinggal berdua saja. Mereka menyayangi Layla seperti mereka menyayangi anak mereka sendiri. Bahkan saat mereka tahu Layla hamil, keluarga Houstin menerima kondisi itu. Saat itulah Layla memiliki kekuatan untuk terus mempertahankan kehamilannya dan berjuang untuk bisa memberikan kehidupan yang baik bagi calon bayinya.     

***     

Layla menyeka air matanya. Aku memilih mempertahankanmu." Ujarnya di tutup dengan senyuman pahit. "Aku memang tidak membesarkanmu. Dan kau pantas membenciku untuk itu, tapi setelah tahu keadaanmu saat ini. Aku tidak menyesal mempertahankanmu." Layla bangkit berdiri dan berjalan keluar dari rumah itu. Sementara Christabell duduk diam tak berdaya dengan air mata berderai-derai. Tak tahu harus apa, apakah harus mengejar wanita bernama Layla yang mengaku sebagai ibunya itu dan memeluknya atau membiarkannya pergi begitu saja, meski mungkin ini adalah kesempatan terakhir bertemu dengan wanita yang melarhirkannya itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.