THE RICHMAN

The Richman - Cold War



The Richman - Cold War

0Perang dingin dimulai antara Aldric dan Adrianna sejak semalam. Dan pagi ini Aldric tampak sangat kacau, dia bangun cukup siang dengan bau alkohol di mulutnya dia berjalan terhuyung ke kamar mandi untuk mandi dan bersiap ke kantor. Sementara Adrianna yang menangis semalaman tengah sibuk mencari cara untuk menutupi mata sembabnya. Karena mata sembab itu tidak akan lolos dari pengawasan ayahnya dan sudah barang tentu Richard Anthony sang ayah akan menanyakan alasan dibalik mata sembabnya itu.     

Satu-satunya pilihan yang ada hanyalah kacamata hitam yang akhirnya dikenakan Adrianna sebelum keluar dari apartmentnya. Sementara Aldric yang terburu-buru karena baru sadar jika pagi ini ada meeting penting di kantornya tampak terburu-buru hingga dasinya diapsang dengan miring.     

Setelah berjalan dengan terburu-buru mereka tak sadar jika mereka menaiki lift yang sama. Aldric melirik ke arah Adrianna yang mengenakan kaca mata hitam tapi Adrianna mengabaikannya, sementara saat Adric melihat ke sisi lain lift Adrianna melihat pantulan wajah Adric dan saat melihat sedikit lebih ke bawah, Adrianna melihat dasi Aldric miring. Sebenarnya dia sangat ingin membenahinya tapi gengsi yang berdiri diantara mereka bagaikan tembok yang begitu tinggi hingga tak ada yang bisa melintasi tembok gengsi itu. Mereka berdiri di sisi masing-masing dengan menganggap diri merekalah yang paling benar.     

Akhirnya mereka berpisah dan mengendarai mobil masing-masing, menuju ke kantor masing-masing dengan kesibukan masing-masing. Namun siapa sangka, peperangan selalu menyiksa bagi para pihak yang tengah berperang, sekalipun itu adalah perang dingin. Aldric tidak konsentrasi selama rapat pentingnya hingga koleganya memutuskan untuk mereschedule meeting dilain waktu dengan kemungkinan gagal bekerjasama untuk sebuah tender besar.     

Sementara itu Adrianna yang sibuk memakai kacamata hitam dan menyembunyikan wajahnya dari semua orang termasuk ayahnya. Dia mengatakan pada sekretarisnya bahwa dia sedang mengalami flu berat dan matanya memerah hingga dia tidak mengijinkan siapapun masuk keruangannya. Adrianna bahkan bekerja dengan mengunci ruangan agar tidak seorangpun masuk. Untunglah hari itu Richard memberinya kabar lewat pesan singkat bahwa hari ini dia akan menemani Christabell untuk mengadakan acara amal yayasan yang dikelola ibunya itu.     

Adrianna merasa sedikit lega untuk ketidakhadiran sang ayah di kantor, tapi satu hal yang tidak bisa dia pungkiri adalah kekhawatirannya pada Aldric suaminya itu. Selama mengenal Aldric, ini adalah kali pertama dia melihat penampilan suaminya itu begitu kacau, Aldric tidak pernah seperti ini sebelumnya.     

"Apa dia baik-baik saja?" Gumam Adrianna, dia menatap ke arah ponselnya dan tidak ada pesan masuk sama sekali. Padahal dia sangat berharap bahwa suaminya itu akan mengirim pesan permintaan maaf, tapi ternyata tidak.     

"Kau benar-benar menyebalkan."Adrianna membanting ponselnya dengan keras ke atas tumpukan kertas pekerjaannya, dia bangkit dari kursinya dan berjalan ke arah dinding kaca untuk menatap jauh keluar.     

***     

Sementara itu dikantornya Aldric tampak tertidur di sofa ruang kerjanya, tampaknya menenggak alkohol terlalu banyak membuat Aldric benar-benar tidak konsentrasi hari ini. Dia juga merasa sangat pusing dan mengantuk hari ini, hingga meminta sekretarisnya untuk membatalkan semua rapat yang ada dan menitipkan pesan pada sekretarisnya agar tidak ada yang mengganggunya sepanjang sisa hari.     

Siang berganti petang, dan kini sudah pukul sembilan malam, Aldric masih terbaring dengan satu tangannya menyangga kepala. Sejak pukul tiga sore dia tak lagi bisa menahan sakit kepalanya dan rasa kantuk. Dan saat dia sadar bahwa ini sudah sangat larut bukannya berniat pulang, Aldric justru kembali memejamkan matanya. Malam ini dia bermalam di kantor seperti yang sering dia lakukan saat masih lajang. Banyak malam dia habiskan dikantor bukan karena mabuk, melainkan soal kerjaan. Aldric begitu malas pulang karena tidak ada apapaun yang bisa dia kerjakan di rumah, jika di kantornya, dia bisa melakukan banyak hal dan banyak pekerjaan. Malam ini, bermalam di kantor bukanlah sesuatu yang asing, bahkan bagi Aldric rasanya hanyalah seperti sebuah nostalgia.     

***     

Adrianna berhenti di ambang pintu apartmentnya dan menatap ke ujung lorong, tampat pintu apartment Aldric berada. Untuk beberapa saat dia berniat kembali ke tempat itu, sekedar memeriksa apakah suaminya sudah tidur atau belum. Karena malam ini Adrianna juga pulang sangat larut, dia benar-benar berjuang mati-matian untuk menyibukkan dirinya dan berharap setelah tiba di apartment dia hanya akan jatuh tertidur tanpa memikirkan suaminya lagi.     

Jika kemarahan Aldric tidak mereda dan pria itu tidak menyesali tuduhannya, Adrianna juga tidak akan mengalah untuk meminta maaf lebih dulu. Setelah mempertimbangkan cukup lama, Adrianna memutuskan untuk masuk ke apartmentnya dan bergegas mandi. Guyuran air shower tampaknya tak cukup menjernihkan pikirannya dari bayangan Aldric Bloom suaminya, yang terbayang di benak Adrianna saat ini bukan lagi soal kemarahan atau tuduhan, melainkan rasa rindu yang menggelora, rindu sentuhan Aldric, rindu pelukannya, rindu ciumannya, rindu mencium aroma Aldric saat berbaring di pelukannya.     

Adrianna keluar dari kamar mandi dan mengganti pakaiannya dengan piyama tidur. Setelah itu dengan handuk yang masih tergulung di atas kepala untuk membalut rambut basahnya, Adrianna menyalakan televisi untuk mengusir rasa sepinya. Setengah jam kemudian Adrianna merasa begitu gelisah, hingga dia memutuskan untuk diam-diam kembali ke apartment suaminya itu.     

***     

Sekali lagi Adrianna berhenti saat sudah berdiri di depan unit apartment milik suaminya itu. Setelah mempertimbangkan cukup lama akhirnya Adrianna masuk kedalam, dan dia tidak mendapati tanda-tanda keberadaan Aldric. Semuanya gelap, bahkan lampu kamar juga gelap. Di ruang tamu hanya ada botol bir kosong yang terguling dengan sebuah gelas yang di dalamnya masih tersisa setengah gelas bir.     

Adrianna memungutnya dan membawanya ke wastafel, kemudian membuang botol bir yang sudah kosong itu. Dia juga melihat selimut di kamar begitu berantakan hingga terpaksa merapikannya. Setelah merapikan semuanya, Adrianna berjalan keluar dari unit apartment suaminya itu. Dia yakin betul bahwa Aldric tidak akan kembali malam ini.     

Adrianna masuk kedalam unit apartmentnya dan berjalan menuju kamarnya. Dia melepas handuk yang melilit kepalanya dan mengeringkan rambutnya sebelum pergi tidur. Tak lantas bisa terpejam, Adrianna terjaga hampir sepanjang malam. Setiap kali dia berusaha untuk terpejam, wajah suaminya terlintas di benaknya.     

Adrianna mengambil ponselnya dan menatap ke arah layar ponselnya di kegelapan kamar, hingga wajahnya terterpa cahaya dari layar ponsel namun tak ada pesan masuk dari Aldric sama sekali. Adrianna menelungkupkan lagi ponselnya dan meletakkannya di meja kecil di sisi tempat tidur. Meski berusaha untuk memejamkan mata, namun sulit bagi Adrianna untuk benar-benar bisa tertidur malam itu.     

Sementara itu, setelah lewat tengah malam Aldric memutuskan untuk pulang. Jika dia berada di kantor, jaraknya akan begitu jauh dari Adrianna isterinya jika sewaktu-waktu isterinya yang keras kepala itu membutuhkan bantuannya. Meskipun sangat terluka dan sangat marah pada Adrianna dan pada kebohongan yang dibuat oleh isterinya juga pada tuduhan kejam Adrianna padanya, tapi rasa cinta masih saja mengalahkan kebencian yang tak seberapa besar itu.     

Saat melintasi unit apartment isterinya itu, Aldric berhenti beberapa saat, berdiri di ambang pintu, meski tak mengetuk, juga tak langsung masuk, tapi Aldric tetap berdiri di ambang pintu. Setelah beberapa saat, Aldric memutuskan untuk masuk ke unit apartmentny, dan melihat botol terguling itu sudah berpindah tempat. Dan saat masuk kedalam kamar, kamarnya sudah rapi kembali, Aldric yakin betul jika isterinya sudah sempat pulang ke rumah meski sekarang dia pergi lagi.     

Sejatinya baik Aldric maupun Adrianna sama-sama saling membutuhakn dan juga saling mencintai, namun sialnya selalu ada pihak-pihak yang tidak suka dengan kebersamaan mereka. Aldric duduk di tepi ranjang, dia menatap ke arah ponselnya untuk beberapa lama, mempertimbangkan apakah dia akan mengirim pesan lebih dulu pada Adrianna meskipun isterinya itu yang bersalah atau menunggu hinga isteri keras kepalanya itu menyadari kesalahannya lalu meminta maaf.     

Aldric meletakkan ponselya di atas bantal kemudian berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya, mengganti pakaian kemudian pergi tidur. Bagi seorang pria, tertidur saat sedang sangat patah hati bukan perkara sulit, berbeda dengan perempuan. Mereka bisa terjaga sepanjang malam karena memikirkan sesuatu hal, namun bagi pria, semua berhenti di logika. Jadi saat logikanya lelah, mereka bisa tetap tertidur meski masalah yang mereka hadapi belum selesai sama sekali.     

Aldric mengambil remote dari sisi ranjang, sebelum benar-benar tertidur dia menyalakan musik dan lagu lawas James Bay, yang berjudul Us melantun lembut memenuhi ruangan. Syair lagi itu seolah menampar Aldric dengan keras. Tapi pria bukan makhluk yang mudah luluh hatinya, gengsi adalah sesuatu yang mereka junjung melebihi apapun dalam hidup mereka, tampaknya itu juga yang menjadi pilihan Aldric. Dia terus mendengarkan syair lagunya tapi tak merubah pendiriannya sedikitpun.     

Beberapa meter dari tempat Aldric berbaring, disana Adrianna berbaring di ranjangnya sendiri, di dalam unit apartment yang berbeda. Matanya enggan terpejam, sesekali dia masih memeriksa apakah ada panggilan atau pesan singkat dari suaminya itu, namun ternyata tidak satupun. Adrianna menghela nafas dalam, sekali lagi dia menelungkupkan ponselnya dan menarik selimut. Adrianna memaksa matanya terpejam meski itu sangat sulit dan hampir pasti dia tidak bsia tertidur hingga pagi menjelang. Berbeda dengan Aldric, dengkuran lembut mulai terdengar beberapa menit setelah Aldric berbaring dan mulai mendengarkan musik.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.