THE RICHMAN

The Richman - Facing You



The Richman - Facing You

0Dengan seijin Aldric, Adrianna menemui Javier di tahanan. Bahkan Aldric sendiri yang mengantarnya, meski setelah tiba di sana Al memberikan ruang bagi Javier dan Adrianna untuk bicara hanya berdua saja. Adrianna merasa bahwa semua masih bisa diperbaiki, menurutnya Javier hanya menggertak, dia tidak benar-benar ingin melukai dirinya. Dan untuk semua yang terjadi, Adrianna meyalahkan dirinya sepenuhnya hingga dia merasa harus datang dan meminta maaf pada Javier.     

Adrianna menunggu cukup lama sampai akhirnya Javier yang tengah mengenakan baju tahanan, dengan kedua tangan di borgol itu keluar untuk menemuinya.     

"Hi." Sapa Adrianna singkat, jelas sekali terjadi kecanggungan yang luarbiasa diantara mereka. Jav memilih tidak menjawab, dia duduk di depan Adrianna dengan bersekat dinding kaca hingga tidak ada yang bisa saling menyentuh apalagi saling menyerang.     

"Apa maumu? Mengapa datang kemari?" Tanya Javier ketus.     

"Aku ingin minta maaf padamu Jav." Ucap Adrianna tulus, bahkan matanya berkaca ketika mengutarakan hal itu, namun Javier membuang muka, tak sudi menatapnya.     

"Aku akan membayar pengacara untuk mengurus kebebasan bersyaratmu." Ujar Adrianna, "Tapi sebelum itu semua aku ingin kau memahami situasiku Jav." Imbuhnya. Adrianna menghela nafas dalam, "Aku tahu empat tahun pasca kecelakaan itu kau menghabiskan hari-harimu dengan begitu sulit." Adrianna menatap mata Javier meski pria itu masih enggan menatapnya.     

"Bahkan untuk menerima kejadian buruk itu saja sudah sulit bagimu, apalagi kondisimu saat itu hingga divonis lumpuh. Kau pasti merasa useless, tidak berharga merasa buruk hingga kau takut menghubungiku, aku bisa memahaminya. Jika aku di posisimu saat itu, mungkin aku tidak akan bertahan." Adrianna berkaca-kaca.     

"Tapi empat tahun juga waktu yang begitu lama untukku menunggumu yang tidak pernah berkabar sama-sekali." Akhirnya air mata itu tumpah, dan Adrianna cepat-cepat menyekanya.     

"Aku datang bukan untuk menyalahkanmu Jav, aku hanya ingin kau tahu bahwa situasinya sama-sama sulit bagi kita. Dan sekarang kita sudah memiliki kehidupan masing-masing, aku menemukan pria pilihanku . . ." Kalimat Adrianna terjeda, "Bukan karena kau tak baik Jav, kau pria yang sangat baik. Hanya saja takdir bukan memilihku menjadi pasanganmu, juga sebaliknya. Kumohon mengertilah." Adrianna masih menatap Jav dengan mata berkaca.     

"Aku masih ingin jadi temanmu Jav." Air mata Adrianna menetes saat mengatakannya. "Aku berharap kau bahagia setelah ini." Gadis itu tersenyum kemudian menyentuh dinding kaca yang membatasi mereka tepat di sisi wajah Javier. "I'm sorry." Bisik Adrianna sebelum akhirnya meninggalkan tempat itu.     

***     

Diluar Aldric tengah duduk menunggunya dengan kacamata hitamnya, setelah Adrianna berjalan ke arahnya Aldric melepas kacamatanya dan menggantungnya di saku kemeja denim yang dia kenakan.     

"Are you ready?" Tanya Jav dan Adrianna mengangguk. Seperti sebuah beban yang beratnya berton-ton yang menggelayut pundak Adrianna dilepaskan seketika. Kini dia siap melanjutkan hidupnya kembali. Ternyata bukan Adrianna yang membayar pengacara untuk membebaskan Javier, justru Aldric dengan uangnya yang melakukan itu.     

Kini Adrianna dan Aldric berkendara dengan mobilnya untuk melihat venue pernikahan mereka yang akan dilangsungkan akhir pekan besok. Dan setelah itu mereka akan menghabiskan waktu menikmati wisata jalanan di Time Square.     

***     

Adrianna melilitkan lengannya pada Aldric dan mereka tampak berjalan santai diantara kerumunan para pejalan kaki yang berburu kuliner malam, sebagian tampak asik jalan-jalan, entah itu sendiri, dengan pasangan atau dalam kelompok yang lebih besar.     

"Terkadang menjadi biasa seperti ini jauh lebih baik." Ujar Adrianna.     

"Biasa?" Alis Aldric berkerut.     

"Ya, membaur, menikmati hidup, jalan-jalan dikeramaian melihat banyak hal dengan sederhana." Jelasnya, dan Aldric mengangguk. "Aku sering melakukannya." Jawabnya.     

"Mengapa tidak mengajakku?" Protes Adrianna.     

"Aku pikir kau princes yang harus selalu mengunjungi tempat-tempat terbaik dan diperlakukan dengan sangat istimewa." Jujur Aldric, dan itu membuat Adrianna terbahak.     

"Yes, my dad always think that I'm a princess, but I'm not." Adrianna memutar matanya. Dia menarik Aldric untuk mendekati food truck yang menjual burger dan memesan dua, satu untuknya dan satu untuk Aldric.     

"WOW IT'S AMAZING." Adrianna memakan burger besar itu hingga belepotan dan tampak sangat menikmatinya, hingga dia menggunakan telunjuknya untuk menyeka saus dan mayonaise yang belepotan di bibirnya dan menjilatnya.     

"Kau menyukainya?" Tanya Aldric senang, ahirnya dia bisa melihat Adrianna tersenyum kembali.     

"E'ehm." Adrianna sampai kesulitan bicara dengan mulut penuhnya.     

"Habiskan punyaku juga." Aldric menyodorkan burger miliknya.     

"Ku tidak ingin makan ini?" Tanya Adrianna dan Aldric menggeleng. "No." Gelengnya.     

"Ok, kurasa aku sangat lapar setelah beberapa hari aku kehilangan nafsu makan." Adrianna mengambil alih burger itu dan melahapnya. Aldric dibuat geleng-geleng kepala.     

"Let's try the other menu." Adrianna menyeret lengan Aldric ke sisi lain dan menemukan minuman kopi instan yang rasanya bisa dibilang menandingi kopi-kopi brand bintang lima seperti starbug.     

"Kau harus mencobanya, It's good." Adrianna merekomendasikan dan Aldric setuju untuk mencoba. Kini mereka duduk di salah satu kursi yang disediakan di area pedestrian.     

Dengan wajah polos Adrianna bertanya, "Apa kau punya mimpi?" Tanyanya pada Aldric dan itu membuat Aldric hampir tersedak.     

"No." Geleng pria itu.     

"Why?" Mata Adrianna membulat menatapnya, "Everybody have their dream, mengapa kau tidak?"     

"Karena aku bangun dan melakukan apa yang ku inginkan, I'm not dreaming person, I do what I want." Tegas Aldric jumawa dan itu membuat Adriana terbahak-bahak.     

"How old are you?" Goda Adrianna. "Kau terlihat sangat tua saat mengatakan hal itu."     

Aldric tersenyum, kemudian mengerucutkan sekilas bibirnya, "When I was ten,. . ." Ujarnya memulai kalimat, "Aku bermimpi bahwa akan ada sorang bayi menggemaskan lahir, dan dia akan menjadi milikku saat usianya duapuluh lima tahun." Ujarnya.     

Adrianna membeku mendengarnya, wajahnya langsung bersemu merah, "Jangan menatapku seperti itu."     

"I'm an old man as you said." Aldric meraih tangan Adrianna, "But I never felt too old to love such a teenage girl like you."     

"I'm not teenager." Adrianna memutar matanya.     

"Oh, you do!" Kontan Aldric meraih wajah Adrianna dan segera mendaratkan ciuman lembut, bahkan tak hanya kecupan, Aldric menikmati mencium Adrianna diantara keramaian orang-orang yang bahkan tak peduli satu dengan yang lainnya.     

Adrianna tersenyum setelah Aldric melepaskan ciumannya, dia melihat ke sekeliling dan menjadi malu. "Semua orang bisa melihat kita."     

"Dan mereka tidak peduli." Aldric meminum kopinya dan bersikap masabodoh.     

"Aldric Bloom." Adrianna mencubit pinggangnya dan Aldric terbahak. Mereka saling bercanda hingga akhirnya Adrianna terdiam menatap Aldric. "Thanks for always stand by me."     

Aldric mengangkat alisnya, "I'm your man, that what I supposed to do." Aldric menatap Adrianna dalam. "You can coun't on me as always."     

"Ehem." Adrianna mengangguk. "I love you, old man." Adrianna mengecup bibir Aldric, dan ini kali pertama Adrianna mengambil inisiatifnya untuk mencium Aldric, sebelumnya selalu Aldric yang mengawalinya. Tentu saja Aldric menerima ciuman itu dengan bahagia dan membalasnya dengan begitu hangat dan mesra. Hari ini berakhir menjadi hari yang indah bagi Adrianna dan Aldric.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.